Tama masih asyik bermain mobil-mobilan. Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk.Tok!Tok!Tok!"Siapa?" tanyaku dari dalam kamar."Saya, Bu, Mbok Nah!" sahut Mbok Nah dari luar. "Masuk saja, Mbok, pintunya gak dikunci," ucapku lagi, pintu dibuka, Mbok Nah muncul dari balik pintu."Bu, ada orang nyari, Ibu," ucapnya pelan dengan raut wajah seperti ketakutan."Siapa, Mbok? Kenapa seperti takut begitu?" tanyaku heran."Itu, Bu...anu. Tadi waktu saya tanya, orangnya marah-marah. Saya usir, dia malah bentak keras sekali. Dia memaksa masuk ke sini. Untung tadi pagarnya saya kunci, jadi dia masih di luar pagar," terang wanita paruh baya itu."Biar saya lihat, siapa dia. Mbok Nah tolong jaga Tama, ya!" ucapku lalu beranjak meninggalkan Tama dan Mbok Nah."Hati-hati, Bu! seru Mbok Nah lagi mengingatkanku.Aku berjalan menuju pintu depan. Aku berniat mengintip dulu dari balik tirai jendela, siapa kira-kira tamu yang datang dan marah-marah itu."Astagfirullah!" Aku berseru seketika. Bagaimana bisa di
Aku keluar dari dalam kamar untuk memastikan kalau Bang Ridwan sudah pergi. Aku berjalan perlahan menuju pintu kamar, kemudian membukanya pelan-pelan. Aku keluar dari kamar, lalu menuju ke ruang tamu. Seketika aku berteriak sekuatnya "Aaaaaaaa!" Langkahku berhenti tak jauh dari ruang tamu. Tiba-tiba Bang Ridwan sudah berdiri di sana sembari menatap ke arahku. Jantungku berpacu dengan kencang. Leherku seperti tercekat. Aku sangat takut sekali. Kakiku gemetaran. Aku tak mampu menggerakanya untuk kembali ke dalam kamar. Bagaimana dia bisa masuk ke sini? Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu di dalam rumahku?Dia berjalan menghampiriku. Jarak kami sudah sangat dekat sekarang. Ya, Allah aku takut. Lindungi aku dari laki-laki kurang aj*r ini. Bisikku dalam hati."Sssstttt! Jangan berteriak Ris. Diamlah! Aku tak berniat jahat," ucapnya sembari menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Kau mau apa, hah? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanyaku penasaran dengan suara lan
Bang Ridwan mengerling tajam ke arah kami. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Cepat pergi dari sini dan jangan coba-coba mengganggu keluarga saya lagi!" Bang Ardi menunjuk ke arah pintu. Bang Ridwan masih diam di tempatnya dengan tatapan tajam ke arah Bang Ardi. Tak lama, dia beranjak pergi meninggalkan rumah kami. Aku menghela napas lega. Akhirnya, dia pergi juga dari sini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau Bang Ardi tidak datang tadi. Mungkin saja Tama sudah dibawa pergi oleh Bang Ridwan. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya kalau sampai Tama pergi. Mungkin setiap hari aku akan menangis."Sudah, dia sudah pergi. Tenanglah, ada Abang di sini!" Bang Ardi merengkuhku dalam pelukannya. Seketika bulir-bulir bening yang sejak tadi kutahan, saling berlomba keluar dari kelopak mata ini. Aku menangis terisak di pelukan suamiku. Dia bukan hanya suami, tapi, dia adalah pahlawan dalam hidupku."Sudah...sudah, jangan menangis! Ayo kita lihat Tama. Kasian dia nangis terus," ujarny
Aku sedang berdiri di tempat parkir, di lapak yang biasanya dipakai Bang Ridwan untuk memarkirkan mobilnya. Aku menunggu kedatangannya karena aku ingin meminta uang darinya. Akhirnya aku tersenyum lebar, sejak tadi sudah lelah menunggu, Bang Ridwan muncul juga. "Ngapain kamu datang ke kantorku? Mau minta uang lagi? Gak ada kerjaan lain apa, taunya minta uang terus!" kata Bang Ridwan dengan raut wajah kesal, begitu turun dari mobilnya yang berhenti tepat di sampingku. "Datang-datang, kok marah-marah sih, Bang? Emang Gita salah apa? Trus, kalau Gita minta uang sama suami sendiri, salah? Apa Gita harus minta sama suami orang? Gitu?" sahutku tak kalah kesalnya. "Kamu itu ya, kalau dikasih tau ada aja jawabannya. Mau apa kesini? Cepetan, Abang udah telat masuk kantor, nih!" ujar Bang Ardi lagi, dia memang nampak tergesa-gesa. Padahal dia tadi pergi cepat-cepat dari rumah."Memangnya Abang kemana dulu? Kok jam segini belum masuk kantor. Tadi kan perginya buru-buru dari rumah. Malah gak
