Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual.
"Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah."Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. ."Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal."Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line.Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu beberapa saat sampai petugas memanggil namaku. Serangkaian pemeriksaan kujalani. Hingga akhirnya aku mendapat hasil yang jelas, kenapa aku sebenarnya."Apa hasilnya? Kamu sakit apa?" tanya Ibu begitu aku kembali dari klinik. Tampaknya dia sengaja menunggu kepulanganku, dengan duduk manis di ruang tamu, seraya membaca koran."Risa hamil, Bu," sahutku singkat. Lalu melangkah menuju kamar."Apa? Hamil? Kok bisa? Cepat amat!" cercanya membuat langkahku berhenti."Kok, Ibu seperti tidak suka begitu?" tanyaku heran. Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna mimik wajah Ibu yang berubah tegang."Ya, harusnya ditunda dulu hamilnya. Ridwan kan belum siap jadi ayah." Ibu memberi alasan sembari bangkit dari tempat duduknya sambil bersungut. Terdengar dia seperti mengatakan sesuatu, tapi tidak jelas. Aku tak dapat mendengarnya.Kuhiraukan sikap mertuaku yang kelihatan tidak bahagia dengan kabar yang kubawa ini. Aku meneruskan langkah menuju kamar.Menjelang malam, aku duduk di tepian ranjang. Jantungku berdebar tak karuam, menanti sang pujaan hati pulang dari kantor. Tak sabar rasanya ingin segera melihat wajahnya yang selalu kurindu setiap saat. Bagaimana kira-kira reaksinya nanti setelah menerima hasil pemeriksaanku.Terdengar deru mesin mobil berhenti di garasi. Hatiku semakin berdebar-debar. Berulang kali aku merangkai kata, mencari kata yang pas untuk menyampaikan berita ini. Semoga ini merupakan awal yang baik untuk hubungan kami yang mulai terasa hambar. Ya, sejak peristiwa di pesta itu, Bang Ridwan jadi sering protes tentang penampilanku."Sudah pulang, Bang? Mau langsung makan atau mandi dulu?" tanyaku ketika Bang Ridwan masuk ke kamar."Mandi dulu lah, gerah. Oya, masih sakit?" tanyanya seraya meletakkan tas dan hape di atas nakas. Walaupun belakangan dia cuek padaku, tapi ternyata dia khawatir juga kalau aku sakit. Aku tersenyum simpul sendiri."Sudah lumayan, Bang. Ini hasilnya." Aku menyerahkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaanku tadi siang."Apa ini?""Bacalah!" ucapku. Bang Ridwan mengambil kertas itu lalu mulai membaca dengan teliti."Kamu hamil, Ris?" tanyanya dengan mimik wajah terkejut."Iya, Bang, aku hamil," sahutku sembari tersenyum bahagia. Namun, Bang Ridwan hanya diam seraya membaca ulang hasil pemeriksaan itu."Kenapa, Bang? Abang tak percaya?" tanyaku seraya memperhatikan mimik wajah Bang Ridwan yang kelihatan tak gembira."Ah, bukan. Ya sudah, Abang mandi dulu, ya!" Bang Ridwan meraih handuk yang tersangkut di kursi lalu melangkah menuju kamar mandi.Kenapa dengan Bang Ridwan. Kok seperti tidak bahagia mendengar kabar ini. Apa dia tak ingin segera memiliki anak dari pernikahan ini? Apa nenar kata Ibu, kalau Bang Ridwan belum siap jadi ayah? Hatiku dirundung berbagai pertanyaan melihat sikap yang ditunjukan oleh Bang Ridwan barusan. Perasaanku jadi tak enak.Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Kini, tiga bulan sudah usia kandunganku. Bang Ridwan mulai berubah, bahkan sangat jauh berbeda dari awal-awal menikah dulu.Setiap hari dia selalu pulang larut malam. Beberapa kali kudapati aroma alkohol menguar dari mulutnya saat dia pulang ke rumah. Entah masalah apa yang sedang dia hadapi, hingga dia berbuat demikian.Terkadang, Bang Ridwan bersikap perhatian padaku, menanyakan keadaanku, sehatkah, ngidamkah, mau dibelikan apa bahkan mencium perutku ketika hendak pergi ke kantor. Tak jarang pula, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan menanyakan tentang keadaanku, mengusap perut ini saja dia enggan. Entahlah, semakin hari aku semakin tak mengenali suamiku itu. Sering aku merasa dia bagaikan orang asing bagiku."Abang kenapa? Kok kayaknya suntuk banget? Ada masalah apa, Bang?" tanyaku ketika mendapati Bang Ridwan bangun tengah malam dan duduk sendirian di ruang tengah dengan puntung rokok yang berserakan di sekitar kakinya."Gak ada! sudahlah, jangan banyak tanya, kamu gak akan ngerti apa-apa." Begitulah jawabnya setiap aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya.Dalam kehidupan rumah tangga, sudah sepantasnya suami-istri saling berbagi suka dan duka. Tapi ternyata, Bang Ridwan tak mau melakukan itu. Dia tak suka kalau aku terlalu ikut campur dengan urusannya.Mungkinkah karena aku yang hanya tamatan SMA ini, makanya Bang Ridwan menganggap aku tak layak mengetahui masalahnya dan tak akan mampu memberikan solusi yang tepat, malah akan jadi runyam. Mungkin saja.