"Ris, Ris. Udahlah, jangan banyak tingkah. Kalau memang dari sononya bongsor ya tetap bongsor. Mau diet sampai mati juga, gak bakalan bisa langsing. Lihat! Begini jadinya. Langsing nggak, malah di infus. Jadi banyak biaya, kan?"
Seketika sudut mataku mengeluarkan butiran bening. Nyeri, sakit rasanya mendengar kata-kata Bang Ridwan. Aku begini semata-mata untuknya. Aku ingin teihat cantik sehingga dia tak lagi malu berpergian denganku."Sudahlah, gak usah diet segala. Syukuri aja bentuk badanmu yang sekarang. Dari pada Ridwan harus keluar duit lagi untuk pengobatanmu. Kan sayamg. Uangnya masih bisa digunakan untuk keperluan lain." Bukannya mendinginkan hati, Ibu malah menimpali dan semakin membuatku terluka.*Setelah dua hari dirawat di klinik. Aku pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Pupus sudah harapanku memiliki tubuh ideal. Bang Ridwan dan Ibu mengancam, jika aku sampai masuk rumah akit lagi gara-gara diet, mereka tak akan mau membiayai pengobatanku.Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mau tak mau aku menghentikan program dietku. Aku makan seperti biasa dengan sedikit mengurangi porsinya dan tak makan camilan. Cukup makan tiga kali sehari. Yang penting ada makanan yang masuk ke lambungku dan membuatku kenyang.Aku hanya bisa pasrah sembari berdoa, agar Tuhan selalu menjaga keutuhan rumah tanggaku, dan tak mengahdirkan orang ketiga dalam pernikahan ini. Aku sudah habis akal. Tak tau bagaimana lagi caranya agar bisa cantik paripurna. Coba aku punya uang sendiri, pasti tak begini jadinya. Aku mengeluh sendiri, meratapi nasib diri.Oya, aku ingat. Suci, temanku di kampung, dulu badannya juga gemuk sepertiku. Namun, beberapa waktu lalu, sebelum dia menikah dia sudah langsing. Aku tanya saja padanya, apa resep yang membuat dia bisa langsing seperti itu.Kuraih gawai yang kuletakkan di atas meja makan, lalu mencari kontak bernama Suci. Yes, masih ada! Semoga nomornya masih aktif.Kutekan nomor telepon Suci pada layar ponselku. Tak lama menunggu, panggilan tersambung."Halo, assalammualaikum," ucap Suci dari seberang telepon."Waalaikumsalam. Suci, kan?" sahutku."Iya. Ini siapa, ya?" tanyanya. Aku mang sudah mengganti nomor ponselku. Nomor yang lama hilang beserta ponselnya sewaktu aku belanja di pasar."Ini aku, Risa, Ci. Masih ingatkan?" jawabku lagi."Oh, Risa. Ya, Allah. Apa kabar? Udah lama gak kedengeran kabarmu. Sejak nikah gak pernah muncul di kampung ya," ujar Suci sembari tertawa renyah di sana."Iya, Ci. Aku belum bisa balik. Masih repot di sini," sahutku malu-malu."Iya, iya. Paham deh. Oh ya, tumben nelepon aku. Ada apa, Ris?"Aku menceritakan mengenai rencanaku untuk melakukan diet kepada Suci. Suci menyambut baik keinginanku itu. Karena, sejak di kampung dulu pun, dia yang bersemangat untuk mengajakku diet agar mencapai body goal. Tapi, akunya saja yang malas-malasan dan cuek dengan itu semua.Setelah mendapat keterangan dan cara-cara diet yang dilakukan oleh Suci. Kami segera mengakhiri panggilan telepon. Aku bertekad, mulai besok aku akan melakukan program diet sesuai arahan Suci. Semoga berhasil.*Sebulan sudah aku menjalani diet sesuai petunjuk sabahatku itu. Alhamdulillah, berat badanku sudah mulai berkurang tiga kilo. Walau belum menunjukkan perubahan yang cukup banyak, namun aku senang, dietku membuahkan hasil dan menambah semangat untuk menciptakan body goal."Nih, ada undangan. Teman sekantor Abang mau nikah, besok!" ucap Bang Ridwan ketika baru pulang dari kantor, malam ini."Abang ajak Risa?" tanyaku hati-hati."Iya. Kenapa? Gak mau? Ya, sudah Abang ajak yang lain saja," ujarnya ketus."Ya, maulah, Bang. Masak pergi sama suami sendiri gak mau. Tapi....""Tapi, apa?" Bang Ridwan langsung menyambar karena aku tak melanjutkan kata-kataku."Risa tak punya baju yang bagus, Bang," ucapku lirih."Belilah!" Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar, kepadaku. Aku sampai kaget, tumben dia sebaik ini."Tapi, besok, Abang tak menjemputmu ke rumah. Abang tunggu di tempat pesta. Kamu naik taksi ke sana, ya," ucap Bang Ridwan lagi, lalu berjalan menuju kamar mandi."Iya, Bang," sahutku pelan. Ada peta di dalam kartu undangan itu. Pasti supir taxi akan tahu alamatnya sesuai petunjuk peta itu. Tak perlu khawatir, Ris. Ucapku dalam hati.