"Astagfirullah!" Aku membesarkan bola mata untuk melihat foto yang dikirim itu. Tak mungkin...tak mungkin! Ini pasti salah! ucapku dalam hati. Benarkah ini? Di dalam foto, tampak Bang Ardi sedang duduk di samping seorang wanita berambut panjang. Mereka duduk membelakangi kamera. Tangan Bang Ardi merangkul pundak wanita itu. Ting!Sebuah pesan kembali masuk ke hapeku. [Maaf, Bu, saya lancang mengirim foto di atas. Tapi itu semua saya lakukan karena saya kasihan sama Ibu] tulis nomor telepon yang mengirimkan sebuah foto, tadi.[Maksudnya, apa ya? Mengapa anda mengirimkan foto itu kepada saya. Anda siapa?] balasku segera. Segudang tanya memenuhi pikiranku. Siapa yang mengirimkan pesan ini. Dan siapa perempuan yang bersama Bang Ardi itu? Apakah Bang Ardi benar-benar menghianatiku? Tak terasa air mata menetes di sudut kelopak mata ini. Akankah terulang kembali? Haruskah aku kembali kehilangan orang yang sangat aku cintai? Kenapa keadaan ini begitu kejam? Tak adakah secerca kebahagiaan
Aku berhenti sejenak. Aku baru menyadari kalau kafe ini sunyi. Tak ada satu pengunjung pun yang duduk di dalam kafe ini. Apa kafe ini sudah tutup? Aku jadi ragu melanjutkan langkah kakiku. Aku mengitari seluruh ruangan kafe dengan tatapan menyelidik. Dimana kira-kira Bang Ardi dan wanita itu? Apa di kafe ini punya ruangan khusus? Tapi, sepertinya tidak.Lama aku mamandang tiap inci ruangan kafe ini. Jangankan pengunjung, pelayannya saja tak dapat kulihat. Kafe apa sebenarnya ini. Kenapa sunyi sepi seperti kuburan? Ah, mungkin nomor yang mengirim pesan tadi berbohong. Dia mengirimkan alamat palsu agar aku tak dapat menemukan keberadaan Bang Ardi. Tapi, untuk apa dia melakukan itu? Ah, entahlah!Aku berbalik, berniat kembali ke mobil. Namun, baru saja aku memutar tubuh. Seseorang memanggilku. "Risa, mau kemana, Sayang?" Suara itu seperti suara Bang Ardi.Aku menoleh ke belakang. Namun, tidak ada orang di sana. Perasaan aku belum tuli. Barusan memang suara Bang Ardi."Bang! Bang Ardi!
"Oh, iya. Bagaimana dengan pesan mesra yang masuk ke hape Abang kemarin? Apa itu juga bagian dari sandiwara ini?" tanyaku penasaran. Bang Ardi mengerutkan kening sembari menggaruk dahinya yang tiba-tiba saja gatal."Kalau pesan itu, Abang benar-benar tidak tau siapa yang mengirimkan ke nomor Abang. Abang sudah menelusuri nomor itu, namun sampai sekarang Abang belum mendapat hasilnya. Makanya, Abang belum mengatakan apa-apa mengenai pesan itu pada Adek. Abang takut, Adek marah dan curiga pada Abang. Kalau Adek tak percaya, bagaimana Abang harus menjelaskannya, sementara Abang jelas-jelas tidak tau," terang Bang Ardi hati-hati. Raut wajahnya sangat khawatir, mungkin dia benar-benar takut melukai hatiku.Lelaki berkulit sawo matang itu berkata f ngan sangat tenang. Tak ada tanda-tanda kalau dia sedang berbohong. Aku percaya kalau yang dikatakannya itu semua benar. "Iya, Bang. Adek juga sudah mencoba menyelidiki nomor itu, tapi tetap tidak tau siapa pengirimnya." Aku menatap manik mata
