Komentar Pedas Mertuaku
Aku segera menyudahi makan, lalu gegas melangkah meninggalkan mereka. Bang Ridwan dari tadi tak memperdulikan aku. Dia asyik ngobrol dengan mantan kekasihnya itu. Untuk apa aku lama-lama di situ, kalau hanya jadi kambing congek.Aku terus berjalan menuju mobil yang terparkir di lapangan tak jauh dari lokasi pesta. Bang Ridwan memanggilku, aku tak perduli. Aku terus berlalu menjauhi mereka.Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meluncur bebas membasahi pipi. Sakit rasanya hati ini. Lelaki yang selama ini kucinta dan kupuja, ternyata malu mengakui aku sebagai istrinya. Dia malah nyaman dan kelihatan sangat bahagia ngobrol dengan mantan kekasihnya.Bang Ridwan selama ini tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Mau aku gendut atau kurus. Mau aku pakai make up atau tidak, dia selalu diam dan terkesan membiarkan. Apa itu karena dia tak perduli padaku. Apa mungkin selama ini Bang Ridwan hanya pura-pura mencintaiku? Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya dijadikan sebagai pelarian karena Gita, pacar Bang Ridwan yang dijodohkan dengan orang lain.Mungkinkah suamiku berencana balikan dengan mantan kekasih ya itu, setelah dia tahu kalau Gita, wanita yang selama ini dia cintai ternyata tidak jadi menikah dengan orang lain.Ya Tuhan, kenapa harus begini? Kenapa aku dihadapkan dengan persoalan serumit ini? Aku terduduk lemas di tanah. Aku menangis, tergugu dalam diam."Ngapain berdiri di situ, Ris?" seru Bang Ridwan, tiba-tiba anak dan ibu itu sudah berada di belakangku. Aku buru-buru menyapu jejak basah di pipi."Kamu nangis?" tanya Ibu mertuaku. Mungkin Ibu masih melihat mataku yang memerah akibat menangis tadi. "Gitu aja nangis, cengeng kamu tuh, Ris," tambahnya lagi. Siapa yang tak menangis kalau diperlakukan seperti tadi? Ibu juga pasti akan meraung-raung. ucapku dalam hati."Apa maksud Ibu mengatakan kalau aku hanya orang lain? Ibu malu mengakui aku sebagai menantu ibu?" tanyaku seraya menatap tajam pada Ibu mertuaku itu."Ya iyalah, masak penampilan kamu kayak gitu. Beda jauh sama si Gita, mantan pacar Ridwan tadi. Makanya, besok-besok kalau diajak pergi sama suami, dandannya yang bener. Masak putus dari Gita yang cantik menawan, dapatnya model kayak kamu," ujar wanita yang telah melahirkan suamiku itu. membuat hatiku tambah sakit. Bukannya merasa bersalah telah memperkenalkan aku sebagai tetangganya, dia malah ngomel-ngomel, memarahi aku.Tega beliau berkata begitu. Biasanya juga begini, dan Bang Ridwan gak pernah protes."Apa Abang juga sependapat dengan Ibu?" Kualihkan tatapanku kepada Bang Ridwan."Maksud kamu apa? Kamu mau ngajak ribut di sini?" sahut Bang Ridwan agak kesal."Bukan ngajak ribut, Risa hanya bertanya. Buktinya Abang diam saja waktu Ibu mengenalkan aku sebagai orang lain. Dari tadi, Abang juga tak perduli padaku, malah asyik ngobrol sama perempuan itu. Apa Abang mau balikan sama dia?" ujarku sembari terisak."Sudahlah, Risa! Abang malas ribut. Kalau kau mau ikut pulang, segeralah naik! Atau mau tetap tinggal di sini? Terserah!" Bang Ridwan langsung naik ke mobil diikuti oleh ibu mertuaku.Dengan perasaan berkecamuk, aku juga ikut naik ke mobil itu. Mungkin hari ini aku belum menemukan jawaban atas semua pertanyaanku. Tapi, aku akan terus mencari tau tentang hal itu.Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang padat oleh kendaraan sore itu. Aku duduk tepat di belakang Bang Ridwan, menatap jauh ke luar jendela mobil.Kejadian di pesta tadi masih terlintas di benakku. Segudang tanya, masih merajai hati. Apakah Bang Ridwan masih mencintai mantan kekasihnya itu? Apakah dia menikahiku hanya sebagai pelarian saja, karena kekasih hatinya dijodohkan dengan lelaki lain.Kalau dibandingkan dengan wanita tadi, rasanya tak mungkin Bang Ridwan benar-benar mencintaiku. Gita, merupakan sosok yang begitu sempurna. Cantik, anggun, berpendidikan pula. Lelaki mana pun tak akan mungkin dengan mudah bisa move on, jika sudah menjalin kasih dengan wanita sesempurna itu. Begitu pun dengan Bang Ridwan.Dengan penampilanku yang begini, wajah pas-pasan, tak pernah tersentuh skin care sedikit pun tubuh tak semampai, dengan tinggi badan 160 centimeter dan bobot tujuh puluh lima kilogram, membuat penampilanku seperti badut, besar di bokong, menonjol di perut. Pantaslah kalau Bude tadi mengira aku sudah ibu-ibu.Sejak gadis, aku mamang sangat jarang memperhatikan penampilan. Boro-boro ke salon. Cuci muka pakai sabun muka saja aku tak pernah. Aku selalu tampil apa adanya."Biarlah begini, alami jadi akan terlihat istimewa tanpa polesan ini itu. Emak suka kamu apa adanya, lihat mereka kok malah kayak topeng monyet, wajahnya penuh lukisan." Begitulah kata-kata Emak kepadaku, lalu aku menurut sajaTernyata aku salah. Tak semua lelaki suka dengan penampilan yang apa adanya. Hanya satu diantara seratus, seperti Bang Ardi, lelaki kampung nan culun yang menaruh hati padaku namun tak pernah aku tanggapi. Walaupun Bang Ardi terkenal karena kepintarannya, dan memiliki pekerjaan yang mapan. Namun, tetap saja aku tak suka. Karena aku lebih memilih Bang Ridwan, pria dunia maya yang telah lama aku kagumi dan membuat aku klepek-klepek.Bersambung.Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu. Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.Pesan itu kub
Gara-Gara DietPagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku."Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan."Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa."Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi."Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya "Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini."Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot. "Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur."Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak t
"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?" Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku. "Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka. *Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku. Ya sudahlah, mau bagai
[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana. Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika. Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini. "Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ."Kalau tidak
Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual. "Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah. "Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. . "Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal. "Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line. Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu bebera
Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta
Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada