Leni juga sering mengajak Tama bermain. Jika dia dapat uang dari hasil menulis, tak hitung-hitungan, dia selalu membelikan Tama baju baru dan mainan. "Masak seadanya dulu ya, Len. Soalnya stok di kulkas tinggal sedikit. Kalian, sih, gak ngomong kalau mau datang. Kalau Mbak tau, pasti Mbak masakin macam-macam kesukaan kalian," ujarku sembari terus mengaduk nasi goreng kesukaan Leni. "Wah, Mbak tau aja seleraku. Ini juga udah enak banget, Mbak. Kalau kami ngomong-ngomong, ya namanya bukan kejutan, Mbak," sahut Leni seraya tergelak. "Iya, juga ya. Sejak kapan Abangmu pandai berakting ya, Len. Mbak benar-benar terjebak. Mbak panik, udah mikir yang aneh-aneh, kemarin," ujarku lagi sambil sesekali mengerling ke arah Leni. Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu, sibuk melihat mangkuk-mangkuk yang masih berserak di atas meja. "Iya, ya Mbak, Leni juga baru tau. Ternyata Bang Ardi punya bakat terpendam." Kami tergelak bersama, "Ayamnya mau digoreng, kan, Mbak? Biar Leni a
Sebulan kemudian.Ting! Suara pesan masuk ke hapeku yang tergeletak di atas nakas. Aku masih mengajak Tama bermain mobil-mobilan di kamar. Hari masih pagi, Bang Ardi sudah berangkat bekerja sejak tadi."Sebentar ya, Sayang. Mama ambil hape dulu," ucapku pada Tama. Aku beranjak mengambil hape itu seraya memegang pipi gembul Tama. Dia tersenyum menatapku. Karena gizi dan kasih sayang yang cukup dariku serta Bang Ardi, Tama tumbuh semakin sehat dan kuat. Bahkan bobot tubuhnya selalu naik tiap bulan. Makanya pipinya cabi begitu..Kuusap layar hape untuk membuka pesan tersebut. Lagi-lagi, aku mendapat pesan dari nomor yang tidak kukenal.[Ris, apa kabar?] tulisnya. Aku mengernyitkan dahi, siapa yang mengirim pesan ini? Ting!Sebuah pesan masuk lagi.[Ris, Abang minta maaf atas perlakuan Abang dulu. Abang benar-benar khilaf. Abang mohon, beri Abang kesempatan untuk memperbaiki semuanya] tulisnya lagi. Aku sama sekali tak berniat untuk membalasnya. Aku sudah tau dari siapa pesan itu. M
Tama masih asyik bermain mobil-mobilan. Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk.Tok!Tok!Tok!"Siapa?" tanyaku dari dalam kamar."Saya, Bu, Mbok Nah!" sahut Mbok Nah dari luar. "Masuk saja, Mbok, pintunya gak dikunci," ucapku lagi, pintu dibuka, Mbok Nah muncul dari balik pintu."Bu, ada orang nyari, Ibu," ucapnya pelan dengan raut wajah seperti ketakutan."Siapa, Mbok? Kenapa seperti takut begitu?" tanyaku heran."Itu, Bu...anu. Tadi waktu saya tanya, orangnya marah-marah. Saya usir, dia malah bentak keras sekali. Dia memaksa masuk ke sini. Untung tadi pagarnya saya kunci, jadi dia masih di luar pagar," terang wanita paruh baya itu."Biar saya lihat, siapa dia. Mbok Nah tolong jaga Tama, ya!" ucapku lalu beranjak meninggalkan Tama dan Mbok Nah."Hati-hati, Bu! seru Mbok Nah lagi mengingatkanku.Aku berjalan menuju pintu depan. Aku berniat mengintip dulu dari balik tirai jendela, siapa kira-kira tamu yang datang dan marah-marah itu."Astagfirullah!" Aku berseru seketika. Bagaimana bisa di
Aku keluar dari dalam kamar untuk memastikan kalau Bang Ridwan sudah pergi. Aku berjalan perlahan menuju pintu kamar, kemudian membukanya pelan-pelan. Aku keluar dari kamar, lalu menuju ke ruang tamu. Seketika aku berteriak sekuatnya "Aaaaaaaa!" Langkahku berhenti tak jauh dari ruang tamu. Tiba-tiba Bang Ridwan sudah berdiri di sana sembari menatap ke arahku. Jantungku berpacu dengan kencang. Leherku seperti tercekat. Aku sangat takut sekali. Kakiku gemetaran. Aku tak mampu menggerakanya untuk kembali ke dalam kamar. Bagaimana dia bisa masuk ke sini? Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu di dalam rumahku?Dia berjalan menghampiriku. Jarak kami sudah sangat dekat sekarang. Ya, Allah aku takut. Lindungi aku dari laki-laki kurang aj*r ini. Bisikku dalam hati."Sssstttt! Jangan berteriak Ris. Diamlah! Aku tak berniat jahat," ucapnya sembari menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Kau mau apa, hah? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanyaku penasaran dengan suara lan
Bang Ridwan mengerling tajam ke arah kami. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Cepat pergi dari sini dan jangan coba-coba mengganggu keluarga saya lagi!" Bang Ardi menunjuk ke arah pintu. Bang Ridwan masih diam di tempatnya dengan tatapan tajam ke arah Bang Ardi. Tak lama, dia beranjak pergi meninggalkan rumah kami. Aku menghela napas lega. Akhirnya, dia pergi juga dari sini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau Bang Ardi tidak datang tadi. Mungkin saja Tama sudah dibawa pergi oleh Bang Ridwan. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya kalau sampai Tama pergi. Mungkin setiap hari aku akan menangis."Sudah, dia sudah pergi. Tenanglah, ada Abang di sini!" Bang Ardi merengkuhku dalam pelukannya. Seketika bulir-bulir bening yang sejak tadi kutahan, saling berlomba keluar dari kelopak mata ini. Aku menangis terisak di pelukan suamiku. Dia bukan hanya suami, tapi, dia adalah pahlawan dalam hidupku."Sudah...sudah, jangan menangis! Ayo kita lihat Tama. Kasian dia nangis terus," ujarny
Aku sedang berdiri di tempat parkir, di lapak yang biasanya dipakai Bang Ridwan untuk memarkirkan mobilnya. Aku menunggu kedatangannya karena aku ingin meminta uang darinya. Akhirnya aku tersenyum lebar, sejak tadi sudah lelah menunggu, Bang Ridwan muncul juga. "Ngapain kamu datang ke kantorku? Mau minta uang lagi? Gak ada kerjaan lain apa, taunya minta uang terus!" kata Bang Ridwan dengan raut wajah kesal, begitu turun dari mobilnya yang berhenti tepat di sampingku. "Datang-datang, kok marah-marah sih, Bang? Emang Gita salah apa? Trus, kalau Gita minta uang sama suami sendiri, salah? Apa Gita harus minta sama suami orang? Gitu?" sahutku tak kalah kesalnya. "Kamu itu ya, kalau dikasih tau ada aja jawabannya. Mau apa kesini? Cepetan, Abang udah telat masuk kantor, nih!" ujar Bang Ardi lagi, dia memang nampak tergesa-gesa. Padahal dia tadi pergi cepat-cepat dari rumah."Memangnya Abang kemana dulu? Kok jam segini belum masuk kantor. Tadi kan perginya buru-buru dari rumah. Malah gak
"Ya, sudah. Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya suamiku yang bodoh ini."Dua puluh juta aja, Bang!" sahutku enteng. Bang Ridwan melotot kepadaku."Dua puluh juta? Kok banyak amat? Arisan apa sebanyak itu bayarannya?"tanya Bang Ridwan lagi. Cukup alot mang meminta uang dari lelaki berstatus suamiku ini. "Bulan lalu Gita belum bayar, Bang. Uang yang Abang kasih waktu itu Gita habiskan untuk perawatan. Abang mau istri Abang yang cantik ini beribah jadi jelek, gara-gara gak dirawat?" ujarku mencoba memujuk Bang Ridwan agar mau mengeluarkan uangnya. Ternyata Bang Ridwan itu orangnya pelit. Cukup susah meminta uang darinya. Aku harus punya alasan yang tepat agar dia mau memberikan uang. Kalau saja ada pria lain yang lebih kaya dan mau menjadikan aku istrinya, walaupun itu istri kedua, dari dulu sudah kutinggalkan lelaki pelit ini. Pantas saja, penampilan si Risa dulu seperti badut, dia tidak pandai merayu Bang Ridwan, agar diberi uang untuk perawatan. Tapi, kalau Lama-lama seperti ini
Kring!Aku sudah berada di salon dan sedang menjalani serangkaian perawatan. Aku harus tampil cantik dan wangi hari ini. Karena aku akan bertemu dengan Aldo, kekasih hati yang sangat aku rindukan.Belum lagi aku siap menjalani paket perawatan yang aku pesan. Tiba-tiba hape yang berada di dalam tas kecilku berdering. Gegas kurogoh benda pipih itu dari dalamnya."Aldo," bisikku seraya tersenyum.Segera kuusap layar hape dan menempelkannya di telinga."Halo, Sayang. Kamu udah sampai mana?" tanyaku pada Aldo."Ini, Sayang. Aku baru aja keluar dari bandara. Kamu di mana? Gak jemput aku ke sini?" tanyanya renyah. "Jemput dong. Tunggu aja di sana ya, bentar lagi aku nyampek. Aku lagi nyalon, tempatnya gak jauh kok dari bandara," sahutku dengan senyum tetap terukir di bibir ini. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan lelaki pujaanku itu. Sebenarnya tinggal perawatan kuku tangan dan kaki, tetapi kalau harus menyelesaikan semua perawatan itu, aku takut Aldo akan menunggu lebih lama lag