Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu.
Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya.Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.Pesan itu kubaca berulang kali sembari mencubit pipi dengan keras. Takut kalau-kalau itu hanyalah mimpi.Dengan tangan gemetaran dan suhu tubuh yang mendadak jadi panas dingin, aku membalas pesan itu.[Lagi baca pesan dari Bang Ridwan] tulisku langsung sok akrab.[Tinggal di mana, Dek?] tanyanya lagi, dan berhasil membuat jantung dag dig dug karena panggilan 'Adek' itu. Rasanya dunia ini dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Senyum terus mengembang di bibirku yang tak begitu tipis, tapi sexi.Kubalas setiap pesan dari Bang Ridwan sampai aku lupa waktu. Debaran-debaran di dada serasa tak menentu membaca setiap pesan yang masuk ke hapeku. Hampir setiap malam kami habiskan dengan berkirim pesan sampai tukar-tukaran nomor W*.Hubungan kami terus berlanjut, sampai hari itu, hari yang tak dapat aku lupakan seumur hidupku. Bang Ridwan melamarku dan ingin segera menikahiku.Bagaikan mimpi ketiban bulan, aku akan menikah dengan lelaki pujaanku. Aku meloncat kegirangan sampai terjatuh dari atas tempat tidur dan membuat kakiku terkilir. Sungguh tak disangka, lelaki yang selama ini aku kagumi akhirnya duduk bersanding denganku di pelaminan.Sungguh waktu itu aku tak menaruh curiga sedikit pun. Aku yang dimabuk cinta tak pernah menanyakan kenapa dia, lelaki tampan dengan pekerjaan yang cukup mapan, mau memperistrikan aku, seorang gadis kampung, tak begitu cantik, tapi manis, menurut Emak. Bukan juga berasal dari keluarga kaya, namun tak juga fakir, cukup memadailah kalau hanya untuk ketersediaan makanan di rumah. Makanya aku tumbuh subur begini.Pernikahan kami pun berlangsung ala pesta di kampungku. Tak begitu mewah namun sangat istimewa. Tanpa pesta pernikahan sekalipun, aku akan sangat merasa bahagia karena dapat menikah dengan Bang Ridwan."Mau di dalam mobil aja, Ris?" teguran Ibu mambuatku tersadar. Sepanjang jalan melamun, jadi tidak tahu kalau ternyata sudah sampai di rumah. Bang Ridwan sudah tidak ada di depan stir mobil.Aku turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Rasanya baju ini membuatku susah bernapas, karena aku memakai korset agar perutku tak terlalu kelihatan buncit."Besok-besok kalau beli baju, pilih yang kekinian ya, Ris. Jangan yang jadul begitu. Pakai make up yang bagus, masak pergi kondangan kayak mau ke sawah, gak ada warnanya wajahmu itu. Datar, polos, gak ada yang wah." Tiba-tiba Bang Ridwan mulai memgomentari penampilanku. Apa dia mulai membandimg-bandingkan diriku dengan Gita, wanita yang pernah mengisi relung hatinya?"Iya, Bang," sahutku singkat."Abang mau mandi, gerah," ucapnya lagi sembari beringsut dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi."Bang!""Apa lagi?""Handuknya." Aku mengulurkan handuk padanya. Kebiasaan, kalau ke kamar mandi selalu lupa bawa handuk. Giliran di dalam nanti tetiak-teriak, minta diambilkan handuk.Bang Ridwan mengambil handuk itu lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.Aku duduk di depan cermin seraya mematut wajahku di sana. Sebenarnya aku tak jelek-jelek amat. Kalau didandani seperti Gita tadi, wajahku juga tak kalah jauh dengannya. Hanya tubuhku saja yang tak selangsing Gita. Mungkin aku harus diet agar memiliki tubuh ideal seperti Gita.Ting!Sebuah notifikasi pesan berbunyi di hape Bang Ridwan, membuyarkan lamunanku. Hape itu tergeletak di atas ranjang. Tak hanya sekali, namun berkali-kali, membuat rasa penasaranku semakin tinggi.Kuraih perlahan hape itu dan langsung membuka pesan yang baru masuk. Kebetulan hape Bang Ridwan memang tak pernah di kunci. Jadi aku leluasa membukanya.[Udah sampai rumah, Bang?] tulis sebuah nomor yang diberi nama Gita. Idih, perhatian amat, ya.[Jadi yang tadi itu istri Abang? Bude yang cerita setelah Abang pulang, tadi. Gita terkejut, gak menyangka, bisa-bisanya Abang menikahi perempuan model begitu. Wajahnya kucel, body bak tong bodol. Jelas bukan tipe Abang, kan?]Eh...asem. Dia main fisik.[Abang sih, terlalu cepat mengambil langkah. Padahal aku masih berjuang agar kita bisa bersama. Abang gak sabaran. Ya, mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Abang udah nikah][Tapi, kalau Abang masih ada rasa pada Gita. Gita mau kok balikan sama Abang]Deg!Deretan pesan yang baru saja dikirim oleh Gita, membuat jantungku berdetak sangat kencang, dan lututku seperti lemas tak berdaya. Cobaan apa ini? Gita masih mencintai Bang Ridwan. Bagaimana kalau Bang Ridwan juga sama dan mereka balikan? Ya Tuhan, tak dapat kubayangkan jika itu terjadi. Bagaimana nasib rumah tanggaku? Semoga Bang Ridwan tak menyambut kembali cintanya si Gita itu.Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau pernikahanku hanya seumur jagung. Aku akan berjuang untuk keutuhan rumah tangga ini.Aku harus bisa seperti Gita. Aku harus tampil modis seperti dia, agar Bang Ridwan tak berpaling lagi padanya. Aku pasti bisa.Kuhapus pesan-pesan yang baru saja kubaca, agar Bang Ridwan tak tahu, kalau aku sudah membaca pesan-pesan itu.Bersambung.Gara-Gara DietPagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku."Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan."Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa."Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi."Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya "Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini."Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot. "Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur."Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak t
"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?" Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku. "Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka. *Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku. Ya sudahlah, mau bagai
[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana. Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika. Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini. "Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ."Kalau tidak
Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual. "Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah. "Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. . "Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal. "Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line. Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu bebera
Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta
Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini