"Ini siapa, Mbak? Temen Mbak Mayang?" tanyanya pada Ibu mertua sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sampai dia lupa menyalamiku."Oh, itu...anu....""Saya istrinya Bang Ridwan, Bu," sahutku cepat memotong kata-kata Ibu yang sepertinya ragu-ragu mengenalkan diriku sebagai menantunya. "Istrinya Ridwan!?" ucapnya kaget, lalu menunduk ke dekat telinga Bang Ridwan."Gak salah pilih istri, Wan? Masak model begitu, seleramu?" bisiknya, namun masih dapat kudengar. "Kamu kerja di mana?" tanyanya lagi padaku. "Gak kerja, Bu," jawabku singkat."Bude, saya budenya Ridwan," sambarnya lekas. "Iya, Bude. Saya di rumah aja, gak kerja." Aku berkata sembari tersenyum simpul."Walah, gak kerja? Sini, Bude bilangin ya! Kalau kita cuma ngarep gaji suami, sebagai perempuan harus pinter-pinter merawat diri. Lihat Bude, sudah tua begini, bobot tubuh masih ideal, wajah harus glowing, penampilan harus selalu paripurna di mana pun dan kapan pun. Jangan sampai, suami kita melirik cewe
Komentar Pedas MertuakuAku segera menyudahi makan, lalu gegas melangkah meninggalkan mereka. Bang Ridwan dari tadi tak memperdulikan aku. Dia asyik ngobrol dengan mantan kekasihnya itu. Untuk apa aku lama-lama di situ, kalau hanya jadi kambing congek. Aku terus berjalan menuju mobil yang terparkir di lapangan tak jauh dari lokasi pesta. Bang Ridwan memanggilku, aku tak perduli. Aku terus berlalu menjauhi mereka.Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meluncur bebas membasahi pipi. Sakit rasanya hati ini. Lelaki yang selama ini kucinta dan kupuja, ternyata malu mengakui aku sebagai istrinya. Dia malah nyaman dan kelihatan sangat bahagia ngobrol dengan mantan kekasihnya. Bang Ridwan selama ini tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Mau aku gendut atau kurus. Mau aku pakai make up atau tidak, dia selalu diam dan terkesan membiarkan. Apa itu karena dia tak perduli padaku. Apa mungkin selama ini Bang Ridwan hanya pura-pura mencintaiku? Padahal sebenarnya tidak. Aku hanya dijadik
Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu. Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.Pesan itu kub
Gara-Gara DietPagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku."Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan."Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa."Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi."Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya "Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini."Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot. "Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur."Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak t
"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?" Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku. "Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka. *Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku. Ya sudahlah, mau bagai
[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana. Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika. Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini. "Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ."Kalau tidak
Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual. "Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah. "Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. . "Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal. "Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line. Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu bebera
Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta