"Apa rencanamu selanjutnya, Ris? Kalau kamu mau buka usaha, Bapak rela jual ladang kita yang sepetak itu," ujar Bapak ketika kami sarapan pagi ini.Kami sedang membicarakan rencana apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku harus memiliki sebuah usaha agar setelah anakku lahir nanti, aku dapat memenuhi kebutuhannya. Aku tak mau anakku merasakan penderitaan karena tak ada sosok ayah di sisinya. Aku akan membuktikan, walau tanpa Bang Ridwan aku mampu membesarkan dan membahagiakan anakku."Janganlah, Pak. Itu ladang satu-satunya peninggalan Kakek, masak mau dijual," tolakku halus."Gak apa-apa, Ris. Lagian tempatnya jauh. Bapak gak sempat kalau harus ngerjain ladang itu. Bolak-balik, sana-sini, makan waktu. Ladang itu memang sudah terbengkalai bertahun-tahun," ujar Bapak lagi. "Iya, gak apa-apa kalau mau dijual. Emak dan Bapak ikhlas. Yang penting kamu bisa bahagia dan gak melulu mikirin si Ridwan itu. Kamu harus cari kesibukan, agar dapat melupakan masalahmu. Kalau kamu terus-terusan sedi
Belum bercerai saja aku sudah dihujat seperti ini. Bagaimana kalau nanti aku dan Bang Ridwan benar-benar bercerai. Tak dapat kubayangkan, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di kampung ini. Pasti mereka akan mengejekku karena tak dapat menjaga keutuhan rumah tangga. Kasian Emak dan Bapak, pasti akan menjadi bahan perbincangan juga di kampung ini. Punya anak perempuan, satu-satunya, baru menikah, eh sudah diceraikan. Semoga keluargaku kuat menghadapi gunjingan orang-orang julid seperti Bu Dewi ini. Aku yang tak pernah berpacaran dengan siapa pun, tiba-tiba saja memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki dari kota. Waktu itu, banyak juga cibiran dari para tetangga dan mengatakan kalau aku lupa daratan. Aku tak pantas menikah dengan pria kaya dan tampan seperti Bang Ridwan. Aku pasti akan dijadikan keset, istilah orang di sini jika istri statusnya lebih rendah dari suaminya. Aku tak pernah berpikir sampai ke sana. Yang aku tau, aku mencintai Bang Ridwan dan Cintaku bersambut.
Aku baru saja pulang dari klinik dokter kandungan. Klinik yang terletak di kota kecil di daerah tempat tinggalku, menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan pemeriksaan USG. Walau berada di kota kecil, namun alatnya sudah empat dimensi, jadi aku dapat melihat dengan jelas wajah bayi dalam kandunganku. Aku sudah mengirimkan foto hasil pemeriksaan bayiku kepada Bang Ridwan. Semoga dengan melihat hasil pemeriksaan calon anaknya, hati Bang Ridwan tersentuh dan membatalkan niatnya untuk menikahi Gita. Hanya ini yang dapat kulakukan saat ini. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Itu saja. Namun, semua harapanku kandas, Bamg Ridwan sama sekali tak merespon foto yang kukirim itu. Jangankan datang, sekedar menelepon untuk menanyakan kondisi kehamilanku saja tidak. Bang Ridwan benar-benar keterlaluan. Apa dia tidak khawatir dengan calon anaknya ini? Dua bulan sudah berlalu, belum ada tanda-tanda apakah Bang Ridwan akan menceraikan aku atau akan menjemput dan mengajakku untuk merajut kemb
"Kita pulang sekarang ya, Ris. Tadi Bu Bidan sudah membolehkan kamu pulang," ucap Emak dari ambang pintu ruangan tempat aku dirawat. "Iya, Mak. Syukurlah! Risa juga sudah bosan di ruangan ini. Pengen cepat-cepat pulang," sahutku diiringi senyum simpul."Kita tunggu Bapakmu, ya. Dia sedang ke rumah Pak RT untuk pinjam mobil." "Iya, Mak." Jarak rumahku dari Puskesmas tempatku melahirkan bisa dibilang cukup jauh. Mungkin Emak tak tega kalau cucunya yang baru lahir ini kena angin kalau naik becak. Ya, di sini tak ada taxi, adanya cuma becak motor dan ojek motor. Setelah menunggu beberapa saat, Bapak datang bersama Pak RT yang mengemudikan sendiri mobilnya, dan langsung mengantar kami sampai rumah. Alangkah terkejutnya aku ketika sampai di depan rumah, aku melihat Gita sudah duduk di teras rumah bersama Bu Dewi. Mau apa dia ke sini. Pasti Bu Dewi sudah cerita macam-macam ke Gita.Aku dan Emak segera masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Bu Dewi, si tukang kepo."Sudah lahiran ya, Risa. A
Dua bulan sudah berlalu."Mak, Risa ke mini market bentar. Susu Tama hampir habis. Titip Tama, ya!" ucapku pada Emak siang ini.Dua bulan sudah umur Putra Pratama, anakku dengan Bang Ridwan. Sejak lahir, dia terpaksa mengkonsumsi susu formula karena ASI ku tak mau keluar. Sudah berbagai macam cara kulakukan. Semua yang dikatakan para tetangga sudah kubuat, dari mengkonsumsi buah bengkoang, minum jamu dan lain sebagainya. Hasilnya nihil. ASI-ku tetap tidak ada. Untung saja pelanggan dekorasi hajatanku semakin ramai, jadi untuk masalah susu dan keperluan Tama lainnya dapat terpenuhi, walaupun ayahnya, Bang Ridwan tak pernah memberi uang sepeserpun untuk kebutuhan Tama dan aku. Jangankan memberi uang, memberi kabar saja tak pernah. Mungkin dia sudah lupa kalau sekarang dia sudah menjadi seorang ayah.Aku heran, apa dia tidak pernah merasa rindu ingin melihat darah dagingnya seperti apa? Apa dia tak ingin memeluk anaknya? Entahlah, aku tak tahu jalan pikirannya seperti apa.Dua bulan su
Sebenarnya dulu pun, Bang Ardi tidak jelek, hanya saja aku memamg tak punya rasa kepadanya, karena sudah ada Bang Ridwan di sana. Jadi menurutku, Bang Arfi kalah tampan dari Bang Ridwan. "Iya, gak nyangka. Udah lama gak ketemu. Lagi mengunjungi Emak dan Bapak? Apa kabar mereka?" tanya Bang Ardi sembari tersenyum. "Alhamdulillah, Emak dan Bapak sehat, Bang," sahutku cepat."Oh, Alhamdulillah. Syukurlah. Titip salam untuk mereka ya. Sudah lama Abang tak berkunjung ke sana, Abang jadi tak enak. Dulu Abang sering ngobrol dengan Bapak. Tapi, sejak Abang pindah kerja, jadi tidak punya waktu untuk main ke rumah Emak," ujarnya lagi dengan senyum tak lekat dari bibir tipisnya. Janggut tipis di dagunya menegaskan kelaki-lakiannya. "Iya, Bang, nanti Risa sampaikan. Oh, ya, Bang. Risa mau minta tolong. Risa mau ambil biskuit, tapi gak sampai, ada di paling atas, di sana," ujarku sembari menunjuk keberadaan biskuit yang kumaksud. "Iya...iya, bisa. Ayo!" Bang Ardi berjalan menuju rak yang kutun
"Kamu tidak dengar? Jangan berlaku tidak sopan di rumah orang," ucap Bang Ardi. Entah sejak kapan dia berada di situ. Apa dia mendengar perseteruan kami tadi? "Bang Ardi? Kenapa ada di sini?" seru Gita saat menoleh ke belakang. Bang Ardi melepaskan tangan Gita."Aku yang seharusnya tanya, ada perlu apa kau sampai ke sini? Ternyata kau belum berubah ya! Masih saja suka mencari keributan" ujar Bang Ardi pada Gita."Kamu kenal dengannya, Git?" tanya Bang Ridwan heran. Aku juga heran, kok bisa Bang Ardi kenal dengan Gita, sampai bisa berkata begitu, berarti kenal betul. "Iy—iya, Bang, dulu," jawab Gita singkat. "Sudahlah, Bang, suruh dia tanda tangani surat itu segera," ujarnya seperti mengalihkan pembicaraan. Ada apa dengan Gita, kenapa dia seperti gugup begitu. Apa ada masalah yang serius antara dia dengan Bang Ardi? Masalah apa?Aku jadi penasaran, bagaimana Bang Ardi bisa kenal dengan Gita. Mungkin lain kali aku akan menanyakan tentang hal itu pada Bang Ardi, siapa tau aku mendapat
Aku menatap Emak lekat-lekat. Lalu beralih menatap tajam ke manik mata Bang Ridwan. Tak kutemukan sorot kasih sayang di mata itu lagi. Dia balas menatapku dengan tatapan datar dan terkesan tidak suka.Kualihkan tatapanku kepada Gita, wanita itu menatap sinis padaku. Sebenarnya aku ingin sekali menumpahkan air mata, tapi, aku tak mau terlihat lemah di mata kedua orang tak punya perasaan ini. Acapkali kuhela napas dalam-dalam, agar sesak yang sedari tadi menghimpit didada dapat hilang. Namun sia-sia saja. Dadaku kian terasa sakit dan sesak."Baiklah, jika ini yang Abang mau. Aku melepaskan Abang dengan ikhlas. Jika nahkoda sudah lepas tangan, tak mungkin kukayuh biduk ini sendirian. aku akan memberikan surat-surat itu. Aku juga tak akan menghambat proses perceraian itu. Uruslah secepatnya! Mungkin suatu saat nanti, aku akan datang pada Abang untuk berterima kasih karena telah menceraikan aku sekarang."Aku segera masuk ke kamar,mengambil surat yang diminta oleh Bang Ridwan. Lalu kemb