POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
Dipermalukan di Acara Pesta"Sudah siap, Ris?" seru Bang Ridwan dari luar kamar."Sebentar lagi, Bang!" sahutku sembari sibuk memilih baju yang akan kupakai ke pesta keluarga suamiku. Dari tadi tidak ada yang pas, semua jadi sempit. Apa tubuhku semakin gemuk ya? Sepertinya masih segitu-segitu aja. Tapi kenapa tak ada yang muat?Aku tak boleh malu-maluin di depan keluarga Bang Ridwan. Di sana, semua keluarga Bang Ridwan berkumpul. Kalau sampai aku tampil jelek, mertua dan suamiku pasti malu."Lama amat sih, Ris! Capek nunggunya. Jangan-jangan, pestanya sudah selesai begitu kita sampai di sana." Ibu yang sejak tadi sudah tak sabar, masuk ke dalam kamarku sambil ngomel-ngomel."Iya, Bu, bentar lagi ya. Risa masih pilih baju yang pas di badan Risa. Sabar ya, Bu?" ucapku sembari cengengesan agar Ibu mertuaku itu tak marah."Makanya, punya badan jangan dibiarkan tambah bengkak begitu. Mau pakai apa juga gak bakalan pas. Ya sudah, cepat sedikit. Kalau tidak kami tinggal," ucap Ibu lagi deng
"Ini siapa, Mbak? Temen Mbak Mayang?" tanyanya pada Ibu mertua sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sampai dia lupa menyalamiku."Oh, itu...anu....""Saya istrinya Bang Ridwan, Bu," sahutku cepat memotong kata-kata Ibu yang sepertinya ragu-ragu mengenalkan diriku sebagai menantunya. "Istrinya Ridwan!?" ucapnya kaget, lalu menunduk ke dekat telinga Bang Ridwan."Gak salah pilih istri, Wan? Masak model begitu, seleramu?" bisiknya, namun masih dapat kudengar. "Kamu kerja di mana?" tanyanya lagi padaku. "Gak kerja, Bu," jawabku singkat."Bude, saya budenya Ridwan," sambarnya lekas. "Iya, Bude. Saya di rumah aja, gak kerja." Aku berkata sembari tersenyum simpul."Walah, gak kerja? Sini, Bude bilangin ya! Kalau kita cuma ngarep gaji suami, sebagai perempuan harus pinter-pinter merawat diri. Lihat Bude, sudah tua begini, bobot tubuh masih ideal, wajah harus glowing, penampilan harus selalu paripurna di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai, suami kita melirik cewe
Komentar Pedas MertuakuAku segera menyudahi makan, lalu gegas melangkah meninggalkan mereka. Bang Ridwan dari tadi tak memperdulikan aku. Dia asyik ngobrol dengan mantan kekasihnya itu. Untuk apa aku lama-lama di situ, kalau hanya jadi kambing congek. Aku terus berjalan menuju mobil yang terparkir di lapangan tak jauh dari lokasi pesta. Bang Ridwan memanggilku, aku tak perduli. Aku terus berlalu menjauhi mereka.Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meluncur bebas membasahi pipi. Sakit rasanya hati ini. Lelaki yang selama ini kucinta dan kupuja, ternyata malu mengakui aku sebagai istrinya. Dia malah nyaman dan kelihatan sangat bahagia ngobrol dengan mantan kekasihnya. Bang Ridwan selama ini tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Mau aku gendut atau kurus. Mau aku pakai make up atau tidak, dia selalu diam dan terkesan membiarkan. Apa itu karena dia tak perduli padaku. Apa mungkin selama ini Bang Ridwan hanya pura-pura mencintaiku? Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya dijadik
Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu. Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.Pesan itu kub
Gara-Gara DietPagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku."Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan."Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa."Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi."Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya "Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini."Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot. "Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur."Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak t
"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?" Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku. "Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka. *Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku. Ya sudahlah, mau bagai