Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah.
"Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun.
"Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal paling abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO."
Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar."
Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar."
Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami datang. Pria tampan yang katanya belum menikah meskipun umurnya lebih tua dariku itu tampak masuk ke dalam ruangannya. Enaknya jadi pria, tidak ada yang mencibir meskipun belum menikah apalagi si pria itu kaya raya. Sungguh tidak adil dunia.
"Kak San, gebet bapake aja biar nggak jomlo. Kan sama-sama jomlo." Mayang berbisik dengan mata mengerling jahil.
Aku mendengkus, telunjukku menoyor kening gadis itu. "Sembarangan, mau ngayal juga aku mikir-mikir kali. Bapake seleranya model professional bukan model-modelan aku begini."
"Kali aja Kak San jodoh sama bapake," kata Mayang.
"Ngawur," sahutku. "Orang kaya jodohnya orang kaya, nggak mungkin ganti selera."
Aku memilih tidak lagi menanggapi ocehan berisi khayalan Mayang dan kembali fokus menatap layar komputerku yang menampilkan tabel berisi angka dan dipenuhi dengan rumus yang selalu membuat pusing kepala. Entah mengapa aku bisa mendapatkan pekerjaan yang bertolak belakang dari jurusan yang aku tempuh ketika kuliah dulu, namun kenyataan itulah yang banyak terjadi di dunia kerja. Kuliah jurusan apa kerjanya jadi apa, yang penting kerja, iya nggak?
Banyaknya pekerjaan membuat waktu berjalan sangat cepat hingga tidak sadar jika sudah waktunya istirahat. Fokusku terdiktrasi ketika mendengar suara langkah kaki yang dihasilkan dari sepatu hak tinggi yang digunakan oleh seorang wanita yang terlihat diantar oleh sekretaris atasan kami menuju ruangan beliau.
"Kan, apa kubilang, selera bapake minimal yang begitu," bisikku pada Mayang, ekor mataku menunjuk ke arah wanita cantik dengan postur tubuh layaknya seorang model.
Mayang mencebik. "Tu betina udah ditolak berkali-kali sampa bapake masih aja punya muka buat dateng ke sini."
Aku memandang Mayang, merasa jika aku ketinggalan informasi tentang penolakan atasan kami yang bernama Anggara Prasetya itu. "Emang kapan bapake nolak?" Aku jadi penasaran.
"Makanya jangan pacaran sama pivot mulu, jadinya ketinggalan info." Bukannya menjawab Mayang malah mengatakan hal yang nyata, tampaknya aku jomlo karena terlalu banyak bergaul dengan rumus pivot dan teman-temannya.
"Jawab May, jangan malah mengalihkan pembicaraan," kataku sebal.
"Jawabannya iya benar, si betina itu udah ditolak berkali-kali sama bapake," jawab Mayang.
Aku menatap ke arah ruangan atasan kami yang tertutup rapat dan sunyi senyap. "Kalau aku secantik dia, nyari yang lain aja dibanding ngejar-ngejar si bapak."
"Itu kan pikiran Kak San," kata Mayang.
Aku manggut-manggut. "Iya juga sih, pikiran orang kan beda-beda. Mungkin dia udah bucin to the max sama si bapak."
Sesaat setelah aku mengatakan hal itu. TIba-tiba saja terdengar huru-hara di ruangan Pak Anggara. Ingin menguping tentu saja, tapi mana berani. Takut tiba-tiba pintu terbuka dan jeng jeng jeng Pak Anggara akan menatapku yang menguping dengan tatapan murka, tentu saja tidak. Aku masih butuh kerja.
Wajahku dan tentu saja wajah rekan-rekan kerjaku spontan menunduk ketika mendengar suara pintu ruangan atasan kami terbuka, tidak ada satupun dari kami yang berani mengangkat kepala hanya telinga kami saja yang awas mendengar percakapan antara pria dan wanita yang tidak jelas hubungannya apa.
"Jangan pernah datang ke kantor saya lagi," ucap Pak Anggara dengan suara tegas.
"Aku ke sini karena kamu nggak bisa dihubungi babe," ucap wanita yang aku lupa bernama siapa dengan nada manja dan memelas.
Aku mengintip dengan ujung mataku. Sial, Pak Anggara sedang melihat ke arahku. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke layar komputer dan pura-pura mengetik.
"I'm not your babe." Setelah mengatakan hal itu atasanku yang sedang dalam mode senggol bacok itu langsung masuk ke dalam ruangannya. Terdengar suara pintu terkunci dari dalam membuat si wanita yang tadi memanggilnya babe menghentakkan kaki lalu meninggalkan ruangan kerja kami.
Mataku langsung berpandangan dengan Mayang, lalu kami sama-sama terkikik tanpa suara. Aku yakin kejadian ini akan langsung menjadi trending topic antara karyawan saat makan siang.
"Sandrina!" Aku yang sedang memoles lipstick karena akan pergi makan siang mendongak, Pak Anggara sudah berdiri di depan kubikelku.
"Iya Pak," sahutku kikuk.
"Laporan mingguan mana? Belum masuk ke saya?" tanyanya dengan tatapan super tajam setajam belati baru di asah.
"Sudah Pak, tadi jam sebelas saya kirim ke email Bapak," jawabku.
Pak Anggara terdiam, lalu tanpa mengatakan apapun ia kembali ke ruangannya. Aku mengerenyitkan kening lalu memandang Mayang yang terlihat mengedikkan bahunya.
"Udah yuk, kita maksi nanti keburu habis waktunya." Aku mengoleskan lipstick dengan cepat lalu menuju kantin karyawan sambil berharap atasanku itu tidak kembali memanggilku di saat genting seperti ini.
Kantin karyawan sudah dipenuhi oleh manusia-manusia yang ingin mengisi perut mereka. Aku bertugas mencari meja dan Mayang yang memesan makanan. Kami memesan soto ayam langganan yang terkenal enak dan murah- meriah.
Hidup di ibukota dengan gaji lumayan tidak membuat aku serta merta sangat sejahtera karena memang besarnya penghasilan yang aku hasilkan sebanding dengan pengeluaran. Maka dari itu, aku harus pandai-pandai berhemat. Meskipun tidak memiliki tanggunan karena aku anak tunggal dan orang tuaku memiliki pekerjaan, tetap saja tanggungan gaya hidup di kota besar sangatlah besar.
Aku menatap sekeliling, kantin ini selalu penuh setiap hari karena memang menyajikan aneka macam makanan yang harganya terjangkau.
Tidak lama menunggu, Mayang datang dengan membawa nampan berisi dua mangkuk soto ayam dan dua piring nasi, untuk minum aku dan Mayang membawa air minum sendiri.
"San!" seru Mas Cahya sambil menepuk pundakku. Hampir saja aku tersedak kuah soto yang sudah aku tambahkan sambal.
"Apa sih Mas, ngagetin aja," sungutku sambil cemberut.
"Abis istirahat langsung ke ruang Pak Anggara ya, tadi dia nyariin kamu," jawab Mas Cahya dengan seringai jahil.
Aku manyun. "Ih, mau ngapain sih? Kan laporan mingguan udah aku kirimin," kataku sebal.
Mas Cahya mengedikkan bahunya. "Meneketehe, nanti aja kamu tanya langsung sama dia. Aku tadi mau nanyain juga keburu keder karena matanya melotot," jawab Mas Cahya. "Mau ngajak kawin kali."
Aku langsung melempar Mas Cahya dengan tissue. "Gila!"
Mas Cahya malah tertawa, aku menghela nafas karena waswas laporan mingguan yang kubuat bermasalah. Haduh, udah kehidupan percintaan bermasalah masa iya urusan pekerjaan juga bermalah.
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang."Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan. Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa.""Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak.""Amin." Mesk
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian.Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kamu mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama sek
Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang."Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri."Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya.Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga."Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa.Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku bertanya, b
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi lib
Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi lib
Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t
Sudah pukul sepuluh pagi namun aku belum melihat karyawan yang beberapa hari ini mampu mengalihkan pandanganku. Tidak biasanya wanita itu belum datang. Sandrina adalah orang yang selalu tepat waktu baik datang ataupun pulang."Si Sandrina ke mana?" kebetulan Cahya masuk ke ruanganku untuk mengabarkan jika aku harus segera berangkat meeting dengan pemilik pabrik tempat kami memproduksi produk yang kami jual karena belum memiliki pabrik sendiri."Sakit katanya Pak, tadi dia telepon lagi di rumah sakit," jawab Cahya.Sakit? Kok bisa? Semalam dia tidak apa-apa malah terlihat bahagia menikmati aneka macam hidangan laut. Mengingat kejadian semalam membuatku ingin tersenyum sangat lebar, tapi tidak mungkin karena ada Cahya ada di sini. Aku tidak ingin asisten yang sudah menemani seumur perusahaanku ini menatapku penuh curiga."Sakit apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang kuperiksa.Cahya tidak langsung menjawab sepertinya ia sedang berpikir kenapa aku bertanya, b
Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan. Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian.Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kamu mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama sek
"Lo pake ajian apa San sampe Bapak jadi mau ikutan host?" bisik Mas Cahya ketika kami sedang melihat langsung live shopping perdana yang dipandu oleh owner perusahaan kami yang gantengnya endulita kalau kata Mayang."Nggak pake ajian Mas, pake kalimat yang baik dan benar sesuai PUEBI dan tentunya disampaikan dengan cara yang sangat meyakinkan," jawabku asal. Akupun tidak menyangka jika hanya dalam sekali percobaan Pak Anggara mau mencoba ajakan untuk menjadi host di live shopping exclusive sore ini.Kulihat Mas Cahya mengangguk-angguk. "Keren emang lo, pantesan aja jadi kesayangan si Bapak," ucap Mas Cahya membuatku mendelik. Kesayangan pala lo peang, kalau kesayangan udah dinikahin bukannya disuruh bikin laporan. Mas Cahya menahan tawanya. "Sinis banget si lo, jodoh sama dia baru tahu rasa.""Aku? Jodoh sama si Bapak? Ya bakal bahagia lah pastinya. Aku bakalan jadi sosialita yang ogah kenal Mas Cahya," kataku.Mas Cahya terkikik geli. "Gue doain, jadi lo sama si Bapak.""Amin." Mesk
Sudah tiga puluh menit aku berada di ruangan Pak Anggara, namun tidak ada sepatah-katapun keluar dari bibirnya. Bibir sexy yang menurut Mayang kissable itu sedari tadi."Pak?" Aku akhirnya memberanikan diri untuk memanggil namanya. Bukannya apa-apa, pekerjaanku masih banyak dan jika terus-terusan berada di sini tanpa ada tujuan yang pasti, pekerjaanku akan terbengkalai pastinya yang bisa mengakibatkan aku tidak bisa pulang tepat waktu. Aku kan karyawan teladan yang selalu datang dan pulang tepat waktu.Pak Anggara mendongak. "Ya?" Aku menatapnya heran, kenapa dia malah bertanya? Bukannya dia yang tadi memintaku untuk duduk di kursi panas sepanas api neraka? Oke, aku terlalu berlebihan. Kursinya sangat nyaman dan tidak panas sama sekali.Aku mencoba tersenyum meskipun sedikit kesal. "Tadi Bapak panggil saya, kalau boleh tahu untuk apa ya Pak?"Pak Anggara manggut-manggut. "Oh itu, saya cuma mau panggil kamu saja."What the hell? Apa katanya? Cuma mau manggil? Memang dasar sialan atasa
Ada apa dengan para wanita itu? Aku sudah menolak mereka tapi mereka masih saja mendekatiku. Apa kata-kataku tidak bisa dimengerti oleh mereka, entahlah aku tidak tahu. "Ga, kapan kamu mau kenalin Mama sama calon mantu Mama?" Pertanyaan ibuku selalu terngiang di kepalaku, pertanyaan yang hampir setiap kali beliau tanyakan jika aku mampir ke rumah dan pertanyaan itu pula yang membuatku memilih untuk tinggal di apartemen dibandingkan di rumah orang tuaku.Ternyata ibuku tidak puas dengan pertanyaan langsung seputar menantu dan pernikahan, ia kembali memborbardir pesan singkat tentang pertanyaan yang sama membuat kepalaku seakan mau pecah. Menikah? Memang gampang?Seolah dunia tidak ingin membuatku tenang, hari ini lagi-lagi wanita itu kembali menemuiku yang bahkan aku lupa bernama siapa. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya. Sudah jelas-jelas aku mengatakan jika tidak tertarik padanya tapi kenapa wanita itu tetap saja mendekatiku, seperti tidak ada pria lain saja."Babe, ka
Perawan tua? Dua kata maut yang seringkali menyakiti perasaan wanita ketika ada orang yang melabeli mereka dengan dua kata itu, termasuk aku, Sandrina Rahayu yang lima bulan lagi akan berulang tahun ke tiga puluh tahun tapi selalu menjadi bulan-bulanan tetangga di kampungku karena aku belum menikah. "Belum tiga puluh Kak San, baru mau," ucap Mayang, teman seperjuangan di tempat kerjaku yang juga sama-sama jomlo. Bedanya Mayang baru berumur 25 tahun."Iya tahu, tapi orang-orang udah pada heboh karena aku belum nikah," sungutku. "Yakali cari jodoh itu kayak beli cilok, tinggal paling abangnya langsung bisa dibeli dan dinikmati," tambahku berapi-rapi. "Yang ada dapetnya mokondo. Dikira drama China, kepeleset dapet jodoh CEO."Mayang terkikik geli. "Sabar Kak San, orang sabar pantatnya lebar." Aku mendelik mendengar ucapannya. "Nyindir banget sih, udah sabar dari jaman orok pantatku nggak lebar-lebar." Mayang tertawa, namun tidak berselang lama karena melihat atasan kami datang. Pria t