Share

Bahagia Setelah Dibuang
Bahagia Setelah Dibuang
Author: Su Yenni

Bab 1. Dipermalukan di Acara Pesta

Dipermalukan di Acara Pesta

"Sudah siap, Ris?" seru Bang Ridwan dari luar kamar.

"Sebentar lagi, Bang!" sahutku sembari sibuk memilih baju yang akan kupakai ke pesta keluarga suamiku.

Dari tadi tidak ada yang pas, semua jadi sempit. Apa tubuhku semakin gemuk ya? Sepertinya masih segitu-segitu aja. Tapi kenapa tak ada yang muat?

Aku tak boleh malu-maluin di depan keluarga Bang Ridwan. Di sana, semua keluarga Bang Ridwan berkumpul. Kalau sampai aku tampil jelek, mertua dan suamiku pasti malu.

"Lama amat sih, Ris! Capek nunggunya. Jangan-jangan, pestanya sudah selesai begitu kita sampai di sana." Ibu yang sejak tadi sudah tak sabar, masuk ke dalam kamarku sambil ngomel-ngomel.

"Iya, Bu, bentar lagi ya. Risa masih pilih baju yang pas di badan Risa. Sabar ya, Bu?" ucapku sembari cengengesan agar Ibu mertuaku itu tak marah.

"Makanya, punya badan jangan dibiarkan tambah bengkak begitu. Mau pakai apa juga gak bakalan pas. Ya sudah, cepat sedikit. Kalau tidak kami tinggal," ucap Ibu lagi dengan nada kesal. Lalu keluar dari kamarku.

Hari ini ada acara pesta khitanan di rumah budenya Bang Ridwan. Ini juga merupakan kali pertama aku bertemu dengan keluarga besarnya.

Setelah menikah aku memang langsung diboyong ke rumah Bang Ridwan. Namun, karena Bang Ridwan cutinya hanya sebentar, jadi kami tidak sempat berkunjung ke rumah sanak saudara suamiku itu.

"Nanti-nanti sajalah, kalau ada waktu, kita kunjungi rumah saudara Abang satu per satu, ya, Ris!" ujar Bang Ridwan kala itu. Aku menurut saja.

Kalau di kampungku, setiap ada pasangan baru yang pulang ke rumah orang tua lelaki, pasti sanak saudara mereka akan berkumpul dan beramah tamah. Di sini ternyata beda, begini mungkin gaya di kota, ya?

Aku yang orang baru di daerah ini, tentu belum tahu seluk beluk jalanan di sini. Seandainya tahu, mungkin aku sudah berinisiatif untuk berkunjung ke rumah mereka sendirian, sekaligus beramah tamah.

"Sudah, Bang! Ayo kita berangkat!" Aku berdiri di depan pintu kamar dengan wajah memelas. Takut Bang Ridwan marah karena aku terlalu lama dandannya.

Akhirnya aku memakai baju sekenanya saja, yang penting muat dan nyaman, serta membuat aku percaya diri memakainya.Tapi, terpaksa juga aku harus pakai korset, karena bajunya sempit di bagian perut, sedangkan perutku seperti wanita hamil, banyak lemaknya.

Owalah, kirain kamu akan berubah kayak puteri kerajaan, ternyata masih gitu-gitu aja. Ibu sampai ngantuk nunggunya." Ibu berucap kesal sembari mencebikkan bibirnya. Aku hanya nyengir kuda menanggapinya.

Ibu mertuaku itu kalau ngomong, memang suka bikin nyesek, tak pernah merasa kalau kata-katanya itu menggores hati orang yang dikatai. Tapi, aku tak pernah ambil pusing, selama Bang Ridwan tak pernah mempermasalahkan penampilanku, aku sih cuek-cuek saja.

*

Namaku Risa. Anak tunggal dari keluarga sederhana dan tinggal di kampung nun jauh di mata, tapi dekat di hati. Kemanapun aku pergi, kampung halamanku tetaplah jadi ingatan. Seperti pepatah, hujan emas di negeri orang, masih lebih enak hujan batu di negeri sendiri. Itu artinya, kampungku idolaku.

Aku berkenalan dengan Bang Ridwan melalui aplikasi berwarna biru di hapeku. Waktu itu dia memasang status galau di wall pribadinya. Aku memberikan komentar berupa nasehat manis untuknya agar tak lagi galau. Entah angin apa yang membawa pesannya masuk ke ranah pribadiku. Dari sana kami mulai dekat dan saling mengenal satu sama lain.

Hanya lima bulan kami menjalin hubungan jarak jauh, lalu tiba-tiba saja Bang Ridwan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Ya, langsung menikah, tanpa tunangan seperti orang-orang. Padahal kami belum pernah bertatap muka di dunia nyata. Seringnya hanya melalui video call saja.

Pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana di kampungku, tanpa dihadiri keluarga besar Bang Ridwan. Kata ibu Bang Ridwan, kampungku terlalu jauh, jadi mereka berat untuk datang ke acara pernikahan kami. Akhirnya, Bang Ridwan datang hanya bersama Ibu dan Kakak perempuannya saja. Itu pun hanya sehari saja mereka berada di rumahku, paginya datang, sore sudah pamit pulang.

Aku memaklumi kesibukan mereka, mungkin banyak pekerjaan yang harus mereka kerjakan, sehingga tak dapat berlama-lama berada di rumahku yang jauh dari kata bagus itu. Aku juga melihat, kalau ibu mertuaku merasa tak nyaman berada di gubuk reot kami, maklumlah, rumahnya di kota cukup besar dan bagus, mana betah dengan rumah yang ukurannya lebih kecil, hanya sepertiga dari rumah mereka.

Setelah berkendara selama dua puluh menit, akhirnya kami sampai di tempat pesta. Tenda nan megah terpampang nyata di depan mata. Maklumlah, kata Bang Ridwan, budenya ini cukup kaya. Suaminya memiliki usaha peternakan ayam di beberapa tempat.

Setelah turun dari mobil, yang diparkirkan tak jauh dari lokasi pesta, kami berjalan beriringan menuju tenda megah yang kami lewati tadi. Kami berjalan di atas karpet merah yang dipasang di tengah-tengah jajaran kursi yang disusun dengan rapi mengitari meja berbalut kain berwarna kuning keemasan. Sudah banyak tamu yang datang dan kelihatan sedang asyik menikmati makanan mereka.

Aku terus berjalan mengikuti Bang Ridwan dan Ibu yang berjalan bergandengan di depanku. Sampai akhirnya mereka duduk di salah satu meja yang masih kosong tepat di depan pelaminan. Aku pun mengambil kursi kosong di samping Bang Ridwan.

"Baru sampai, Mbak?" Seorang wanita berkebaya biru muda menghampiri kami. Penampilannya sungguh menawan, dengan polesan make up ala perias ahli membuatnya masih terlihat cantik di usia yang tak lagi muda.

Dia menyalami Ibu mertua, Bang Ridwan, lalu....

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status