"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang.
"Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.
Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan.
Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa."
"Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.
Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak."
"Amin." Meskipun tidak dari hari tapi sesuatu yang baik harus kita aminkan, kan? Apalagi jadi istri pria kaya, harus diaminkan sekencang-kencangnya supaya menjadi nyata meskipun hanya akan jadi mimpi belaka.
Kami dan beberapa rekan lain menonton secara langsung Pak Anggara yang tampak luwes memandu acara siaran langsung penjualan produk-produk kami. Aku tersenyum melihat banyaknya komentar positif tentang live shopping kali ini. Dan seperti yang sudah aku bisa prediksi, penjualan hari ini meningkat pesat meskipun hanya berlangsung dua jam saja.
"Besok, Bapak live lagi," ucapku penuh semangat dengan tangan yang tidak berhenti bertepuk tangan. Aku senang bukan main karena penjualan sore ini di luar prediksi.
Pak Anggara mendelik. "Ngelunjak."
Aku mencebik. "Bukan ngelunjak tapi mau meningkatkan penjualan. Coba lihat, karena kegantengan Bapak yang paripurna, penjualan sore ini naiknya lebih dari seratus persen!" ucapku berapi-api.
Sebagai karyawan yang baik, aku kan senang jika produk yang kami produksi dibeli banyak orang. Semakin banyak orang yang beli berarti semakin besar pula peluang mendapatkan bonus dengan tambahan ini itu di akhir tahun ini.
"Besok saya sibuk, mau meeting," ucap Pak Anggara sambil lalu.
"Berarti besoknya lagi!" Aku sedikit berteriak karena Pak Anggara sudah meninggalkan ruangan tempat yang memang diperuntukkan untuk live shopping.
Tidak terdengar jawaban namun aku bisa pastikan jika atasanku itu setuju dengan usulku. Aku tersenyum lebar.
"Keren Kak San!" Thalia, salah satu tim marketing yang saat itu tidak berhasil membujuk Pak Anggara mengacungkan kedua jempolnya padaku. "Memang Bapak cuma takluk sama Kak San seorang."
Aku tertawa. "Sandrina gituloh." Aku menepuk dadaku bangga.
"Kayaknya yang bisa naklukin hatinya si Bapak juga cuma Kak San deh," ucap Thalia. Beberapa rekanku yang berada di ruangan terdengar menyetujui hal itu.
"Mana ada," sahutku cepat. "Jangan kebanyakan ngayal nanti hilang akal."
***
"Kak San, masih lama?" tanya Mayang, ia sudah bersiap untuk pulang karena jam kerja kami sudah selesai.
"Bentar lagi, ini lagi save data-data dulu," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. "Ke mall dulu yuk, aku mau sekalian beli ATK."
"Hayuk." Mayang langsung menjawab tanpa ragu. "Sekalian cuci mata, kali aja Kak San ketemu duda."
Aku langsung menoleh menatap Mayang yang cekikikan. "Kok duda sih, perjaka dong," kataku tidak setuju. Apa selangka itu para perjaka sehingga aku harus berjodoh dengan duda? Ah, derita perawan tua. Tapi, aku kan tidak tua.
"Sandrina," panggil Pak Anggara ketika aku baru saja mencangklongkang tas di bahuku. Perasannku tidak enak.
"Iya Pak." Aku memandang Pak Anggara yang berdiri di depan pintu ruangannya.
Tanpa berkata, atasanku itu hanya mengibaskan tangan kanannya untuk memanggilku. Dengan patuh aku masuk ke dalam ruangannya.
"Saya mau mengapresiasi kamu yang sudah berinisiatif mengajak saya untuk jadi host di live shopping tadi," ucap Pak Anggara dengan nada serius.
Apresiasi? Jangan-jangan aku akan langsung mendapatkan bonus secara cash and carry. Aduh, senyum lebar jangan ya?
Aku berdehem untuk menetralkan perasan bahagia yang membuncah di dalam dada, gengsi kan kalau terlihat sangat mengharapkan sesuatu. "Maksud Bapak?"
"Saya mau traktir kamu makan malam," jawabnya.
Aku mengedip-ngedipkan kedua mataku. Apa katanya? Makan malam?
"Hmm... maksud Bapak traktir makan sama anak-anak?" tanyaku memastikan.
Pak Anggara menggeleng. "Kamu sama saya saja. Kan yang punya ide kamu, terus yang jadi host cuma saya. Jadi kita berdua saja."
Apa? Cuma berdua? Yang benar saja, bisa-bisa heboh dunia jika ada yang melihat kami hanya makan berdua. Tapi, gimana cara nolaknya? Sumpah, aku memang jomlo tapi aku tahu diri apalagi aku kan bukan asisten si bapak ganteng yang terlihat tidak mau mendengar alasan apapun yang menjurus pada penolakan ajakannya.
Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku sembari mencoba berpikir cepat bagaimana supaya rencana atasanku ini tidak terealisasi.
"Hmm... maaf Pak, saya udah janjian makan bareng Mayang," ucapku setelah menemukan alasan yang dirasa tepat. Ternyata diajak makan berdua dengan Pak Anggara saja sudah membuatku dag-dig-dug tidak karuan, apalagi diajak calon pacar menikah bisa-bisa aku sawan. Maklumlah jomlo karatan.
Aku gelapan ketika melihat pandangan Pak Anggara, sepertinya beliau tidak percaya aku akan makan dengan Mayang.
"Kamu batalkan dengan Mayang, besok saya tidak bisa," ucapnya membuatku mengerenyitkan kepala. Lalu seakan mendapatkan ilham brilian aku berkata, "Bapak kasih mentahnya aja buat saya."
Pak Anggara menyeringai. "Saya lebih suka traktir kamu makan."
"Tapi saya mau makan sama Mayang."
"Memang mau makan di mana?" tanya Pak Anggara.
"Di tempat makan selera rakyat deket kost-an," jawabku asal.
"Di mana itu?" tanyanya.
"Di deket tempat kost saya," jawabku.
"Iya area mana? jalan apa?" tanyanya menyelidik. Aku menyebutkan sebuah nama jalan yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Kulihat Pak Anggara mengangguk.
"Saya mau ajak kamu makan seafood di Ancol," ucap pria beumur kepala tiga tapi tidak kentara.
"Kejauhan Pak, nanti pulangnya ribet," ucapku beralasan. Lalu aku pura-pura melihat jam di ponselku. "Udah jam segini pula Pak." Aku memperlihatkan layar ponselku yang sudah menunjukkan pukul enam sore.
"Baru jam enam," jawabnya santai. "Saya tunggu di basement, kamu bilang sama Mayang nggak jadi makan sama dia." Pak Anggara beranjak berdiri.
"Pak." Aku ingin menolak, tapi ucapan berisi penolakan itu tidak kunjung keluar dari mulutku karena tersangkut ditenggorokkan setelah melihat tatapan membunuh bujang lapuk yang entah mengapa tiba-tiba ingin makan berdua denganku. Apa jangan-jangan ia mau membalas dendam padaku karena sudah berani menyuruhnya berjualan online? Aduh mati aku.
"Kenapa?" tanyanya setelah lama memperhatikan aku yang tidak melanjutkan kata-kata.
"Saya nanti pulangnya gimana?" Pertanyaan tidak bermutu dan tidak seharusnya ditanyakan.
"Aku nanti antar kamu pulang," jawabnya tenang.
What? Dia nanti antar aku pulang?
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian. Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kami mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama se
Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang. "Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri. "Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya. Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga. "Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa. Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi libu
Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah. "Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun. "Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal panggil abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO." Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar." Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar." Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami data
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi libu
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang. "Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri. "Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya. Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga. "Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa. Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian. Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kami mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama se
"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang."Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan. Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa.""Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak.""Amin." Mesk
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah. "Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun. "Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal panggil abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO." Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar." Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar." Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami data