Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang.
"Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri. "Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya. Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga. "Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa. Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku bertanya, biasanya aku tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti itu. "Katanya alergi Pak," jawab Cahya. Alergi? Sandrina alergi apa? Alergi seafood? Masa iya? Semalam dia sama sekali tidak komplain ketika aku memesankan aneka macam hidangan olahan laut yang menggugah selera, malah dari yang kulihat ia sangat senang memakan itu semua. Ah, aku jadi ingat betapa lucunya Sandrina ketika makan. "Memang dia punya alergi?" tanyaku penasaran tapi tentu saja aku tetap bertanya dengan nada suara datar dan tenang seperti biasa. "Bisa jadi Pak, itu buktinya dia bilang alergi," jawab Cahya. Aku menganggukkan kepalaku lalu memberikan beberapa laporan yang sudah selesai kutanda tangani pada Cahya dan bersiap untuk berangkat menuju tempat pertemuan. *** "Bos, ini ID Card si Sansan?" tanya Cahya. Kami sedang berada di perjalanan pulang setelah meeting. Aku menoleh. "Oh, ketinggalan sepertinya." "Kemarin dia nebeng?" tanya Cahya dengan tatapan menyelidik, aku mengangguk. "Tumben." Cahya tampak heran dan terkejut. "Tumben kenapa?" tanyaku. "Ya tumben aja Bapak mau nebengin anak-anak," jawab Cahya. Aku refleks menoleh. "Bukan saya yang nggak mau nebengin, mereka yang nggak pernah bilang mau nebeng." 'Mereka juga sungkan bilang sama Bapak," sahut Cahya. Hubunganku dengan Cahya memang baik dan layaknya teman, tapi tetap jika dalam pekerjaan Cahya akan bersikap professional. "By the way, kok bisa si Sansan nebeng? Kan dia kost deket sini?" "Saya ajak dia ke Ancol," jawabku santai. Cahya langsung menatap ke arahku dan mengedip-ngedipkan kedua matanya. "Kalian pacaran?" Aku menggeleng. "Enggak, saya ajak dia karena dia sudah buat penjualan kita kemarin naik seratus persen," jawabku tenang. Pacaran? Sepertinya boleh juga. Cahya manggut-manggut. "Kirain kalian pacaran." "Kamu suka Sandrina?" Cahya menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Sansan mah susah didekati. Dia itu sibuk sama dunia dan pemikirannya sendiri." Aku menaikkan sebelah alisku. "Masa?" Cahya mengangguk. "Iya, dia itu suka nggak percaya kalau ada orang yang suka sama dia. Kadang malah dianggap candaan aja kalau ada yang bilang suka sama dia." "Kok bisa?" tanyaku heran. Cahya mengedikkan bahunya. "Coba aja sama Bapak kalau nggak percaya." "Sudah saya coba," kataku. "Ba-bapak bilang suka sama dia?" tanya Cahya tidak percaya. Aku mengangguk. "Dia bilang saya bercanda." "Kan apa saya bilang." "Tapi, memang saya cuma bercanda," kataku menambahkan. Cahya tertawa. "Baguslah." "Kok bagus?" tanyaku dengan kening mengerut, jangan-jangan Cahya suka dengan Sandrina. "Ya bagus berarti si Sansan nggak baperan," jawab Cahya. "Bukan karena kamu suka dia?" tanyaku menyelidik. Cahya kembali tertawa. "Kalau mau sama dia, udah lama saya ajakin nikah Pak." Aku lega. Loh? Kenapa lega? Kan aku nggak suka Sandrina. *** Aku sedang mengecek list bahan baku yang direkomendasikan oleh tim formulator dari pabrik yang bekerja sama dengan perusaanku ketika terdengar suara ketukan pintu, ternyata ibuku. "Ma." Aku langsung berdiri untuk menyambut kedatangannya. Terlihat ia membawakan sebuah kantong yang bisa kupastikan adalah makanan. "Mama bawain makanan buat kamu makan nanti di apartemen," ucap wanita yang sudah melahirkanku ini. Aku mengangguk. "Makasih." Aku menatap ibuku yang juga sedang menatapku. Aku yakin kedatangannya bukan hanya ingin membawakanku makanan tapi pasti membicarakan pernikahan dan segala macamnya. "Ga," katanya. "Hmm." Kulihat ibuku menghela nafas. "Kapan kamu mau bawa calon mantu ke rumah." Aku tidak menjawab. Jujur, aku sudah malas menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri pun tidak tahu jawabannya apa. "Nanti kalau udah ketemu pasti dibawa." "Kapan?" 'Ya nanti kalau udah ada." "Memang kamu nggak mau beneran sama Michelle?" Aku mendengkus. "Aku nggak suka sama dia." "Terus kamu sukanya sama siapa?" Aku mengendik. "Ga... mau sampai kapan kamu sendiri terus? Mama sama Papa udah tua, pengen lihat kamu bahagia." "Aku bahagia." Aku tidak mengerti mengapa kebahagian harus diidentikkan dengan memiliki pasangan, padahal aku hidup sendiri saja sudah bahagia apalagi ada Sandrina. Loh? Kenapa jadi Sandrina, apakah aku sebenarnya suka padanya. Entahlah aku belum bisa memastikan hal yang kurasakan adalah suka atau hanya karena suka menggodanya saja. "Ga... Mama pengen lihat kamu berumah tangga. Mama pengen lihat kamu ada yang ngurus," ucap ibuku. "Kalau cuma mau lihat ada yang ngurus, ya hire aja pengasuh," kataku. Tampaknya ibuku kesal, karena ia langsung berdiri dan menggerutu. "Kamu tuh nggak ngerti." "Ma, jodoh itu misteri. Nanti juga kalau udah ketemu pasti aku nikah. Memangnya Mama mau aku salah pilih pasangan?" Ibuku menatapku. "Ya nggak mau sih, tapi jangan kelamaan juga nungguin misteri. Sekali-sekali si misteri itu di cari." Aku terkekeh. "Iya nanti dicari. Mama mending shopping biar happy." *** Aku sering pulang malam bukan karena banyak pekerjaan tapi karena memang tidak ada yang harus kukerjakan di rumah. Jadi, dibandingkan kelayapan lebih baik aku mengerjakan apa yang bisa kukerjakan. Seperti malam ini, aku masih betah berada di ruanganku. Cahya dan karyawan yang lain sudah pulang. Aku tidak pernah menahan mereka untuk tetap berada di kantor karena memang sudah waktunya untuk pulang. Merasa cukup lelah, aku menutup laptopku dan bersiap untuk pulang. "Langsung pulang Pak?" tanya Pak Danang yang selalu setia mengantar dan menjemputku. Saat akan menjawab, sekilas aku melihat ID card yang tadi Cahya perlihatkan padaku. "Ke kost Sandrina dulu Pak. ID Card-nya ketinggalan. Kasihan besok kalau masuk dia masuk dia nggak bisa naik." Pak Danang mengangguk. Untung saja kemarin aku mengantarkan Sandrina sampai gerbang kost-nya jadi aku sudah tahu di mana ia tinggal selama ini. "San, saya di bawah," kataku ketika baru sampai di depan kost-an Sandrina. Tersenyum mendengar omelan Sandrina karena merasa waktu istrihatnya terganggu. Pasti mimik wajahnya sangat menggemaskan. Meskipun terdengar enggan tapi Sandrina akhirnya turun untuk menemuiku. Sepertinya ia benar-benar sakit karena kulihat ia menggunakan jaket tebal. "Ada apa ya Pak?" tanya Sandrina ketika sudah berada di hadapanku sembari menunduk. Aku merendahkan pandanganku untuk melihat wajahnya. "Kamu beneran alergi?" Sandrina langsung mendongak dan menatapku dengan pandangan sengit. "Bapak nggak lihat muka saya bengkak?" Aku menahan tawa ketika melihat wajah Sandrina yang lebih besar dari biasanya dan berwarna merah. "Kok bisa?" "Ya bisalah, namanya juga alergi," jawab Sandrina ketus. "Bapak ngapain sih ke sini? Ini kan udah bukan jam kerja."Aku menyodorkan ID card miliknya. "Ngembaliin ini."
Sandrina tidak langsung menjawab tapi malah menatap wajahku. "Bapak repot-repot banget sampe bawa ke sini. Padahal titip di resepsionis aja."
Aku menaikkan sebelah alisku. "Udah baik saya antar langsung ke sini."
Kulihat bibir Sandrina manyun. Kok jadi pengen dia manyun tepat di bibirku ya. Aku harus segera pulang, lama-lama di dekat Sandrina membuatku tidak waras. Apa karena sendiri terlalu lama?
"San, kamu beneran alergi? Alergi seafood?" tanyaku.
Sandrina mengangguk. "Iya Pak, ternyata saya alergi seafood."
"Kenapa kamu nggak bilang?"
"Ya saya juga baru tahu Pak, Biasanya saya makan biasa aja. Mungkin saya alergi seafood yang harganya mahal makanya jadi jontor sama bengkak."
"Kamu nggak jontor," ucapku, sembari memperhatikan bibirnya yang ternyata mungil dan lucu.
"Udah mendingan Pak, semalem sih jontor kayak digit tawon," jawabnya.
"Kalau digigit saya, jontor nggak?"
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi lib
Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah. "Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun."Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal paling abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO."Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar." Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar." Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami datang. Pria t
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang."Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan. Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa.""Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak.""Amin." Mesk
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian.Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kamu mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama sek
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi lib
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang."Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri."Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya.Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga."Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa.Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku bertanya, b
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian.Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kamu mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama sek
"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang."Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan. Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa.""Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak.""Amin." Mesk
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah. "Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun."Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal paling abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO."Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar." Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar." Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami datang. Pria t