*Aku sudah bersiap untuk pergi ke pesta teman Bang Ridwan. Aku mengenakan gamis berwarna navi dengan eksyen payet di pinggang dan dada, dilengkapi dengan jilbab polos berwarna silver, yang baru kubeli tadi pagi.Aku juga sudah memakai make up sendiri. Karena, uang yang diberi oleh Bang Ridwan tak cukup jika untuk membayar biaya ke salon. Aku mematut diri di depan cermin cukup lama. Rasanya semua sudah sempurna. Penampilanku sudah lebih lumayan dari pada waktu ke pesta Bude waktu itu. Semoga kali ini Bang Ridwan tak malu memperkenalkanku sebagai istri di depan teman-temannya.Setelah berada dalam taxi selama kurang lebih satu jam, karena ternyata supir taxi tak tahu dimana alamat pesta tersebut. Akhirnya aku sampai juga ke tempat pesta diadakan. Aku turun dari taxi setelah membayar ongkos dan langsung berjalan menuju lokasi pesta.Ting!Sebuah pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau. Segera kugeser layar ponsel untuk membuka pesan.[Dimana, Ris? Kok belum nyampek dari tadi. Lama amat?] tulis Bang Ridwan.[Ini, baru sampai, Bang. Tadi muter-muter gak tau tempatnya]Segera kukirim balasan.Bersambung.[Ya udah, langsung ke pintu utama. Abang tunggu di sini] tulis Bang Ridwan lagi. Bukannya nyusul ke sini, malah aku yang di suruh ke sana. Aku langsung berjalan menuju pintu utama yang dikatakan Bang Ridwan tadi. Banyak sudah tamu-tamu undangan yang datang. Dari jauh, aku melihat Bang Ridwan sedang berbincang dengan beberapa orang wanita cantik dengan tampilan yang anggun dan menawan, membuat kepercayaan diriku luntur seketika. Padahal aku merasa dandananku sudah sangat istimewa hari ini. Namun, jika dibandingkan dengan mereka, wanita-wanita yang sedang ngobrol dengan suamiku itu, rasanya aku jauh dari kata istimewa. Ya, ampun. Jantungku semakin berdebar kencang saat sudah sangat dekat dengan mereka. Takut, kalau Bang Ridwan malah jadi malu dengan penampilanku ini. "Bang!" seruku memamggil Bang Ridwan. Bang Ridwan dan para wanita yang ngobrol dengannya menoleh bersamaan ke arahku. Lalu mereka pamit dan masuk ke dalam ruangan pesta. Tinggal Bang Ridwan sendiri di situ."Kalau tidak
Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual. "Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur."Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah. "Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. . "Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun"Lalu, kamu kenapa?""Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal. "Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line. Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu bebera
Entahlah, mungkin sudah saatnya aku tak berharap lebih dari suami yang sangat aku cintai itu. Aku sudah lelah. Mungkin benar kata Emak waktu itu, aku terlalu gegabah menerima lamaran Bang Ridwan. Padahal aku belum kenal betul siapa dan bagaimana sikapnya. Aku terlalu menuruti hawa nafsu, terlalu senang dan bahagia karena orang yang selama ini kupuja-puja, tanpa ada angin, tanpa ada hujan menginginkan aku menjadi istrinya. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah mengandung anak Bang Ridwan. Aku tak akan menyerah, aku harus terus berjuang agar rumah tanggaku bahagia. Bagaimana pun, anak ini sama seperti anak-anak lainnya. Pasti membutuhkan kasih sayang dari ayahnya kelak. Sebagai Ibu, akulah yang seharusnya kuat. Aku harus tetap bertahan dengan semua sikap Bang Ridwan untuk satu tujuan, anakku harus mendapat kasih sayang yang utuh, dariku—ibunya dan juga dari ayahnya. Aku melangkah gontai ke dalam kamar. Lelah sudah merajai hati. Sejak tadi aku menanti, Bang Ridwan, tak jua kembali. Enta
Aku terkesiap ketika suara Azan mengalun dengan merdunya dari Masjid, tak jauh dari rumah ini. Aku seperti pernah mendengar suara itu. Mengapa suara itu mirip sekali dengan suaranya? Ah, mungkin hanya mirip saja. Tak mungkin lelaki itu ada di sini juga.Lelaki itu, Bang Ardi, seseorang yang pernah aku lukai hatinya karena sebuah penolakan. Dia sering mengumandangkan Azan di Masjid kampung, dulu. Suaranya sangat merdu sekali. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi keindahan suaranya di kampung itu.Teringat kala itu, dia sering membantu Bapak mengarit rumput untuk memberi makan kambing-kambing yang dipelihara Bapak di belakang rumah. Dia juga sering membantu membenahi atap rumah kami yang bocor. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan lain yang tak bisa kusebutkan satu per satu.Awalnya, aku senang-senang saja melihatnya membantu keluargaku. Aku menghormatinya karena lebih tua dariku dan sikap baiknya kepada kami. Namun, sejak saat itu. Saat di mana dia menyatakan cintanya padaku, aku
Bang Ridwan masih tertidur pulas, sampai aku selesai melaksanakan salat Subuh. Biarlah, aku tak ingin mengganggunya. Sebaiknya aku ke dapur dan mengerjakan pekerjaanku seperti biasa. Baru saja aku melangkahkan kaki, ponselku berbunyi. Kuraih benda pipih itu dari atas nakas lalu menggeser tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, kemudian menempelkannya ke telinga."Halo, assalammualaikum," ucap Emak membuka percakapan."Waalaikumsalam, ya, Mak?" sahutku gembira. Sejak menikah dengan Bang Ridwan aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya tak punya waktu, tapi Bang Ridwan tak pernah mau aku ajak pulang. Dia juga melarangku pulang sendirian. "Lagi sibuk, Ris?" tanya Emak seperti biasa kalau dia meneleponku, karena, dia tak mau mengganggu kalau aku sedang ada yang dikerjakan, katanya."Nggak, Mak. Baru selesai salat, kok. Ada apa, Mak?" tanyaku. Ada perasaan tak enak di hati, kenapa Emak meneleponku sepagi ini."Emak mau tanya, Ris. Kandunganmu kan sudah tujuh bulan. Apa gak ngada
Pagi yang cerah. Mentari sudah duduk di peraduan. Kicauan burung-burung menambah indah pagi ini. Seakan menggambarkan suasana hatiku yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dengan penuh perjuangan yang cukup berarti, akhirnya acara tujuh bulanan ini berlangsung juga. Walau tak semegah acara yang diadakan para tetangga di sini, bagiku, ini sudah sangat istimewa. Aku merasa senang. Aku tak menyangka, Bang Ridwan ternyata antusias untuk mengadakan acara ini. Dia mengundang semua teman-teman di kantornya. "Senyum-senyum aja dari tadi, Ris," ucap Emak yang duduk di sebelahku. Emak dan Bapak sudah tiba di rumah ini sejak semalam. "Risa senang, Mak. Sebentar lagi Risa akan jadi ibu," sahutku. Tak mungkin aku katakan pada Emak kalau kebahagiaan ini karena perhatian Bang Ridwan yang selama ini hampir pudar, hari ini aku melihatnya hadir lagi. Satu per satu para tamu undangan berdatangan dan memenuhi kursi-kursi yang telah disediakan. Rangkaian acara pun berjalan setahap demi setahap. "Jadi ini
Satu per satu teman Bang Ridwan menyalamiku sembari menyebutkan nama mereka. "Tapi, kok beda ya, sama yang aku lihat di toko perhiasan kemarin," bisik salah seorang dari mereka kepada teman di sampingnya. Aku dapat mendengarnya. Entah siapa yang mereka maksud. Biarlah, aku tak mau ambil pusing. Semakin aku mencari tau, semakin sakit hatiku. Semakin lemah pula semangatku untuk memenangkan hati suamiku itu.Acara tujuh bulanan terus berlangsung. "Abang ke depan dulu ya, Ris. Teman-teman Abang udah pada nunggu," ucap Bang Ridwan setelah dia selesai berganti baju. Kami baru saja melakukan acara siraman. "Iya, Bang. Bentar lagi Risa nyusul," sahutku seraya mengenakan jilbab serasi dengan warna bajuku. Pink, warna kesukaanku. Tak lama aku di dalam kamar, aku kembali bergabung dengan para tamu. "Yang datang lumayan banyak ya, Ris," ucap Emak yang berdiri di sampingku."Iya, Mak. Alhamdulillah. Gak nyangka bisa ramai begini. Rezeki si Dedek," sahutku sembari mengusap perut dengan bahagi
"Risa?" Kudengar Bang Ridwan memanggil namaku. Aku masih memejamkan mata dan menutupinya dengan kedua telapak tanganku. Aku tergugu, pilu."Abang kejam. Kenapa berbuat begini padaku? Apa salahku, Bang?" ujarku sembari tergugu. "Kamu gak salah. Abang yang salah, Risa. Abang minta maaf," ucap Bang Ridwan lirih.Kuturunkan perlahan kedua tangan ini lalu membuka mata. Bang Ridwan sudah berdiri di depanku, tanpa memakai baju, hanya celana panjang saja. Sementara wanita itu, Gita, dia sedang mengenakan pakaiannya di samping tempat tidur. "Kau, sebagai sesama wanita, dimana hati nuranimu? Apa perasaanmu jika kau ada di posisiku sekarang, hah? Dasar murahan, kenapa harus rumah tanggaku yang kau ganggu? Kau tahu kan, aku sedang hamil anak Bang Ridwan. Bisa-bisanya kalian bercinta di tengah-tengah acara seperti ini. Kalian memang tak punya rasa malu. Sudah seperti binatang," ujarku lantang."Jaga mulutmu, Risa. Bang Ridwan tak mencintaimu. Dia masih menyimpan rasa padaku. Kau yang seharusnya