"Gita belum pulang, Bu?" tanyaku setengah berbisik, sembari mengecup pucuk kepala Mayra."Belum. Kemana dia? Belum juga menelepon?" tanya Ibu dengan raut wajah kesal. Aku menggeleng. Ibu mendengkus kesal, "Ibu jadi tak bisa masak untuk makan malam, sejak Ibunya pergi, Mayra rewel."Tiba-tiba pintu depan terbuka, Gita muncul dari balik pintu. Dia melenggang dengan santainya sembari menenteng dua buah paper bag di tangan kanannya. "Dari mana aja, kamu?" tanyaku kesal."Abang gak lihat, ini apa? Ya, dari belanjalah! Gita stres di rumah terus," sahutnya sembari mengangkat paper bag di tangannya ke atas."Gita nangis dari tadi. Kamu meninggalkan dia terlalu lama.""Kan ada Ibu, Bang! Percuma dong udah berpengalaman ngurus anak, masak ngurus cucu gak bisa?" sahut Gita seenaknya. "Kamu ini ya, selalu membebani Ibu. Dapat uang dari mana kamu, bisa belanja begitu?" selidikku. Sejak kemarin, Gita memang ribut minta uang dariku, tapi aku belum memberinya. "Aku kan punya Mama dan Papa. Minta
"Gimana penampilanku, Bang? Cantik gak?" ucap Gita setelah keluar dari butik yang sekaligus menyediakan jasa rias wajah. Butik ini milik teman Gita. Jujur, Gita sangat cantik malam ini. Gita mamg pandai merawat penampilannya. Aku jadi semakin sayang padanya."Cantik dong. Dari dulu kamu tetap cantik di mata Abang. Tapi, sebentar. Gaunnya mewah sekali, pasti sangat mahal kan, Git? Uangnya apa cukup?" Aku memuji penampilan Gita yang memang terlihat sangat cantik. Walaupun, tubuhnya lebih berisi dari sebelumnya, mungkin karena pengaruh baru melahirkan. Tapi, tetap saja tak mengurangi kecantikannya. "Tenang aja. Gaunnya Gita sewa. Kalau beli, memanglah tak cukup. Uang yang Abang kasih pas-pasan. Tapi, sewanya juga mahal, loh, Bang." Gita tersenyum simpul.Aku terpukau dengan penampilan Gita malam ini. Tak sia-sia aku mengeluarkan uang cukup banyak agar dia bisa tampil cantik dan tak malu-maluin di acara yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Malam ini akan diadakan acara perken
"Iya, Bang. Dia menikah dengan Risa tak lama setelah kalian bercerai. Mungkin karena itu Bang Ardi dipecat dari perusahaan yang lama, ya? Risa memang pembawa sial, Bang." sahut Gita lagi. Lelaki itu hanya tersenyum sungging sembari menggeleng. "Kok kamu gak pernah ngomong?" tanyaku menyelidik."Untuk apa? Kamu masih perduli sama Risa?" sungut Gita sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Bukan begitu, Sayang. Mana mungkin Abang masih perduli sama dia. Abang kan sudah punya kamu yang lebih segalanya dari Risa. Ini juga karena kamu istri Abang. Kalau masih si Risa itu, tentu Abang tak akan membawanya ke sini. Mau diletakkan dimana muka Abang? Risa itu tak bisa dibanggakan. Penampilannya saja seperti emak-emak dari kampung, kuno. Gak level sama Abang, yang sebentar lagi akan jadi manajer." Aku tersenyum sungging. Lelaki yang bernama Ardi itu menatapku cukup tajam. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku barusan. Baguslah, kalau dia menyerangku aku sudah siap dengan tinjuku. Aku
Setelah lelaki bernama Herlambang itu menyampaikan kata sambutan. MC kembali mengambil alih micropon. "Baiklah, Bapak, Ibu, para undangan yang terhormat. Sekarang waktunya memperkenalkan Direktur utama yang baru. Saya tidak akan menyebutkan namanya, karena beliau sendiri yang akan memperkenalkan diri kepada kita semua. Mari kita sambut direktur utama yang baru dengan tepukkan yang sangat meriah!" Suara MC dengan lantang memanggil sang direktur utama. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan sembari pokus melihat ke atas panggung. Aku dan Gita juga ikut melakukan hal yang sama. Tak lama, seorang lelaki berpostur tegap tinggi, mengenakan stelan jas berwarna hitam, serta memakai kaca mata naik ke atas panggung. Tepuk tangan dari semua orang yang hadir semakin meriah. Bagaikan mimpi, aku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Acap kali aku menyapu mata dengan punggung tanganku. Masih tak percaya kalau yang sedang berdiri di sana adalah orang yang aku kenal. Beberapa menit yang la