"Ya, sudah. Berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya suamiku yang bodoh ini."Dua puluh juta aja, Bang!" sahutku enteng. Bang Ridwan melotot kepadaku."Dua puluh juta? Kok banyak amat? Arisan apa sebanyak itu bayarannya?"tanya Bang Ridwan lagi. Cukup alot mang meminta uang dari lelaki berstatus suamiku ini. "Bulan lalu Gita belum bayar, Bang. Uang yang Abang kasih waktu itu Gita habiskan untuk perawatan. Abang mau istri Abang yang cantik ini beribah jadi jelek, gara-gara gak dirawat?" ujarku mencoba memujuk Bang Ridwan agar mau mengeluarkan uangnya. Ternyata Bang Ridwan itu orangnya pelit. Cukup susah meminta uang darinya. Aku harus punya alasan yang tepat agar dia mau memberikan uang. Kalau saja ada pria lain yang lebih kaya dan mau menjadikan aku istrinya, walaupun itu istri kedua, dari dulu sudah kutinggalkan lelaki pelit ini. Pantas saja, penampilan si Risa dulu seperti badut, dia tidak pandai merayu Bang Ridwan, agar diberi uang untuk perawatan. Tapi, kalau Lama-lama seperti ini
Kring!Aku sudah berada di salon dan sedang menjalani serangkaian perawatan. Aku harus tampil cantik dan wangi hari ini. Karena aku akan bertemu dengan Aldo, kekasih hati yang sangat aku rindukan.Belum lagi aku siap menjalani paket perawatan yang aku pesan. Tiba-tiba hape yang berada di dalam tas kecilku berdering. Gegas kurogoh benda pipih itu dari dalamnya."Aldo," bisikku seraya tersenyum.Segera kuusap layar hape dan menempelkannya di telinga."Halo, Sayang. Kamu udah sampai mana?" tanyaku pada Aldo."Ini, Sayang. Aku baru aja keluar dari bandara. Kamu di mana? Gak jemput aku ke sini?" tanyanya renyah. "Jemput dong. Tunggu aja di sana ya, bentar lagi aku nyampek. Aku lagi nyalon, tempatnya gak jauh kok dari bandara," sahutku dengan senyum tetap terukir di bibir ini. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan lelaki pujaanku itu. Sebenarnya tinggal perawatan kuku tangan dan kaki, tetapi kalau harus menyelesaikan semua perawatan itu, aku takut Aldo akan menunggu lebih lama lag
"Begini saja. Aku punya rencana bagus untukmu. Kamu tarik semua uangnya ke rekeningmu. Kuras semua hartanya. Baru, tinggalkan dia. Sayanglah, udah sekian lama kamu sama dia, gak dapat hasil apa-apa. Gimana?" Aldo memainkan alis matanya yang tebal seraya tersemyum genit. Aku terdiam sejenak, merenung kata-kata Aldo. "Tapi, gimana caranya?" tanyaku bingung."Ya, pintar-pintar kamulah merayunya. Ngomong kek, kalau kamu mau nanam modal buka usaha sama temanmu, atau apalah itu," ujar Aldo lagi."Trus, uangnya di masukkan rekeningku? Bang Ridwan itu orangnya curigaan, Do. Dia akan selalu memeriksa isi rekeningku," sahutku lagi."Gampang, kamu masukkan saja uangnya ke rekeningku. Dengan begitu, dia tidak akan tau. Nanti kalau sudah terkumpul banyak. Kamu tinggalkan dia. Lalu kita menikah dan pergi jauh dari sini. Gimana, oke, kan remcanaky?" Aldo tersenyum puas. Aku mengangguk. "Oke, aku setuju. Tapi, janji ya, setelah semua tercapai, kita menikah," ujarku lagi dengan manja. Aldo menjawil
Enam bulan sudah berlalu, hubunganku dengan Aldo sudah semakin dekat. Walaupun dia harus bolak balik dari tempat tinggalnya ke sini hanya untuk menemuiku, hal itu tak menjadi penghalang untuk hubungan kami. Malah membuat rasa rindu semakin menggunung dan akan terasa sangat indah bila sudah bertemu. Pundi-pundi rupiah kami semakin hari juga semakin bertambah, walau belum semua harta Bang Ridwan jatuh ke tanganku, aku harus tetap bersabar untuk mendapatkannya. Kalau semua uang Bang Ridwan berhasil kumiliki, aku dan Aldo akan segera kabur jauh dari kota ini. Kami akan menikah di sana dan bersama sampai tua. Aku sering mengeluh, kalau aku sudah lelah dengan kehidupanku sekarang, kepada Aldo. Aku ingin secepatnya pergi dan menikah dengannya. Tapi, Aldo selalu berhasil membuat aku bersabar. Kalau ingin mendapatkan sesuatu yang besar, pengorbanannya juga harus besar. Begitu yang selalu Aldo katakan untuk menyemangatiku. Baru saja hape kuaktifkan, sudah ada puluhan panggilan tak terjawab