[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana.
Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika.Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini."Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ."Kalau tidak tahu alamatnya, harusnya perginya lebih cepat. Jadi, Abang tak capek menunggu," sungut Bang Ridwan dengan wajah kesal."Ini baju yang baru dibeli? Gak ada model lain apa? Lihat tuh, teman-temanku. Cantik dan anggun. Gayanya kekinian. Kamu, kayak ibu-ibu mau pergi pengajian. Malu-maluin, aja," ucap lelaki bergelar suamiku itu. Sakit rasanya hati ini, padahal aku rasa baju ini sudah sangat bagus. Tapi, tetap aja salah di mata Bang Ridwan.Bang Ridwan lalu berbalik dan hendak berjalan masuk ke dalam ruangan pesta. Tiba-tiba...."Bang Ridwan!" seru seseorang di belakangku. Aku dan Bang Ridwan menoleh bersamaan ke sumber suara tersebut."Gita!" seru Bang Ridwan pula. "Kok ke sini?" tanyanya lagi."Iya, Bang. Yang cewek, temenku waktu kuliah," sahut Gita dengan wajah semringah. Mata Bang Ridwan tak berkedip menatap Gita, yang datang dengan balutan gaun cukup ketat dan sexi,sehingga membentuk jelas pola tubuhnya. Gita memang sangat cantik hari ini."Kalau begitu, kita bareng aja, yok!" Bang Ridwan mengulurkan tangan untuk mengajak Gita berjalan masuk ke dalam ruangan, dan tak menganggap aku ada di sini.Kedua insan yang pernah saling jatuh cinta, atau mungkin cintanya masih berlanjut sampai sekarang itu, berjalan bersisian masuki ruangan pesta. Aku ditinggal sendirian di luar. Kalau tau begini, lebih baik aku tak datang saja tadi.Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki ruangan pesta sendirian. Sampai di dalam ruangan, aku merasa sangat bingung tak tau harus bagaimana. Akhirnya aku berdiri mematung di dekat pintu masuk sembari memperhatikan orang-orang yang lalu lalang."Cari siapa, Mbak?" Tiba-tiba seseorang menyapaku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya."Eh, Bang Firman, kan? Kok ada di sini?" ucapku penuh tanda tanya. Tadi pagi aku bertemu lelaki ini di toko baju, dia juga sedang berbelanja di sana."Iya, yang nikah teman Abang," sahutnya sembari menggaruk dahinya."Sendirian aja?" tanyanya lagi."Eh...anu, sama Bang Ridwan, Bang. Suami Risa," jawabku tergagap."Ridwan? Jadi kamu istrinya Ridwan? Baru tau. Dimana dia?""Lagi ambil makanan, Bang," sahutku sekenanya. Karena, aku sendiri tak tau di mana Bang Ridwan sekarang."Disini kamu rupanya, Ris! Malah asyik ngobrol sama pria lain. Eh, Bang Firman. Udah lama, Bang?" ujar Gita yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Bang Firman. sembari tersenyum manja kepada lelaki itu. Ternyata, Gita juga kenal dengan lelaki ini."Dimana, Bang Ridwan, Git?" tanyaku pada Gita."Di sana, di dekat pelaminan. Ke sana, gih!" kata Gita seolah ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini."Aku juga mau pamit, kok. Masih ada urusan lain. Aku pulang duluan ya, Ris," ucap Bang Firman lalu berbalik dan ingin melangkah keluar ruangan pesta."Kok buru-buru, Bang. Gita baru aja sampai. Temenin Gita dulu, dong." Gita menarik tangan Bang Firman, ingin mencegahnya pergi dari sini. Namun, ditepis dengan lembut oleh lelaki berwajah tampan itu.Bang Firman berlalu tanpa menghiraukan rengekan Gita. Kulihat raut kesal dan kecewa di wajah Gita. Ternyata Gita itu bersikap manja tak hanya kepada Bang Ridwan saja. Mungkin sama semua laki-laki, dia begitu, ya.Tapi, kenapa Bang Firman bersikap begitu kepada Gita. Dia seperti tak suka bertemu wanita sok manja itu. Apa yang terjadi diantara mereka?Baru saja aku beranjak ingin menemui Bang Ridwan, dia malah sudah berdiri di depanku."Kita pulang sekarang! Abang mau istirahat." Bang Ridwan memasang raut wajah jutek."Tapi, Bang...aku belum makan atau minum apa pun," sahutku kesal."Kalau kamu ingin tetap di sini, silakan. Abang pulang. Abang capek!" Bang Ridwan berlalu meninggalkan ruangan pesta. Mau tak mau, aku mengikutinya dari belakang. Namun, seketika Gita mencekal lenganku."Makanya, mimpinya jangan ketinggian. Kamu tuh, gak sepadan sama Bang Ridwan. Bagaikan bumi dan langit." Aku tak menjawab apa pun atas perkataannya itu. Hanya mengerlingnya dengan tajam. Lalu melangkah menyusul Bang Ridwan.Bersambung.Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual. "Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah. "Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. . "Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal. "Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line. Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu bebera
Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta
Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini
Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka. "Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya. Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.Acara tujuh bulanan terus berlangsung. "Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman. "Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku. Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu. "Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku."Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagi
"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu."Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu. "Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur. "Kau, sebagai sesama wanita, dimana hati nuranimu? Apa perasaanmu jika kau ada di posisiku sekarang, hah? Dasar murahan, kenapa harus rumah tanggaku yang kau ganggu? Kau tahu kan, aku sedang hamil anak Bang Ridwan. Bisa-bisanya kalian bercinta di tengah-tengah acara seperti ini. Kalian memang tak punya rasa malu. Sudah seperti binatang," ujarku lantang."Jaga mulutmu, Risa. Bang Ridwan tak mencintaimu. Dia masih menyimpan rasa padaku. Kau yang seharusnya
Aku berjalan menuju lemari, lalu mengemas baju-bajuku. Bang Ridwan dan wanita murahan itu hanya berdiri memperhatikanku. Setelah baju-baju terkemas tak beraturan di dalam tas. Aku segera menentengnya dan beranjak menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku menghentikan langkahku sejenak, lalu menoleh pada Bang Ridwan dan Gita."Aku pamit, Bang. Semoga kau bahagia dengan wanita yang kau cintai!" ujarku lalu keluar dari kamar yang penuh dengan aroma perselingkuhan."Ris...Risa, tunggu!" seru Bang Ridwan, namun kuhiraukan. Aku terus berjalan menuju halaman depan. Aku harus segera mengajak Emak dan Bapak pergi dari sini. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan di rumah ini. Bang Ridwan jahat, mertuaku juga jahat. Aku menyesal telah menjatuhkan pilihan kepada lelaki berhati binatang seperti Bang Ridwan. "Kok bawa tas besar, Ris? Mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku di ruang tengah. Ibu yang melihatku keluar membawa sebuah tas kelihatan heran. "Risa mau pulang kampung, Bu. Risa pamit