Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku mulai membersihkan sisa-sisa sampah bekas acara semalam. Sebenarnya aku sudah minta bantuan kepada Pak Jarwo, Bapak yang berjualan lontong setiap pagi di depan rumah. Katanya hari ini dia tidak jualan, jadi aku memintanya untuk membantu membersihkan rumah dan pekarangan. Namun, sejak tadi ditunggu,.dia tak juga menampakkan batang hidungnya. Apa mungkin dia belum bangun. Biasanya kalau jualan sarapan, jam segini dia sudah mangkal di sini. Aku mencoba menghubunginya lewat panggilan telepon. "Halo, Pak Jarwo. Lagi dimana?"tanyaku pada Pak Jarwo."Masih di rumah, Pak," jawabnya singkat."Loh, gak jadi ke rumah saya? Saya tungguin loh," ujarku menanyakan kepastian tentang kedatangannya. "Iya, saya mohon maaf, Pak. Saya tidak jadi datang. Mendadak istri saya sakit perut. Bolak balik ke belakang, muntah-muntah juga. Ini masih mau saya bawa berobat," terangnya dengan suara cemas, terdengar."Oh, begitu. Ya, sudah tidak apa-apa. Semoga istrinya cepat
"Aduh, gimana ya, Bang. Gita baru aja nyampek Mall. Ini baru juga makan, belum lagi belanjanya. Papa dan Mama besok sudah pulang. Mereka ingin membelikan baju untuk anak kita, Bang," jawabnya semakin tak berperasaan."Jadi, kamu suruh Abang dan Ibu nunggu di luar, gitu? Bener-bener kamu, Git!" ujarku semakin kesal. Tanpa menunggu jawaban lagi aku langsung menutup panggilan telepon itu. Aku benar-benar merasa kesal dengannya. Bisa-bisanya dia begitu. Dasar Gita, memang tak punya perasaan. Harusnya sebelum pergi ke Mall tadi, dia meneleponku dulu. Tanya kek, atau apa kek. Jangan main pergi begitu aja. Bikin susah aja. "Kenapa, Wan? Gita kemana?" tanya Ibu terlihat khawatir."Gita pergi, Bu, sama Mama dan papanya. Mereka belanja keperluan calon bayi kami," sahutku masih merasa kesal pada Gita. Mana udah jam satu siang, Ibu dan aku juga belum makan. "Ibu lapar? Kita cari makan dulu, ya! Mudah-mudahan setelah kembali dari makan nanti, Gita sudah pulang. "Ya, sudah. Ayo!" Ibu segera na
"Gita, kamu di sini? Papa, Mama mana? Dia siapa?" cercaku pada Gita. Gita tampak terkejut dengan kehadiranku. "Eh, Bang Ridwan. Kok ke sini?" tanyanya sembari berdiri dari tempat duduknya."Ditanya malah balik nanya! Abang dan Ibu nungguin kamu dari tadi, kamu malah enak-enakan berduaan sama laki-laki lain di sini. Siapa dia? Kamu selingkuh?" Dadaku naik turun menahan emosi. Kalau bukan di tempat ramai, sudah kuhajar lelaki di depanku ini."Sabar dulu dong, Bang! Jangan main tuduh begitu. Ini Sony, sepupu aku. Baru pulang dari luar negeri. Son, kenalin, ini suamiku, Bang Ridwan," ujar Gita dengan mengulas senyum simpul."Sepupu? Kok aku belum pernah ketemu? Trus, tadi dia kasih kamu uang. Uang apa?" tanyaku lagi masih belum puas dengan keterangan yang Gita berikan."Ya, jelas gak pernah ketemu lah, Bang. Dia kan di luar negeri. Dia baru pulang semalam. Masalah uang tadi, Sony ini bayar hutang ke aku. Waktu itu dia pernah pinjam uang sama aku. Waktu kita belum nikah. Udahlah, mana mun
Dua bulan kemudian. Tepatnya setelah seminggu putriku lahir, lamaranku di sebuah perusahan ternama di kota ini diterima. Aku sudah tak lagi bekerja di Bank. Aku sudah mengundurkan diri sebulan yang lalu. Aku tak mungkin mempertahankan pekerjaan itu lagi. Catatan buruk tentang kedisiplinanku selama beberapa bulan terakhir akan dengan mudah membuat perusahaan mendepakku dari sana. Aku sudah sering tidak masuk kerja karena alasan yang tidak jelas. Gita sering mengeluh sakit selama hamil. Terpaksa aku harus tidak masuk kerja karena merawatnya Sudah beberapa kali aku dipanggil oleh atasan mengenai hal itu. Bahkan, aku sudah menerima surat peringatan. Aku terancam akan di PHK. Mumpung ada batu loncatan, ada baiknya aku pindah ke perusahaan ini. Dari pada aku dipecat secara tidak hormat, malah akan membuat buruk namaku, sehingga susah untuk mencari pekerjaan lain.Kini, aku bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Sudah sangat lama aku ingin sekali bekerja di perusaha
"Kalau Abang muak, sebaiknya kita pisah saja, Bang!" teriak Gita. TerdengarBrak!Gita membanting pintu kamar. Dia memang seperti itu, kalau marah suka membanting apa saja. Untung saja pintunya terbuat dari kayu, kalau dari kaca, mungkin sudah hancur berantakan di lantai. Gita seperti anak kecil, tak dapat mengontrol emosinya. Biasanya, kalai dia sudah marah seperti itu, aku akan segera mengejarnya ke dalam kamar. Aku akan terus merayu dan memujuknya dengan segala macam cara agat dia mau memaafkan suaminya ini. Tapi, kali ini tidak. Aku tidak akan melakukan hal itu. Gita jadi ketagihan. Setiap kali marah, aku yang harus mengalah dan meminta maaf padanya. Padahal belum tentu aku yang bersalah. Entah sudah yang ke berapa kali dia mengatakan ingin berpisah. Namun, aku tak pernah menanggapinya. Aku tau, itu hanya emosi sesaat saja. Setelah aku meminta maaf dan berjanji akan menuruti kemauannya, pasti dia akan melupakan kata-katanya yang ingin berpisah denganku. Aku tahu betul siapa G
"Gita belum pulang, Bu?" tanyaku setengah berbisik, sembari mengecup pucuk kepala Mayra."Belum. Kemana dia? Belum juga menelepon?" tanya Ibu dengan raut wajah kesal. Aku menggeleng. Ibu mendengkus kesal, "Ibu jadi tak bisa masak untuk makan malam, sejak Ibunya pergi, Mayra rewel."Tiba-tiba pintu depan terbuka, Gita muncul dari balik pintu. Dia melenggang dengan santainya sembari menenteng dua buah paper bag di tangan kanannya. "Dari mana aja, kamu?" tanyaku kesal."Abang gak lihat, ini apa? Ya, dari belanjalah! Gita stres di rumah terus," sahutnya sembari mengangkat paper bag di tangannya ke atas."Gita nangis dari tadi. Kamu meninggalkan dia terlalu lama.""Kan ada Ibu, Bang! Percuma dong udah berpengalaman ngurus anak, masak ngurus cucu gak bisa?" sahut Gita seenaknya. "Kamu ini ya, selalu membebani Ibu. Dapat uang dari mana kamu, bisa belanja begitu?" selidikku. Sejak kemarin, Gita memang ribut minta uang dariku, tapi aku belum memberinya. "Aku kan punya Mama dan Papa. Minta
"Gimana penampilanku, Bang? Cantik gak?" ucap Gita setelah keluar dari butik yang sekaligus menyediakan jasa rias wajah. Butik ini milik teman Gita. Jujur, Gita sangat cantik malam ini. Gita mamg pandai merawat penampilannya. Aku jadi semakin sayang padanya."Cantik dong. Dari dulu kamu tetap cantik di mata Abang. Tapi, sebentar. Gaunnya mewah sekali, pasti sangat mahal kan, Git? Uangnya apa cukup?" Aku memuji penampilan Gita yang memang terlihat sangat cantik. Walaupun, tubuhnya lebih berisi dari sebelumnya, mungkin karena pengaruh baru melahirkan. Tapi, tetap saja tak mengurangi kecantikannya. "Tenang aja. Gaunnya Gita sewa. Kalau beli, memanglah tak cukup. Uang yang Abang kasih pas-pasan. Tapi, sewanya juga mahal, loh, Bang." Gita tersenyum simpul.Aku terpukau dengan penampilan Gita malam ini. Tak sia-sia aku mengeluarkan uang cukup banyak agar dia bisa tampil cantik dan tak malu-maluin di acara yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Malam ini akan diadakan acara perken
"Iya, Bang. Dia menikah dengan Risa tak lama setelah kalian bercerai. Mungkin karena itu Bang Ardi dipecat dari perusahaan yang lama, ya? Risa memang pembawa sial, Bang." sahut Gita lagi. Lelaki itu hanya tersenyum sungging sembari menggeleng. "Kok kamu gak pernah ngomong?" tanyaku menyelidik."Untuk apa? Kamu masih perduli sama Risa?" sungut Gita sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Bukan begitu, Sayang. Mana mungkin Abang masih perduli sama dia. Abang kan sudah punya kamu yang lebih segalanya dari Risa. Ini juga karena kamu istri Abang. Kalau masih si Risa itu, tentu Abang tak akan membawanya ke sini. Mau diletakkan dimana muka Abang? Risa itu tak bisa dibanggakan. Penampilannya saja seperti emak-emak dari kampung, kuno. Gak level sama Abang, yang sebentar lagi akan jadi manajer." Aku tersenyum sungging. Lelaki yang bernama Ardi itu menatapku cukup tajam. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku barusan. Baguslah, kalau dia menyerangku aku sudah siap dengan tinjuku. Aku