Share

Bab 6. Hasil Diet

"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?"

Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku.

"Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka.

*

Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku.

Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mau tak mau aku menghentikan program dietku. Aku makan seperti biasa dengan sedikit mengurangi porsinya dan tak makan camilan. Cukup makan tiga kali sehari. Yang penting ada makanan yang masuk ke lambungku dan membuatku kenyang.

Aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, agar Tuhan selalu menjaga keutuhan rumah tanggaku, dan tak mengahdirkan orang ketiga dalam pernikahan ini. Aku sudah habis akal. Tak tau bagaimana lagi caranya agar bisa cantik paripurna. Coba aku punya uang sendiri, pasti tak begini jadinya. Aku mengeluh sendiri, meratapi nasib diri.

Oya, aku ingat. Suci, temanku di kampung, dulu badannya juga gemuk sepertiku. Namun, beberapa waktu lalu, sebelum dia menikah dia sudah langsing. Aku tanya saja padanya, apa resep yang membuat dia bisa langsing seperti itu.

Kuraih gawai yang kuletakkan di atas meja makan, lalu mencari kontak bernama Suci. Yes, masih ada! Semoga nomornya masih aktif.

Kutekan nomor telepon Suci pada layar ponselku. Tak lama menunggu, panggilan tersambung.

"Halo, assalammualaikum," ucap Suci dari seberang telepon.

"Waalaikumsalam. Suci, kan?" sahutku.

"Iya. Ini siapa, ya?" tanyanya. Aku mang sudah mengganti nomor ponselku. Nomor yang lama hilang beserta ponselnya sewaktu aku belanja di pasar.

"Ini aku, Risa, Ci. Masih ingatkan?" jawabku lagi.

"Oh, Risa. Ya, Allah. Apa kabar? Udah lama gak kedengeran kabarmu. Sejak nikah gak pernah muncul di kampung ya," ujar Suci sembari tertawa renyah di sana.

"Iya, Ci. Aku belum bisa balik. Masih repot di sini," sahutku malu-malu.

"Iya, iya. Paham deh. Oh ya, tumben nelepon aku. Ada apa, Ris?"

Aku menceritakan mengenai rencanaku untuk melakukan diet kepada Suci. Suci menyambut baik keinginanku itu. Karena, sejak di kampung dulu pun, dia yang bersemangat untuk mengajakku diet agar mencapai body goal. Tapi, akunya saja yang malas-malasan dan cuek dengan itu semua.

Setelah mendapat keterangan dan cara-cara diet yang dilakukan oleh Suci. Kami segera mengakhiri panggilan telepon. Aku bertekad, mulai besok aku akan melakukan program diet sesuai arahan Suci. Semoga berhasil.

*

Sebulan sudah aku menjalani diet sesuai petunjuk sabahatku itu. Alhamdulillah, berat badanku sudah mulai berkurang tiga kilo. Walau belum menunjukkan perubahan yang cukup banyak, namun aku senang, dietku membuahkan hasil dan menambah semangat untuk menciptakan body goal.

"Nih, ada undangan. Teman sekantor Abang mau nikah, besok!" ucap Bang Ridwan ketika baru pulang dari kantor, malam ini.

"Abang ajak Risa?" tanyaku hati-hati.

"Iya. Kenapa? Gak mau? Ya, sudah Abang ajak yang lain saja," ujarnya ketus.

"Ya, maulah, Bang. Masak pergi sama suami sendiri gak mau. Tapi...."

"Tapi, apa?" Bang Ridwan langsung menyambar karena aku tak melanjutkan kata-kataku.

"Risa tak punya baju yang bagus, Bang," ucapku lirih.

"Belilah!" Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar, kepadaku. Aku sampai kaget, tumben dia sebaik ini.

"Tapi, besok, Abang tak menjemputmu ke rumah. Abang tunggu di tempat pesta. Kamu naik taksi ke sana, ya," ucap Bang Ridwan lagi, lalu berjalan menuju kamar mandi.

"Iya, Bang," sahutku pelan. Ada peta di dalam kartu undangan itu. Pasti supir taxi akan tahu alamatnya sesuai petunjuk peta itu. Tak perlu khawatir, Ris. Ucapku dalam hati.

*

Aku sudah bersiap untuk pergi ke pesta teman Bang Ridwan. Aku mengenakan gamis berwarna navi dengan eksyen payet di pinggang dan dada, dilengkapi dengan jilbab polos berwarna silver, yang baru kubeli tadi pagi.

Aku juga sudah memakai make up sendiri. Karena, uang yang diberi oleh Bang Ridwan tak cukup jika untuk membayar biaya ke salon. Aku mematut diri di depan cermin cukup lama. Rasanya semua sudah sempurna. Penampilanku sudah lebih lumayan dari pada waktu ke pesta Bude waktu itu. Semoga kali ini Bang Ridwan tak malu memperkenalkanku sebagai istri di depan teman-temannya.

Setelah berada dalam taxi selama kurang lebih satu jam, karena ternyata supir taxi tak tahu dimana alamat pesta tersebut. Akhirnya aku sampai juga ke tempat pesta diadakan. Aku turun dari taxi setelah membayar ongkos dan langsung berjalan menuju lokasi pesta.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau. Segera kugeser layar ponsel untuk membuka pesan.

[Dimana, Ris? Kok belum nyampek dari tadi. Lama amat?] tulis Bang Ridwan.

[Ini, baru sampai, Bang. Tadi muter-muter gak tau tempatnya]

Segera kukirim balasan.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status