Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini
Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka. "Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya. Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.Acara tujuh bulanan terus berlangsung. "Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman. "Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku. Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu. "Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku."Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagi
"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu."Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu. "Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur. "Kau, sebagai sesama wanita, dimana hati nuranimu? Apa perasaanmu jika kau ada di posisiku sekarang, hah? Dasar murahan, kenapa harus rumah tanggaku yang kau ganggu? Kau tahu kan, aku sedang hamil anak Bang Ridwan. Bisa-bisanya kalian bercinta di tengah-tengah acara seperti ini. Kalian memang tak punya rasa malu. Sudah seperti binatang," ujarku lantang."Jaga mulutmu, Risa. Bang Ridwan tak mencintaimu. Dia masih menyimpan rasa padaku. Kau yang seharusnya
Aku berjalan menuju lemari, lalu mengemas baju-bajuku. Bang Ridwan dan wanita murahan itu hanya berdiri memperhatikanku. Setelah baju-baju terkemas tak beraturan di dalam tas. Aku segera menentengnya dan beranjak menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku menghentikan langkahku sejenak, lalu menoleh pada Bang Ridwan dan Gita."Aku pamit, Bang. Semoga kau bahagia dengan wanita yang kau cintai!" ujarku lalu keluar dari kamar yang penuh dengan aroma perselingkuhan."Ris...Risa, tunggu!" seru Bang Ridwan, namun kuhiraukan. Aku terus berjalan menuju halaman depan. Aku harus segera mengajak Emak dan Bapak pergi dari sini. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan di rumah ini. Bang Ridwan jahat, mertuaku juga jahat. Aku menyesal telah menjatuhkan pilihan kepada lelaki berhati binatang seperti Bang Ridwan. "Kok bawa tas besar, Ris? Mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku di ruang tengah. Ibu yang melihatku keluar membawa sebuah tas kelihatan heran. "Risa mau pulang kampung, Bu. Risa pamit
"Apa rencanamu selanjutnya, Ris? Kalau kamu mau buka usaha, Bapak rela jual ladang kita yang sepetak itu," ujar Bapak ketika kami sarapan pagi ini.Kami sedang membicarakan rencana apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku harus memiliki sebuah usaha agar setelah anakku lahir nanti, aku dapat memenuhi kebutuhannya. Aku tak mau anakku merasakan penderitaan karena tak ada sosok ayah di sisinya. Aku akan membuktikan, walau tanpa Bang Ridwan aku mampu membesarkan dan membahagiakan anakku."Janganlah, Pak. Itu ladang satu-satunya peninggalan Kakek, masak mau dijual," tolakku halus."Gak apa-apa, Ris. Lagian tempatnya jauh. Bapak gak sempat kalau harus ngerjain ladang itu. Bolak-balik, sana-sini, makan waktu. Ladang itu memang sudah terbengkalai bertahun-tahun," ujar Bapak lagi. "Iya, gak apa-apa kalau mau dijual. Emak dan Bapak ikhlas. Yang penting kamu bisa bahagia dan gak melulu mikirin si Ridwan itu. Kamu harus cari kesibukan, agar dapat melupakan masalahmu. Kalau kamu terus-terusan sedi
Belum bercerai saja aku sudah dihujat seperti ini. Bagaimana kalau nanti aku dan Bang Ridwan benar-benar bercerai. Tak dapat kubayangkan, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di kampung ini. Pasti mereka akan mengejekku karena tak dapat menjaga keutuhan rumah tangga. Kasian Emak dan Bapak, pasti akan menjadi bahan perbincangan juga di kampung ini. Punya anak perempuan, satu-satunya, baru menikah, eh sudah diceraikan. Semoga keluargaku kuat menghadapi gunjingan orang-orang julid seperti Bu Dewi ini. Aku yang tak pernah berpacaran dengan siapa pun, tiba-tiba saja memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki dari kota. Waktu itu, banyak juga cibiran dari para tetangga dan mengatakan kalau aku lupa daratan. Aku tak pantas menikah dengan pria kaya dan tampan seperti Bang Ridwan. Aku pasti akan dijadikan keset, istilah orang di sini jika istri statusnya lebih rendah dari suaminya. Aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Yang aku tau, aku mencintai Bang Ridwan dan Cintaku bersambut.
Aku baru saja pulang dari klinik dokter kandungan. Klinik yang terletak di kota kecil di daerah tempat tinggalku, menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan pemeriksaan USG. Walau berada di kota kecil, namun alatnya sudah empat dimensi, jadi aku dapat melihat dengan jelas wajah bayi dalam kandunganku. Aku sudah mengirimkan foto hasil pemeriksaan bayiku kepada Bang Ridwan. Semoga dengan melihat hasil pemeriksaan calon anaknya, hati Bang Ridwan tersentuh dan membatalkan niatnya untuk menikahi Gita. Hanya ini yang dapat kulakukan saat ini. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Itu saja. Namun, semua harapanku kandas, Bamg Ridwan sama sekali tak merespon foto yang kukirim itu. Jangankan datang, sekedar menelepon untuk menanyakan kondisi kehamilanku saja tidak. Bang Ridwan benar-benar keterlaluan. Apa dia tidak khawatir dengan calon anaknya ini? Dua bulan sudah berlalu, belum ada tanda-tanda apakah Bang Ridwan akan menceraikan aku atau akan menjemput dan mengajakku untuk merajut kemb
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat