"Alaaah, omong kosong. Jangan berandai-andai, Bang. Usaha dong, biar bisa jadi Bos. Kalau tau begini, aku jadi menyesal menikah dengan Abang. Tau gitu, aku cari om-om kaya raya. Tak apa jadi istri kedua, yang penting semua kebutuhanku terpenuhi d ngan mudah.""Astagfirullah. Kamu kok, ngomong seperti itu, Git?" Aku meraup wajah dengan kasar. Bisa-bisanya Gita ngomong seperti itu di hadapan suaminya sendiri. Gita menghiraukan kata-kataku. Gita bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan keluar dari kamar. Dia kembali menutup pintu kamar dengan kasar. Apa maksud Gita bicara seperti itu? Apa dia berencana ingin meninggalkan aku? Lalu, apa gunanya semua pengorbananku selama ini? Gita...Gita, andai saja sifatmu seperti Risa, aku akan menjadi kelaki paling bahagia di dunia ini. Keadaanku sekarang memang sangat sulit. Kebutuhan hidup keluargaku tiap bulannya semakin bertambah. Gita selalu meminta uang untuk membeli tas dan baju bahkan dia sering mengambil perhiasan pada temannya dan memin
"Ya sudah, Ridwan ke depan, beli sarapan untuk Ibu ya. Ibu tunggu di sini. Sebentar lagi Ridwan kembali membawakan sarapan untuk Ibu," ujarku seraya bangkit dan melangkah ke luar kamar. "Gak usah, Wan. Nanti kamu terlambat!" seru Ibu mencoba mencegahku. "Nggak, Bu! Nanti Ridwan minta izin sama atasan. Ibu sedang sakit, tak mungkin Ridwan meninggalkan Ibu dalam keadaan lapar begini. Yang ada Ridwan tidak konsen saat bekerja, karena kepikiran Ibu terus," ucapku lalu melanjutkan langkah. Aku berjalan keluar dari rumah untuk mencari penjual sarapan pagi. Untunglah di sekitar rumahku ada yang menjual sarapan pagi. Jadi, aku tak perlu jauh-jauh pergi untuk membeli makanan.Sekitar sepuluh menit, aku kembali ke rumah. Kuberikan lontong sayur kesukaan Ibu dan membuatkannya secangkir teh manis panas. "Habis makan, Ibu langsung minum obatnya ya. Kalau masih merasa lemas, kabari Ridwan ya, Bu." Ibu mengangguk dan tersenyum.Aku berpamitan untuk berangkat kerja. Kucium dengan takzim punggung
Setelah lima belas menit di perjalanan, kami sampai di rumah sakit Harapan Sehati. Aku segera mengarahkan mobilku ke depan ruang UGD. Beberapa orang perawat langsung membawa brankar dan menurunkan Ibu dari dalam mobil. Kuparkirkan mobilku di tempatnya, lalu kembali ke ruang UGD."Bagaimana Ibu saya, Sus?" tanyaku pada salah seorang Suster di depan UGD. "Masih ditangani oleh dokter. Bapak sabar, ya," sahutnya dengan senyum terukir di bibirnya. Aku duduk di salah satu kursi yang berjajar rapi di depan ruangan itu. Perasaan cemas menjalari hati. Semoga Ibu tak kenapa-kenapa. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Salah seorang Suster mengizinkan aku untuk masuk dan melihat keadaan Ibu. "Biarkan Ibu anda tenang dulu, ya, Pak! Kalau kondisinya sudah stabil, baru kita pindah ke ruang perawatan. Mungkin Ibu anda harus menginap di sini malam ini. Kondisinya sangat lemah sekali." Seorang dokter menjelaskan dengan teliti kepadaku. "Ibu saya kenapa, Dok? Kenapa harus menginap? Apa penyakitnya par
Pagi-pagi sekali Ibu sudah bangun. Karena merasa gerah, sejak kemarin tidak mandi, Ibu minta agar aku memapahnya ke kamar mandi. Beliau ingin membersihkan tubuh, katanya. Kondisi Ibu masih lemah. Tapi, wajahnya sudah kelihatan lebih segar dari kemarin. Ibu juga sudah mau makan sedikit demi sedikit. Syukurlah, akhirnya kondisi Ibu sudah mulai membaik. Aku jadi lega dibuatnya. Setelah mandi, Ibu kembali duduk bersandar di atas brankar. Matanya menatap jauh ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya. "Pagi, Bang! Gimana keadaan Ibu? Apa sudah mendingan?" Tanpa memberitahu, tiba-tiba Gita muncul di ambang pintu ruang perawatan Ibu. Di tangannya ada satu set rantang makanan. Dengan senyum semringah dia melangkah masuk menghampiri aku dan Ibu. "Ke sini kok gak ngasi kabar dulu?" tanyaku. Gita menyerahkan rantang yang dibawanya kepadaku, lalu duduk di tepi brankar sembari memijit lembut kaki Ibu. Ibu mengerling ke arah Gita, lalu tersenyum sungging. Aku semakin heran melihat
Hari ini adalah hari diadakannya acara tujuh bulanan calon bayiku. Setelah memastikan kondisi Ibu baik-baik saja, aku meninggalkan rumah sakit. Ibu belum diizinkan pulang. Aku sudah berpesan pada Suster yang jaga pada pagi itu, agar memeriksa kondisi Ibu secara berkala selama kutinggalkan. Ibu juga tak keberatan jika harus kutinggalkan hari ini. Keadaannya sudah semakin membaik. Mudah-mudahan, besok beliau sudah diizinkan pulang. Aku meninggalkan rumah sakit d ngan perasaan cemas. Tak tega rasanya meninggalkan Ibu sendiri di rumah sakit. Tapi, kalau aku tidak pulang, bisa-bisa terjadi perang sengit antara aku demgan Gita. Bisa-bisa Gita minta cerai, atau kabur dari rumah. Aku bisa gawat kalau sampai hal itu terjadi.Aku tak ingin kehilangan anakku untuk yang kedua kalinya. Aku sudah pernah mengabaikan darah dagingku sendiri demi Gita. Dia meminta syarat agar aku tak memberikan sedikitpun harta dan kasih sayang kepada anak itu. Aku harus mengabaikannya dan menganggap anak itu tak per
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku mulai membersihkan sisa-sisa sampah bekas acara semalam. Sebenarnya aku sudah minta bantuan kepada Pak Jarwo, Bapak yang berjualan lontong setiap pagi di depan rumah. Katanya hari ini dia tidak jualan, jadi aku memintanya untuk membantu membersihkan rumah dan pekarangan. Namun, sejak tadi ditunggu,.dia tak juga menampakkan batang hidungnya. Apa mungkin dia belum bangun. Biasanya kalau jualan sarapan, jam segini dia sudah mangkal di sini. Aku mencoba menghubunginya lewat panggilan telepon. "Halo, Pak Jarwo. Lagi dimana?"tanyaku pada Pak Jarwo."Masih di rumah, Pak," jawabnya singkat."Loh, gak jadi ke rumah saya? Saya tungguin loh," ujarku menanyakan kepastian tentang kedatangannya. "Iya, saya mohon maaf, Pak. Saya tidak jadi datang. Mendadak istri saya sakit perut. Bolak balik ke belakang, muntah-muntah juga. Ini masih mau saya bawa berobat," terangnya dengan suara cemas, terdengar."Oh, begitu. Ya, sudah tidak apa-apa. Semoga istrinya cepat
"Aduh, gimana ya, Bang. Gita baru aja nyampek Mall. Ini baru juga makan, belum lagi belanjanya. Papa dan Mama besok sudah pulang. Mereka ingin membelikan baju untuk anak kita, Bang," jawabnya semakin tak berperasaan."Jadi, kamu suruh Abang dan Ibu nunggu di luar, gitu? Bener-bener kamu, Git!" ujarku semakin kesal. Tanpa menunggu jawaban lagi aku langsung menutup panggilan telepon itu. Aku benar-benar merasa kesal dengannya. Bisa-bisanya dia begitu. Dasar Gita, memang tak punya perasaan. Harusnya sebelum pergi ke Mall tadi, dia meneleponku dulu. Tanya kek, atau apa kek. Jangan main pergi begitu aja. Bikin susah aja. "Kenapa, Wan? Gita kemana?" tanya Ibu terlihat khawatir."Gita pergi, Bu, sama Mama dan papanya. Mereka belanja keperluan calon bayi kami," sahutku masih merasa kesal pada Gita. Mana udah jam satu siang, Ibu dan aku juga belum makan. "Ibu lapar? Kita cari makan dulu, ya! Mudah-mudahan setelah kembali dari makan nanti, Gita sudah pulang. "Ya, sudah. Ayo!" Ibu segera na
"Gita, kamu di sini? Papa, Mama mana? Dia siapa?" cercaku pada Gita. Gita tampak terkejut dengan kehadiranku. "Eh, Bang Ridwan. Kok ke sini?" tanyanya sembari berdiri dari tempat duduknya."Ditanya malah balik nanya! Abang dan Ibu nungguin kamu dari tadi, kamu malah enak-enakan berduaan sama laki-laki lain di sini. Siapa dia? Kamu selingkuh?" Dadaku naik turun menahan emosi. Kalau bukan di tempat ramai, sudah kuhajar lelaki di depanku ini."Sabar dulu dong, Bang! Jangan main tuduh begitu. Ini Sony, sepupu aku. Baru pulang dari luar negeri. Son, kenalin, ini suamiku, Bang Ridwan," ujar Gita dengan mengulas senyum simpul."Sepupu? Kok aku belum pernah ketemu? Trus, tadi dia kasih kamu uang. Uang apa?" tanyaku lagi masih belum puas dengan keterangan yang Gita berikan."Ya, jelas gak pernah ketemu lah, Bang. Dia kan di luar negeri. Dia baru pulang semalam. Masalah uang tadi, Sony ini bayar hutang ke aku. Waktu itu dia pernah pinjam uang sama aku. Waktu kita belum nikah. Udahlah, mana mun