Aku menatap Emak lekat-lekat. Lalu beralih menatap tajam ke manik mata Bang Ridwan. Tak kutemukan sorot kasih sayang di mata itu lagi. Dia balas menatapku dengan tatapan datar dan terkesan tidak suka.Kualihkan tatapanku kepada Gita, wanita itu menatap sinis padaku. Sebenarnya aku ingin sekali menumpahkan air mata, tapi, aku tak mau terlihat lemah di mata kedua orang tak punya perasaan ini. Acapkali kuhela napas dalam-dalam, agar sesak yang sedari tadi menghimpit didada dapat hilang. Namun sia-sia saja. Dadaku kian terasa sakit dan sesak."Baiklah, jika ini yang Abang mau. Aku melepaskan Abang dengan ikhlas. Jika nahkoda sudah lepas tangan, tak mungkin kukayuh biduk ini sendirian. aku akan memberikan surat-surat itu. Aku juga tak akan menghambat proses perceraian itu. Uruslah secepatnya! Mungkin suatu saat nanti, aku akan datang pada Abang untuk berterima kasih karena telah menceraikan aku sekarang."Aku segera masuk ke kamar,mengambil surat yang diminta oleh Bang Ridwan. Lalu kemb
Aku segera mengemas barang-barang keperluan Tama, lalu menggendong Tama dengan kain panjang dan langsung beranjak menuju rumah Bu Bidan Ida. Letaknya tak terlalu jauh dari rumah ini. Jadi aku dan Emak jalan kaki saja."Mudah-mudahan Bu Bidan ada di rumah ya, Mak," ucapku seraya mempercepat langkah agar cepat sampai di rumah Bu Bidan. Emak berjalan di sebelahku, juga dengan langkah lebar-lebar. "Iya, mudah-mudahan saja. Tapi, kalau tidak di rumah, kita harus bawa Tama ke puskesmas. Pokoknya Tama harus diobati. Panasnya masih tinggi," sahut Emak sembari meraba dahi Tama. "Mau kemana, Bu Fatma, Risa?" Bu Dewi menegur kami. Dia berdiri di seberang jalan. "Mau ke rumah Bu Bidan Ida, Bu Dewi," jawab Emak lalu terus melangkah mengikutiku."Owalah, siapa yang sakit, Bu?" tanyanya lagi. Kali ini dia ikut berjalan bersama kami. "Tama, Bu," jawabku singkat."Aduh, kasiannya. Mungkin dia mau jumpa sama ayahnya. Rindu kali, Ris. Sejak lahir kan belum ketemu ayahnya. Kasian, apa ayahnya tidak m
"Tenang, Mak. Saya akan fokus dan hati-hati," sahut Bang Ardi. Sejak dulu, Bang Ardi memang memanggil Emak dengan sebutan itu. Dia menganggap Emak seperti ibunya sendiri.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat jauh sekali. Padahal Bamg Ardi sudah memacu mobilnya dengan sangat kencang sekali. Apa ini hanya perasaanku saja, karena panik dengan keadaan Tama?Aku meraba dahi dan tubuh Tama berulang kali. Tatapanku tak lekat dari wajahnya. Aku sangat khawatir sesuatu terjadi pada anakku. Aku tak akan memaafkan diriku kalau sampai Tama kenapa-kenapa."Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit. Tama akan segera diobati," bisikku di telinga Tam."Tama rewel, Ris?" tanya Bang Ardi khawatir, seraya tetap fokus menyetir mobil."Nggak Bang, Tama diam saja. Tapi sepertinya Tama lemas," ujarku sedih. "Tenang ya, sebentar lagi kita sampai, kok," kata Bang Arfi menenangkan aku.Hampir satu jam kami di perjalanan. Akhirnya mobil Bang Ardi yang membawa kami memasuki kawasan rumah sakit.
Tiga hari sudah Tama dirawat di rumah sakit ini. Kata dokter, hari ini Tama diizinkan untuk pulang ke rumah, karena keadaannya sudah pulih benar. Tama hanya menderita demam biasa. Namun, karena tak mau minum susu jadi suhu badannya naik sangat cepat. Syukurlah malam itu Tama lekas dibawa ke sini, jadi tidak sempat dehidrasi. Mungkin aku akan pulang ke rumah dengan menumpang taxi online. Karena hanya tinggal aku dan Tama di sini. Emak tadi pagi-pagi sekali pulang, karena Bapak kurang enak badan. Tidak ada yang mengurus di rumah. Aku sedang mengemasi baju-baju dan barang-barang bawaan Tama. Sedangkan Tama masih tertidur di atas brankar. Aku lega sekali, Tama kembali sehat dan sudah dapat tertawa seperti sedia kala.Tok! Tok! Tok! Pintu ruang rawat Tama diketuk seseorang, sembari mengucapkan salam."Assalammualaikum," ucap seseorang di depan pintu ruang rawat Tama. Suara lelaki. Siapa, ya? Pikirku."Waalaikumsalam," sahutku, lalu pintu itu terbuka. Bang Ardi muncul dari balik pintu.