"Itu Mbak Risa kan, Bang? Aku gak percaya, Mbak Risa bisa secantik itu. Terakhir ketemu, waktu acara tujuh bulanan di rumah Bang Ridwan, kan? Penampilannya masih sangat amburadul, jelek dan tak pandai bergaya. "Iya, ya. Itu Mbak Risa. Mantan istri Ridwan. Bisa berubah begitu, ya. Diapain sama Pak Ardi?" ucap Riki menimpali. "Ternyata, seorang wanita, biar jelek atau miskin sekalipun, kalau berada di tangan lelaki yang tepat akan berubah jadi seorang ratu," ucap istri Riki menimpali, meninggalkan jejak resah di hatiku. Waktu bersamaku dulu, Risa memang tak pernah aku perlakukan layaknya seorang istri apalagi jadi seorang ratu. Dia pernah meminta uang untuk membeli peralatan make up, namun tak pernah kuberi. Dia juga pernah minta uang untuk mengikuti program diet. Lagi-lagi tak aku tanggapi. Aku sangat sayang mengeluarkan uang untuk Risa. Dari pada untuk dia, mendingan uangnya aku tabung, karena waktu itu aku sedang berusaha mendekati Gita kembali. Butuh uang banyak untuk bisa mempe
POV Risa"Bang, Risa di rumah aja, ya. Risa malu datang ke acara itu," ucapku memelas pada Bang Ardi, setelah makan malam yang sudah kemalaman. Ya, kemalaman, karena Bang Ardi pulang agak telat malam ini, jadi, waktu makan malam kami juga bergeser. Bang Ardi pulang selarut ini katena ikut membantu persiapan untuk acara besok. Walaupun dia akan diangkat menjadi direktur utama, dia tetap ikut berkecimpung dengan urusan-urusan seperti itu. Mungkin karena belum terbiasa jadi Bos. Jadi apa yang dikerjakan bawahannya, dia selalu ikut andil. Dia memang tak bisa diam dengan hanya melihat saja. Walapun lembur dan pulang sampai malam, Bang Ardi selalu minta ditemani makan di rumah. Seharian berada di kantor, dia rindu akan masakanku, katanya. Jadi, jam berapa pun dia pulang, selalu ingin makan, walau pun hanya makan mie instan saja, asalkan aku yang masak, dia sudah merasa puas. "Kenapa? Memangnya Adek gak punya hidung, makanya malu datang ke acara itu?" ucap Bang Ardi enteng. Aku tersenyum
[Dek, maaf ya! Abang gak bangunin Adek. Soalnya, tidurnya pules banget. Abang gak tega banguninnya. Lagian, memang lagi gak salat juga, kan?]Kubaca sebuah pesan di aplikasi berwarna hijau di ponselku. Ketika aku bangun, aku sudah tak mendapati Bang Ardi di sampingku. Kuraih, hape yang kuletakkan di atas nakas, lalu membukanya, ternyata sudah ada beberapa pesan dari suamiku itu.[Tadi, Abang masakin nasi goreng. Sudah Abang titipkan pada Mbok Nah. Nanti dimakan ya!] tulisnya lagi. Walaupun sudah ada yang membantu mengurus pekerjaan rumah, namun, untuk urusan masak kami sepakat untuk tidak menyerahkannya ke tangan orang lain, masakan istri atau suami sendiri itu lebih lezat, kata Bang Ardi. Malah keseringan, Bang Ardilah yamg membuatkan sarapan untukku sebelum dia berangkat bekerja. Kalau hari minggu atau hari libur, kami akan masak bersama di dapur. [Sekitar jam sebelas nanti, ada tim perawatan tubuh dan wajah yang akan datang ke rumah. Abang minta mereka merias istri Abang agar le
Setelah acara selesai, aku dan Bang Ardi meninggalkan gedung dengan perasaan lega. Kami berjalan bergandengan menuju mobil yang diparkir di area khusus untuk petinggi perusahaan. Bang Ardi membukakan pintu mobil untukku, lalu mempersilakan aku untuk masuk, sembari membungkukkan tubuhnya. Aku tersenyum simpul dibuatnya. Setelah naik ke mobil, Bang Ardi mendaratkan sebuah kecupan mesra di bibir lalu di pucuk kepalaku. "Kita pulang sekarang?" tanyanya, aku mengangguk dan tersenyum.Segera, suamiku yang romantis itu menghidupkan mesin mobilnya, dan melaju perlahan menembus pekatnya malam.Di dalam perjalanan, Bang Ardi menyinggung tentang kejadian keributan di acara tadi."Adek mengenal dua orang yang membuat keributan di acara tadi?" ucap Bang Ardi seraya melemparkan senyum yang selalu membuat aku berdebar-debar."Iya, Bang. Risa sangat terkejut, kenapa mereka bisa ada di acara tadi?" tanyaku pada Bang Ardi. Sejak selesai acara aku memang ingin menanyakan hal ini pada suamiku, mungkin