POV Risa"Bang, Risa di rumah aja, ya. Risa malu datang ke acara itu," ucapku memelas pada Bang Ardi, setelah makan malam yang sudah kemalaman. Ya, kemalaman, karena Bang Ardi pulang agak telat malam ini, jadi, waktu makan malam kami juga bergeser. Bang Ardi pulang selarut ini katena ikut membantu persiapan untuk acara besok. Walaupun dia akan diangkat menjadi direktur utama, dia tetap ikut berkecimpung dengan urusan-urusan seperti itu. Mungkin karena belum terbiasa jadi Bos. Jadi apa yang dikerjakan bawahannya, dia selalu ikut andil. Dia memang tak bisa diam dengan hanya melihat saja. Walapun lembur dan pulang sampai malam, Bang Ardi selalu minta ditemani makan di rumah. Seharian berada di kantor, dia rindu akan masakanku, katanya. Jadi, jam berapa pun dia pulang, selalu ingin makan, walau pun hanya makan mie instan saja, asalkan aku yang masak, dia sudah merasa puas. "Kenapa? Memangnya Adek gak punya hidung, makanya malu datang ke acara itu?" ucap Bang Ardi enteng. Aku tersenyum
[Dek, maaf ya! Abang gak bangunin Adek. Soalnya, tidurnya pules banget. Abang gak tega banguninnya. Lagian, memang lagi gak salat juga, kan?]Kubaca sebuah pesan di aplikasi berwarna hijau di ponselku. Ketika aku bangun, aku sudah tak mendapati Bang Ardi di sampingku. Kuraih, hape yang kuletakkan di atas nakas, lalu membukanya, ternyata sudah ada beberapa pesan dari suamiku itu.[Tadi, Abang masakin nasi goreng. Sudah Abang titipkan pada Mbok Nah. Nanti dimakan ya!] tulisnya lagi. Walaupun sudah ada yang membantu mengurus pekerjaan rumah, namun, untuk urusan masak kami sepakat untuk tidak menyerahkannya ke tangan orang lain, masakan istri atau suami sendiri itu lebih lezat, kata Bang Ardi. Malah keseringan, Bang Ardilah yamg membuatkan sarapan untukku sebelum dia berangkat bekerja. Kalau hari minggu atau hari libur, kami akan masak bersama di dapur. [Sekitar jam sebelas nanti, ada tim perawatan tubuh dan wajah yang akan datang ke rumah. Abang minta mereka merias istri Abang agar le
Setelah acara selesai, aku dan Bang Ardi meninggalkan gedung dengan perasaan lega. Kami berjalan bergandengan menuju mobil yang diparkir di area khusus untuk petinggi perusahaan. Bang Ardi membukakan pintu mobil untukku, lalu mempersilakan aku untuk masuk, sembari membungkukkan tubuhnya. Aku tersenyum simpul dibuatnya. Setelah naik ke mobil, Bang Ardi mendaratkan sebuah kecupan mesra di bibir lalu di pucuk kepalaku. "Kita pulang sekarang?" tanyanya, aku mengangguk dan tersenyum.Segera, suamiku yang romantis itu menghidupkan mesin mobilnya, dan melaju perlahan menembus pekatnya malam.Di dalam perjalanan, Bang Ardi menyinggung tentang kejadian keributan di acara tadi."Adek mengenal dua orang yang membuat keributan di acara tadi?" ucap Bang Ardi seraya melemparkan senyum yang selalu membuat aku berdebar-debar."Iya, Bang. Risa sangat terkejut, kenapa mereka bisa ada di acara tadi?" tanyaku pada Bang Ardi. Sejak selesai acara aku memang ingin menanyakan hal ini pada suamiku, mungkin
Dua bulan kemudian. Ting nung!Terdengar suara bel pintu berbunyi."Biar saya yang buka pintunya, ya, Bu!" ucap Mbok Nah. Aku sedang menyiapkan makan siang bersamanya di dapur. "Iya, Mbok," sahutku sembari asyik mengiris wortel. Tak lama Mbok Nah kembali."Ada seorang wanita, Bu, sudah agak tua, ingin bertemu dengan Ibu. Namanya, Bu Mayang!" ujar Mbok Nah dan langsung membuatku terkejut dengan nama yang diutarakannya itu. Bu Mayang? Bukannya itu nama mantan ibu mertuaku? Kalau benar, mau apa beliau ke sini?"Ya, sudah. Biar saya temui Ibu itu ya, Mbok. Tolong lanjutkan membersihkan sayurannya. Nanti, biar saya yang masak." "Iya, Bu!" Aku melepaskan celemek yang terpasang di tubuhku, lalu beranjak menuju pintu utama. Kubuka pintu perlahan."Ibu? Ada perlu apa ke sini?" tanyaku sedikit terkejut. Rumah kami yang sekarang memang berada di satu daerah dengan rumah Bang Ridwan. Pekerjaan Bang Ardi yang memaksa kami untuk tinggal di sini. Hanya dengan menempuh perjalanan selama tiga pul