"Kita sudah sampai, Ris. Ayo turun," ajak Bang Ardi, membuatku kaget. "Risa di dalam mobil aja ya, Bang. Nasinya dibungkus saja. Nanti Risa makan di mobil saja. Tak enak kalau dilihat teman-teman Abang. Abang bolos kerja karena Risa. Bagaimana pula kalau yang lihat pacar Abang? Kan jadi berabe urusannya," ujarku ragu-ragu. Bang Ardi malah tertawa lebar."Risa, Risa! Ada-ada aja kamu ini. Jam segini teman-teman Abang sudah masuk kantor. Mana ada lagi yang berani berkeliaran kalau tak ada izin dari atasan. Pacar? Pacar yang mana? Gak ada yang mau sama Abang. Udahlah, jangan berhalusinasi seperti itu. Ayo turun! Kalau kamu gak mau turun, Abang juga gak akan turun." Bang Ardi menyandarkan kembali tubuhnya ke sandaran kursi mobil, sambil meringis memegangi perutnya. Tingkahnya lucu juga, membuat aku senyum-senyum sendiri. "Iya, iya, Risa turun," ucapku sembari mengerling dengan kesal padanya. Dia malah tersenyum simpul.Aku dan Bang Ardi turun dari mobil. Masih ada rasa ragu untuk masu
"Selamat menyandang status baru ya, Ris. Hari ini kamu resmi jadi janda," ucap Gita sembari tersenyum semringah. Nampaknya dia sengaja mendekatiku hanya untuk mengejek.Aku sedang duduk di salah satu bangku di depan ruang pengadilan agama. Sebenarnya aku masih ingin menenangkan hatiku di sini. Baru beberapa waktu lalu, putusan sidang perceraian dengan Bang Ridwan dibacakan. Resmi sudah aku dan suamiku berpisah. Benar kata Gita, hari ini aku menyandang status baru. Yah, single parents untuk Tama. Orang awam m nyebutnya janda. Status yang sangat ditakuti oleh wanita yang disebut istri. Orang-orang juga selalu menilai buruk terhadap seorang janda. Katanya, janda itu akan selalu menjadi pelakor. Tentunya tak semua wanita yang berstatus janda seperti itu. Namun, penilaian orang terlanjur jelek terhadap seorang janda."Lalu kenapa kalau aku janda? Kau pikir karena janda, hidupku akan hancur? Kau salah, Git. Aku akan baik-baik saja walau tanpa Bang Ridwan," sahutku sembari tersenyum sunggi
Bantu Risa, Mak. Bantu Risa untuk keluar dan bangkit dari masalah ini. Risa kini hanya punya Emak, Bapak dan Tama.""Iya, Sayang. Emak dan Bapak akan berusaha sekuat tenaga untuk membantumu bangkit. Emak yakin kita akan melewati ujian ini dengan mudah. Kamu yang sabar, ya!" Aku melepaskan pelukan Emak. "Iya, Mak," sahutku seraya tersenyum lepas."Kita pulang sekarang, ya!" ucap Emak lagi. Aku mengangguk.Aku dan Emak segera naik ke mobil dan bergegas meninggalkan gedung pengadilan agama itu.*Enam bulan sudah berlalu setelah sidang perceraian itu. Lambat laun, aku mulai dapat melupakan Bang Ridwan. Aku sudah ikhlas menerima semua keadaan ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah Tama. Dia harus bahagia walau tanpa mendapat kasih sayang dari ayahnya. "Kamu jadi ke kampung sebelah, Ris?" tanya Emak ketika kami sedang menikmati sarapan pagi ini."Jadi, Mak. Nanti sekitar jam sepuluh. Nuri masih ada urusan lain," ujarku pada Emak. "Jadi masang dekornya di dua tempat?" tanya Emak
Aku baru saja pulang dari kantor. Belum lagi sempat duduk dan beristirahat barang sejenak, namun sudah disuguhkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Seingatku, aku belum pernah melihat Ibu melakukan pekerjaan itu. Tapi, kenapa sekarang beliau mengerjakannya? Apa Ibu sekarang berubah jadi rajin?"Loh, Ibu kok ngepel lantai? Katanya lagi sakit." Aku menegur Ibu yang sedang fokus mengepel lantai.Aku pulang lebih cepat hari ini, karena merasa tak enak badan. Lalu mendapati Ibu sedang mengepel lantai di teras depan. Padahal, Ibu masih sakit. Kemarin, ketika bangun tidur, Ibu merasa tubuhnya sakit semua. Ternyata beliau demam."Iy—iya, tadi ada kotoran ayam di sini, jadi Ibu bersihin," jawabnya tergagap."Gita mana, Bu? Kok, Ibu yang mengerjakan ini?" tanyaku lagi, lalu mencium punggung tangan Ibu."Ada, di dalam." Ibu mengerling ke dalam rumah. Aku langsung masuk dan mencari Gita.Sampai di dalam rumah, aku melihat Gita tengah asyik menonton televisi. Kakinya di angkat ke atas meja. Set