Share

Bab 3. Komentar Pedas Mertuaku

Komentar Pedas Mertuaku

Aku segera menyudahi makan, lalu gegas melangkah meninggalkan mereka. Bang Ridwan dari tadi tak memperdulikan aku. Dia asyik ngobrol dengan mantan kekasihnya itu. Untuk apa aku lama-lama di situ, kalau hanya jadi kambing congek.

Aku terus berjalan menuju mobil yang terparkir di lapangan tak jauh dari lokasi pesta. Bang Ridwan memanggilku, aku tak perduli. Aku terus berlalu menjauhi mereka.

Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meluncur bebas membasahi pipi. Sakit rasanya hati ini. Lelaki yang selama ini kucinta dan kupuja, ternyata malu mengakui aku sebagai istrinya. Dia malah nyaman dan kelihatan sangat bahagia ngobrol dengan mantan kekasihnya.

Bang Ridwan selama ini tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Mau aku gendut atau kurus. Mau aku pakai make up atau tidak, dia selalu diam dan terkesan membiarkan. Apa itu karena dia tak perduli padaku. Apa mungkin selama ini Bang Ridwan hanya pura-pura mencintaiku? Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya dijadikan sebagai pelarian karena Gita, pacar Bang Ridwan yang dijodohkan dengan orang lain.

Mungkinkah suamiku berencana balikan dengan mantan kekasih ya itu, setelah dia tahu kalau Gita, wanita yang selama ini dia cintai ternyata tidak jadi menikah dengan orang lain.

Ya Tuhan, kenapa harus begini? Kenapa aku dihadapkan dengan persoalan serumit ini? Aku terduduk lemas di tanah. Aku menangis, tergugu dalam diam.

"Ngapain berdiri di situ, Ris?" seru Bang Ridwan, tiba-tiba anak dan ibu itu sudah berada di belakangku. Aku buru-buru menyapu jejak basah di pipi.

"Kamu nangis?" tanya Ibu mertuaku. Mungkin Ibu masih melihat mataku yang memerah akibat menangis tadi. "Gitu aja nangis, cengeng kamu tuh, Ris," tambahnya lagi. Siapa yang tak menangis kalau diperlakukan seperti tadi? Ibu juga pasti akan meraung-raung. ucapku dalam hati.

"Apa maksud Ibu mengatakan kalau aku hanya orang lain? Ibu malu mengakui aku sebagai menantu ibu?" tanyaku seraya menatap tajam pada Ibu mertuaku itu.

"Ya iyalah, masak penampilan kamu kayak gitu. Beda jauh sama si Gita, mantan pacar Ridwan tadi. Makanya, besok-besok kalau diajak pergi sama suami, dandannya yang bener. Masak putus dari Gita yang cantik menawan, dapatnya model kayak kamu," ujar wanita yang telah melahirkan suamiku itu. membuat hatiku tambah sakit. Bukannya merasa bersalah telah memperkenalkan aku sebagai tetangganya, dia malah ngomel-ngomel, memarahi aku.

Tega beliau berkata begitu. Biasanya juga begini, dan Bang Ridwan gak pernah protes.

"Apa Abang juga sependapat dengan Ibu?" Kualihkan tatapanku kepada Bang Ridwan.

"Maksud kamu apa? Kamu mau ngajak ribut di sini?" sahut Bang Ridwan agak kesal.

"Bukan ngajak ribut, Risa hanya bertanya. Buktinya Abang diam saja waktu Ibu mengenalkan aku sebagai orang lain. Dari tadi, Abang juga tak perduli padaku, malah asyik ngobrol sama perempuan itu. Apa Abang mau balikan sama dia?" ujarku sembari terisak.

"Sudahlah, Risa! Abang malas ribut. Kalau kau mau ikut pulang, segeralah naik! Atau mau tetap tinggal di sini? Terserah!" Bang Ridwan langsung naik ke mobil diikuti oleh ibu mertuaku.

Dengan perasaan berkecamuk, aku juga ikut naik ke mobil itu. Mungkin hari ini aku belum menemukan jawaban atas semua pertanyaanku. Tapi, aku akan terus mencari tau tentang hal itu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang padat oleh kendaraan sore itu. Aku duduk tepat di belakang Bang Ridwan, menatap jauh ke luar jendela mobil.

Kejadian di pesta tadi masih terlintas di benakku. Segudang tanya, masih merajai hati. Apakah Bang Ridwan masih mencintai mantan kekasihnya itu? Apakah dia menikahiku hanya sebagai pelarian saja, karena kekasih hatinya dijodohkan dengan lelaki lain.

Kalau dibandingkan dengan wanita tadi, rasanya tak mungkin Bang Ridwan benar-benar mencintaiku. Gita, merupakan sosok yang begitu sempurna. Cantik, anggun, berpendidikan pula. Lelaki mana pun tak akan mungkin dengan mudah bisa move on, jika sudah menjalin kasih dengan wanita sesempurna itu. Begitu pun dengan Bang Ridwan.

Dengan penampilanku yang begini, wajah pas-pasan, tak pernah tersentuh skin care sedikit pun tubuh tak semampai, dengan tinggi badan 160 centimeter dan bobot tujuh puluh lima kilogram, membuat penampilanku seperti badut, besar di bokong, menonjol di perut. Pantaslah kalau Bude tadi mengira aku sudah ibu-ibu.

Sejak gadis, aku mamang sangat jarang memperhatikan penampilan. Boro-boro ke salon. Cuci muka pakai sabun muka saja aku tak pernah. Aku selalu tampil apa adanya.

"Biarlah begini, alami jadi akan terlihat istimewa tanpa polesan ini itu. Emak suka kamu apa adanya, lihat mereka kok malah kayak topeng monyet, wajahnya penuh lukisan." Begitulah kata-kata Emak kepadaku, lalu aku menurut saja

Ternyata aku salah. Tak semua lelaki suka dengan penampilan yang apa adanya. Hanya satu diantara seratus, seperti Bang Ardi, lelaki kampung nan culun yang menaruh hati padaku namun tak pernah aku tanggapi. Walaupun Bang Ardi terkenal karena kepintarannya, dan memiliki pekerjaan yang mapan. Namun, tetap saja aku tak suka. Karena aku lebih memilih Bang Ridwan, pria dunia maya yang telah lama aku kagumi dan membuat aku klepek-klepek.

Bersambung.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ling Ling
mimpi tinggi tapi tdak menyesuaikan diri....
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
perempuan bodoh terlalu banyak mimpi ya gini niiih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status