Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini
Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka. "Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya. Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.Acara tujuh bulanan terus berlangsung. "Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman. "Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku. Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu. "Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku."Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagi
"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu."Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu. "Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur. "Kau, sebagai sesama wanita, dimana hati nuranimu? Apa perasaanmu jika kau ada di posisiku sekarang, hah? Dasar murahan, kenapa harus rumah tanggaku yang kau ganggu? Kau tahu kan, aku sedang hamil anak Bang Ridwan. Bisa-bisanya kalian bercinta di tengah-tengah acara seperti ini. Kalian memang tak punya rasa malu. Sudah seperti binatang," ujarku lantang."Jaga mulutmu, Risa. Bang Ridwan tak mencintaimu. Dia masih menyimpan rasa padaku. Kau yang seharusnya
Aku berjalan menuju lemari, lalu mengemas baju-bajuku. Bang Ridwan dan wanita murahan itu hanya berdiri memperhatikanku. Setelah baju-baju terkemas tak beraturan di dalam tas. Aku segera menentengnya dan beranjak menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku menghentikan langkahku sejenak, lalu menoleh pada Bang Ridwan dan Gita."Aku pamit, Bang. Semoga kau bahagia dengan wanita yang kau cintai!" ujarku lalu keluar dari kamar yang penuh dengan aroma perselingkuhan."Ris...Risa, tunggu!" seru Bang Ridwan, namun kuhiraukan. Aku terus berjalan menuju halaman depan. Aku harus segera mengajak Emak dan Bapak pergi dari sini. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan di rumah ini. Bang Ridwan jahat, mertuaku juga jahat. Aku menyesal telah menjatuhkan pilihan kepada lelaki berhati binatang seperti Bang Ridwan. "Kok bawa tas besar, Ris? Mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku di ruang tengah. Ibu yang melihatku keluar membawa sebuah tas kelihatan heran. "Risa mau pulang kampung, Bu. Risa pamit
"Apa rencanamu selanjutnya, Ris? Kalau kamu mau buka usaha, Bapak rela jual ladang kita yang sepetak itu," ujar Bapak ketika kami sarapan pagi ini.Kami sedang membicarakan rencana apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku harus memiliki sebuah usaha agar setelah anakku lahir nanti, aku dapat memenuhi kebutuhannya. Aku tak mau anakku merasakan penderitaan karena tak ada sosok ayah di sisinya. Aku akan membuktikan, walau tanpa Bang Ridwan aku mampu membesarkan dan membahagiakan anakku."Janganlah, Pak. Itu ladang satu-satunya peninggalan Kakek, masak mau dijual," tolakku halus."Gak apa-apa, Ris. Lagian tempatnya jauh. Bapak gak sempat kalau harus ngerjain ladang itu. Bolak-balik, sana-sini, makan waktu. Ladang itu memang sudah terbengkalai bertahun-tahun," ujar Bapak lagi. "Iya, gak apa-apa kalau mau dijual. Emak dan Bapak ikhlas. Yang penting kamu bisa bahagia dan gak melulu mikirin si Ridwan itu. Kamu harus cari kesibukan, agar dapat melupakan masalahmu. Kalau kamu terus-terusan sedi
Belum bercerai saja aku sudah dihujat seperti ini. Bagaimana kalau nanti aku dan Bang Ridwan benar-benar bercerai. Tak dapat kubayangkan, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di kampung ini. Pasti mereka akan mengejekku karena tak dapat menjaga keutuhan rumah tangga. Kasian Emak dan Bapak, pasti akan menjadi bahan perbincangan juga di kampung ini. Punya anak perempuan, satu-satunya, baru menikah, eh sudah diceraikan. Semoga keluargaku kuat menghadapi gunjingan orang-orang julid seperti Bu Dewi ini. Aku yang tak pernah berpacaran dengan siapa pun, tiba-tiba saja memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki dari kota. Waktu itu, banyak juga cibiran dari para tetangga dan mengatakan kalau aku lupa daratan. Aku tak pantas menikah dengan pria kaya dan tampan seperti Bang Ridwan. Aku pasti akan dijadikan keset, istilah orang di sini jika istri statusnya lebih rendah dari suaminya. Aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Yang aku tau, aku mencintai Bang Ridwan dan Cintaku bersambut.