Malam semakin larut. Diluar masih saja gerimis. Terdengar suara rintik hujan berbunyi ketika bertemu dengan atap rumahku. Sejak sore tadi hujan rintik-rintik itu tak juga berhenti. Sampai sekarang, jam di dinding sudah menunjuk di angka sebelas. Tumben sampai jam segini, Bang Ardi tak menelepon sama sekali dan memberitahu dia sedang berada di mana. Aku sudah mencoba menghubunginya melalui panggilan seluler. Namun, hape Bang Ardi tidak aktif. Kemana dia? Biasanya kalau dia lembur, dia selalu memberitahuku. Apa yang terjadi padanya? Apakah ada sesuatu yang memghalangi perjalanannya sehingga lama sampai ke rumah? Ya, Allah, semoga suamiku dalam keadaan baik-baik saja. Lindungilah dimana pun dia berada sekarang. Kucoba memejamkan mata ini, namun, rasa khawatir merajai hati. Pikiranku terus saja tertuju pada Bang Ardi. Aku tak bisa tenang sebelum mendengar kabar tentangnya. Kenapa dia lama sekali pulangnya. Dadaku jadi berdebar-debar karena cemas menunggu kepulangan Bang Ardi. Untung
Seketika darahku berdesir membaca pesan terakhir dari nomor itu. Siapa dia? Ada hubungan apa Bang Ardi dengannya? Apa benar Bang Ardi menyimpan sebuah rahasia demgan wanita lain? Apa Bang Ardi berselingkuh? Tak terasa, butiran bening menetes di sudut mata ini. Bayangan masa silam kembali menari-nari di pikiranku. Akankah nasib pernikahanku akan sama seperti dulu? Akankah biduk rumah tangga ini kembali hancur karena orang ke tiga? Tidak...aku tak mau itu terjadi. Aku akan berjuang agar rumah tanggaku tak lagi hancur karena ulah seorang pelak*r. Aku akan mencari tahu siapa wanita yang telah mengirimkan pesan mesra itu kepada suamiku. Setelah mencatat nomor telepon yang mengirim pesan ke ponsel Bang Ardi. Aku kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula. Biarlah Bang Ardi melihat, ada pesan baru yang masuk ke hapenya dan sudah terbaca. Aku ingin melihat reaksinya, besok. Apakah dia akan mengatakan sesuatu tentang pesan itu, atau tidak?Aku kembali naik ke atas ranjang, lalu berbarin
"Kok gak kasih tau mau ke sini, Dek?" ujar Bang Ardi. Dia kelihatan gugup melihat aku datang tiba-tiba. "Aku mau kasih surprise, tapi, ternyata aku yang terkejut, Bang," sungutku kesal."Maksudnya?" Bang Ardi mengernyitkan dahinya "Dia siapa, Bang? Bukannya ini jam istirahat? Tapi, kenapa Abang masih di sini bersama dia?" ucapku kesal. Bang Ardi malah tertawa.Bang Ardi beranjak dari tempatnya, menghampiriku. "Istri Abang lagi marah ya? Adek cemburu?" bisiknya di telingaku. Aku mengerling tajam kepadanya. "Sini...sini, duduk dulu! Waduh ini apa? Makan siang untuk Abang? Kamu memang paling ok, tau aja suaminya belum makan. Sini, duduk di sebelah Abang!" ujar Bang Ardi lagi dengan senyum mengembang.Aku duduk di samping Bang Ardi degan ragu-ragu."Kenalkan, ini Della. Della ini teman Abang waktu kuliah dulu. Dia punya usaha kuliner. Kebetulan, kantor Abang akan mengadakan acara, jadi Abang mengajaknya kerjasama. Karena dia baik hati dan tidak sombong, dia yang datang ke sini untuk m
Sampai di tempat parkir, aku menatap ke sekeliling, siapa tahu wanita tadi masih ada di sini, menungguku sampai pulang, lalu dia kembali lagi ke ruangan Bang Arfi. Ah, kenapa pikiranku jadi kotor begini? Tenang Risa, tenang. Ketika aku menghidupkan mesin mobilku, aku melihat selintas ada wanita yang mirip dengan wanita tadi. Dia berjalan di depan mobil yang kutumpangi. "Benar, itu wanita yang ada di ruangan Bang Arfi tadi. Kok, masih ada di sini? Tadi katanya mau pergi," gumamku. Aku mengekori wanita itu dengan mataku dari dalam mobil, sampai akhirnya dia naik ke dalam mobil yang berjarak satu mobil dari mobilku. Tak lama, mobilnya bergerak meninggalkan lokasi parkir. Aku harus berhati-hati dengan wanita itu. Jangan sampai dia merebut Bang Ardi dariku. Setelah wanita itu menjauh, barulah aku melajukan mobilku perlahan menuju jalan pulang.Ketika sampai di rumah. Aku mencoba melacak nomor telepon yang mengirimkan pesan mesra di hape Bang Ardi. Kutelusuri nomor itu melalui sebuah