*Hari ini, Bang Ridwan berjanji akan mengantarkan aku memeriksakan kandungan di klinik langgananku. Aku sangat bersyukur karenanya. Setelah sekian bulan aku mengandung anaknya, baru kali ini dia mau diajak ke tempat itu.Tujuh bulan sudah usia kehamilanku. Tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Semoga dengan lahirnya anak ini kelak, Bang Ridwan akan berubah. Aku berharap dia akan menyayangi anak ini sepenuh hati.[Jam berapa ke dokternya?]Bang Ridwan mengirimkan sebuah pesan tadi, sekitar pukul dua siang.[Jam Lima sore, Bang] tulisku menjawab pesannya.[Oke, tunggu Abang, ya! Nanti Abang yang antarkan] tulisnya lagi.[Iya, Bang] jawabku singkat. Walau sebenarnya hati ini sedang berbunga-bunga. Akhirnya nya keinginanku tercapai, Bang Ridwan mau melihat janin di dalam perut ini.Tak ada pesan lagi, setelahnya. Bahkan, sampai sekarang, Jarum jam yang bergerak tanpa lelah itu telah berhenti sesaat di angka sembilan. Sudah jam sembilan malam, tak ada kabar apa pun dari Bang Ridwan.Aku mengira kalau dia lupa karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Kucoba menelepon untuk mengingatkannya, tepat pukul enam tadi, hapenya tidak aktif.Bersambung.Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta
Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini
Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka. "Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya. Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.Acara tujuh bulanan terus berlangsung. "Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman. "Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku. Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu. "Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku."Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagi
"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu."Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu. "Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur. "Kau, sebagai sesama wanita, dimana hati nuranimu? Apa perasaanmu jika kau ada di posisiku sekarang, hah? Dasar murahan, kenapa harus rumah tanggaku yang kau ganggu? Kau tahu kan, aku sedang hamil anak Bang Ridwan. Bisa-bisanya kalian bercinta di tengah-tengah acara seperti ini. Kalian memang tak punya rasa malu. Sudah seperti binatang," ujarku lantang."Jaga mulutmu, Risa. Bang Ridwan tak mencintaimu. Dia masih menyimpan rasa padaku. Kau yang seharusnya
Aku berjalan menuju lemari, lalu mengemas baju-bajuku. Bang Ridwan dan wanita murahan itu hanya berdiri memperhatikanku. Setelah baju-baju terkemas tak beraturan di dalam tas. Aku segera menentengnya dan beranjak menuju ke luar kamar. Sebelum keluar, aku menghentikan langkahku sejenak, lalu menoleh pada Bang Ridwan dan Gita."Aku pamit, Bang. Semoga kau bahagia dengan wanita yang kau cintai!" ujarku lalu keluar dari kamar yang penuh dengan aroma perselingkuhan."Ris...Risa, tunggu!" seru Bang Ridwan, namun kuhiraukan. Aku terus berjalan menuju halaman depan. Aku harus segera mengajak Emak dan Bapak pergi dari sini. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan di rumah ini. Bang Ridwan jahat, mertuaku juga jahat. Aku menyesal telah menjatuhkan pilihan kepada lelaki berhati binatang seperti Bang Ridwan. "Kok bawa tas besar, Ris? Mau kemana?" Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku di ruang tengah. Ibu yang melihatku keluar membawa sebuah tas kelihatan heran. "Risa mau pulang kampung, Bu. Risa pamit
"Apa rencanamu selanjutnya, Ris? Kalau kamu mau buka usaha, Bapak rela jual ladang kita yang sepetak itu," ujar Bapak ketika kami sarapan pagi ini.Kami sedang membicarakan rencana apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku harus memiliki sebuah usaha agar setelah anakku lahir nanti, aku dapat memenuhi kebutuhannya. Aku tak mau anakku merasakan penderitaan karena tak ada sosok ayah di sisinya. Aku akan membuktikan, walau tanpa Bang Ridwan aku mampu membesarkan dan membahagiakan anakku."Janganlah, Pak. Itu ladang satu-satunya peninggalan Kakek, masak mau dijual," tolakku halus."Gak apa-apa, Ris. Lagian tempatnya jauh. Bapak gak sempat kalau harus ngerjain ladang itu. Bolak-balik, sana-sini, makan waktu. Ladang itu memang sudah terbengkalai bertahun-tahun," ujar Bapak lagi. "Iya, gak apa-apa kalau mau dijual. Emak dan Bapak ikhlas. Yang penting kamu bisa bahagia dan gak melulu mikirin si Ridwan itu. Kamu harus cari kesibukan, agar dapat melupakan masalahmu. Kalau kamu terus-terusan sedi
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat