Sampai di tempat parkir, aku menatap ke sekeliling, siapa tahu wanita tadi masih ada di sini, menungguku sampai pulang, lalu dia kembali lagi ke ruangan Bang Arfi. Ah, kenapa pikiranku jadi kotor begini? Tenang Risa, tenang. Ketika aku menghidupkan mesin mobilku, aku melihat selintas ada wanita yang mirip dengan wanita tadi. Dia berjalan di depan mobil yang kutumpangi. "Benar, itu wanita yang ada di ruangan Bang Arfi tadi. Kok, masih ada di sini? Tadi katanya mau pergi," gumamku. Aku mengekori wanita itu dengan mataku dari dalam mobil, sampai akhirnya dia naik ke dalam mobil yang berjarak satu mobil dari mobilku. Tak lama, mobilnya bergerak meninggalkan lokasi parkir. Aku harus berhati-hati dengan wanita itu. Jangan sampai dia merebut Bang Ardi dariku. Setelah wanita itu menjauh, barulah aku melajukan mobilku perlahan menuju jalan pulang.Ketika sampai di rumah. Aku mencoba melacak nomor telepon yang mengirimkan pesan mesra di hape Bang Ardi. Kutelusuri nomor itu melalui sebuah
Setelah dari butik kami menuju pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota ini. Letaknya tak begitu jauh dari sini. Ada toko yang menjual pakaian bayi dan anak-anak yang biasa kami kunjungi di sana. Bang Ardi melajukan mobil perlahan. Pandanganku tertuju lurus ke depan, namun, pikiranku masih teringat pada lingerie yang dibeli Mbak Susi tadi. Ingin rasanya aku menanyakan tentang lingerie itu pada Mbak Susi, untuk apa dia membelinya. Tapi, kok rasanya tidak sopan mencampuri urusan pribadi orang? Biarkan sajalah, yang penting Mbak Susi gak pernah macam-macam di rumahku. Sejauh ini, perilakunya masih baik dan tak pernah membuatku marah atau pun curiga. Dia menjaga Tama dengan baik juga."Kita sudah sampai, Dek. Ayo turun." Kata-kata Bang Ardi membuyarkan lamunanku. "Loh, udah sampai ya?" tanyaku seraya melihat ke sekeliling, lalu membuka pintu mobil dan turun. "Tama sama Papa aja, ya!" Bang Ardi menggendong Tama, lalu berjalan masuk ke dalam gedung Mall. Aku dan Mbak Susi mengikuti d
"Abang pamit ya, Dek. Jangan lupa, siap-siap. Kalau bisa setelah maghrib, Adek dan Tama sudah stand bye. Oke?" ucap Bang Ardi seraya melangkah menuju pintu utama. Aku mengikuti di sampingnya. "Tumben Tama diajak ke acara kantor, Bang. Malam-malam lagi," selidikku . Pernah juga sih, Tama diajak ke acara kantor Bang Ardi. Tapi, ya gitu Tama rewel di sana. "Tama kan sudah besar Dek, lagian ini acaranya memang acara kumpul keluarga, jadi, ya harus bawa keluarga." terang Bang Ardi, lalu tersenyum. "Sudah, Abang pergi, ya!" ucapnya lagi. Bang Ardi mengecup pucuk kepalaku, lalu masuk ke mobil dan berlalu meninggalkan rumah. Hari ini, pekerjaan memasak kuserahkan kepada Mbok Nah, karena aku ingin pergi ke salon untuk melakukan perawatan. Setelah memastikan Tama aman bersama Mbak Susi, aku berangkat dengan mobil kesayanganku, si Merah. Setelah memarkirkan mobil di area parkir salon, aku keluar dari mobil. Baru saja kaki ini ingin melangkah meninggalkan mobil, tak sengaja mataku tertumbuk
"Astagfirullah!" Aku membesarkan bola mata untuk melihat foto yang dikirim itu. Tak mungkin...tak mungkin! Ini pasti salah! ucapku dalam hati. Benarkah ini? Di dalam foto, tampak Bang Ardi sedang duduk di samping seorang wanita berambut panjang. Mereka duduk membelakangi kamera. Tangan Bang Ardi merangkul pundak wanita itu. Ting!Sebuah pesan kembali masuk ke hapeku. [Maaf, Bu, saya lancang mengirim foto di atas. Tapi itu semua saya lakukan karena saya kasihan sama Ibu] tulis nomor telepon yang mengirimkan sebuah foto, tadi.[Maksudnya, apa ya? Mengapa anda mengirimkan foto itu kepada saya. Anda siapa?] balasku segera. Segudang tanya memenuhi pikiranku. Siapa yang mengirimkan pesan ini. Dan siapa perempuan yang bersama Bang Ardi itu? Apakah Bang Ardi benar-benar menghianatiku? Tak terasa air mata menetes di sudut kelopak mata ini. Akankah terulang kembali? Haruskah aku kembali kehilangan orang yang sangat aku cintai? Kenapa keadaan ini begitu kejam? Tak adakah secerca kebahagiaan
Aku berhenti sejenak. Aku baru menyadari kalau kafe ini sunyi. Tak ada satu pengunjung pun yang duduk di dalam kafe ini. Apa kafe ini sudah tutup? Aku jadi ragu melanjutkan langkah kakiku. Aku mengitari seluruh ruangan kafe dengan tatapan menyelidik. Dimana kira-kira Bang Ardi dan wanita itu? Apa di kafe ini punya ruangan khusus? Tapi, sepertinya tidak.Lama aku mamandang tiap inci ruangan kafe ini. Jangankan pengunjung, pelayannya saja tak dapat kulihat. Kafe apa sebenarnya ini. Kenapa sunyi sepi seperti kuburan? Ah, mungkin nomor yang mengirim pesan tadi berbohong. Dia mengirimkan alamat palsu agar aku tak dapat menemukan keberadaan Bang Ardi. Tapi, untuk apa dia melakukan itu? Ah, entahlah!Aku berbalik, berniat kembali ke mobil. Namun, baru saja aku memutar tubuh. Seseorang memanggilku. "Risa, mau kemana, Sayang?" Suara itu seperti suara Bang Ardi.Aku menoleh ke belakang. Namun, tidak ada orang di sana. Perasaan aku belum tuli. Barusan memang suara Bang Ardi."Bang! Bang Ardi!
"Oh, iya. Bagaimana dengan pesan mesra yang masuk ke hape Abang kemarin? Apa itu juga bagian dari sandiwara ini?" tanyaku penasaran. Bang Ardi mengerutkan kening sembari menggaruk dahinya yang tiba-tiba saja gatal."Kalau pesan itu, Abang benar-benar tidak tau siapa yang mengirimkan ke nomor Abang. Abang sudah menelusuri nomor itu, namun sampai sekarang Abang belum mendapat hasilnya. Makanya, Abang belum mengatakan apa-apa mengenai pesan itu pada Adek. Abang takut, Adek marah dan curiga pada Abang. Kalau Adek tak percaya, bagaimana Abang harus menjelaskannya, sementara Abang jelas-jelas tidak tau," terang Bang Ardi hati-hati. Raut wajahnya sangat khawatir, mungkin dia benar-benar takut melukai hatiku.Lelaki berkulit sawo matang itu berkata f ngan sangat tenang. Tak ada tanda-tanda kalau dia sedang berbohong. Aku percaya kalau yang dikatakannya itu semua benar. "Iya, Bang. Adek juga sudah mencoba menyelidiki nomor itu, tapi tetap tidak tau siapa pengirimnya." Aku menatap manik mata
Leni juga sering mengajak Tama bermain. Jika dia dapat uang dari hasil menulis, tak hitung-hitungan, dia selalu membelikan Tama baju baru dan mainan. "Masak seadanya dulu ya, Len. Soalnya stok di kulkas tinggal sedikit. Kalian, sih, gak ngomong kalau mau datang. Kalau Mbak tau, pasti Mbak masakin macam-macam kesukaan kalian," ujarku sembari terus mengaduk nasi goreng kesukaan Leni. "Wah, Mbak tau aja seleraku. Ini juga udah enak banget, Mbak. Kalau kami ngomong-ngomong, ya namanya bukan kejutan, Mbak," sahut Leni seraya tergelak. "Iya, juga ya. Sejak kapan Abangmu pandai berakting ya, Len. Mbak benar-benar terjebak. Mbak panik, udah mikir yang aneh-aneh, kemarin," ujarku lagi sambil sesekali mengerling ke arah Leni. Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu, sibuk melihat mangkuk-mangkuk yang masih berserak di atas meja. "Iya, ya Mbak, Leni juga baru tau. Ternyata Bang Ardi punya bakat terpendam." Kami tergelak bersama, "Ayamnya mau digoreng, kan, Mbak? Biar Leni a
Sebulan kemudian.Ting! Suara pesan masuk ke hapeku yang tergeletak di atas nakas. Aku masih mengajak Tama bermain mobil-mobilan di kamar. Hari masih pagi, Bang Ardi sudah berangkat bekerja sejak tadi."Sebentar ya, Sayang. Mama ambil hape dulu," ucapku pada Tama. Aku beranjak mengambil hape itu seraya memegang pipi gembul Tama. Dia tersenyum menatapku. Karena gizi dan kasih sayang yang cukup dariku serta Bang Ardi, Tama tumbuh semakin sehat dan kuat. Bahkan bobot tubuhnya selalu naik tiap bulan. Makanya pipinya cabi begitu..Kuusap layar hape untuk membuka pesan tersebut. Lagi-lagi, aku mendapat pesan dari nomor yang tidak kukenal.[Ris, apa kabar?] tulisnya. Aku mengernyitkan dahi, siapa yang mengirim pesan ini? Ting!Sebuah pesan masuk lagi.[Ris, Abang minta maaf atas perlakuan Abang dulu. Abang benar-benar khilaf. Abang mohon, beri Abang kesempatan untuk memperbaiki semuanya] tulisnya lagi. Aku sama sekali tak berniat untuk membalasnya. Aku sudah tau dari siapa pesan itu. M