Leni juga sering mengajak Tama bermain. Jika dia dapat uang dari hasil menulis, tak hitung-hitungan, dia selalu membelikan Tama baju baru dan mainan. "Masak seadanya dulu ya, Len. Soalnya stok di kulkas tinggal sedikit. Kalian, sih, gak ngomong kalau mau datang. Kalau Mbak tau, pasti Mbak masakin macam-macam kesukaan kalian," ujarku sembari terus mengaduk nasi goreng kesukaan Leni. "Wah, Mbak tau aja seleraku. Ini juga udah enak banget, Mbak. Kalau kami ngomong-ngomong, ya namanya bukan kejutan, Mbak," sahut Leni seraya tergelak. "Iya, juga ya. Sejak kapan Abangmu pandai berakting ya, Len. Mbak benar-benar terjebak. Mbak panik, udah mikir yang aneh-aneh, kemarin," ujarku lagi sambil sesekali mengerling ke arah Leni. Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu, sibuk melihat mangkuk-mangkuk yang masih berserak di atas meja. "Iya, ya Mbak, Leni juga baru tau. Ternyata Bang Ardi punya bakat terpendam." Kami tergelak bersama, "Ayamnya mau digoreng, kan, Mbak? Biar Leni a
Sebulan kemudian.Ting! Suara pesan masuk ke hapeku yang tergeletak di atas nakas. Aku masih mengajak Tama bermain mobil-mobilan di kamar. Hari masih pagi, Bang Ardi sudah berangkat bekerja sejak tadi."Sebentar ya, Sayang. Mama ambil hape dulu," ucapku pada Tama. Aku beranjak mengambil hape itu seraya memegang pipi gembul Tama. Dia tersenyum menatapku. Karena gizi dan kasih sayang yang cukup dariku serta Bang Ardi, Tama tumbuh semakin sehat dan kuat. Bahkan bobot tubuhnya selalu naik tiap bulan. Makanya pipinya cabi begitu..Kuusap layar hape untuk membuka pesan tersebut. Lagi-lagi, aku mendapat pesan dari nomor yang tidak kukenal.[Ris, apa kabar?] tulisnya. Aku mengernyitkan dahi, siapa yang mengirim pesan ini? Ting!Sebuah pesan masuk lagi.[Ris, Abang minta maaf atas perlakuan Abang dulu. Abang benar-benar khilaf. Abang mohon, beri Abang kesempatan untuk memperbaiki semuanya] tulisnya lagi. Aku sama sekali tak berniat untuk membalasnya. Aku sudah tau dari siapa pesan itu. M
Tama masih asyik bermain mobil-mobilan. Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk.Tok!Tok!Tok!"Siapa?" tanyaku dari dalam kamar."Saya, Bu, Mbok Nah!" sahut Mbok Nah dari luar. "Masuk saja, Mbok, pintunya gak dikunci," ucapku lagi, pintu dibuka, Mbok Nah muncul dari balik pintu."Bu, ada orang nyari, Ibu," ucapnya pelan dengan raut wajah seperti ketakutan."Siapa, Mbok? Kenapa seperti takut begitu?" tanyaku heran."Itu, Bu...anu. Tadi waktu saya tanya, orangnya marah-marah. Saya usir, dia malah bentak keras sekali. Dia memaksa masuk ke sini. Untung tadi pagarnya saya kunci, jadi dia masih di luar pagar," terang wanita paruh baya itu."Biar saya lihat, siapa dia. Mbok Nah tolong jaga Tama, ya!" ucapku lalu beranjak meninggalkan Tama dan Mbok Nah."Hati-hati, Bu! seru Mbok Nah lagi mengingatkanku.Aku berjalan menuju pintu depan. Aku berniat mengintip dulu dari balik tirai jendela, siapa kira-kira tamu yang datang dan marah-marah itu."Astagfirullah!" Aku berseru seketika. Bagaimana bisa di
Aku keluar dari dalam kamar untuk memastikan kalau Bang Ridwan sudah pergi. Aku berjalan perlahan menuju pintu kamar, kemudian membukanya pelan-pelan. Aku keluar dari kamar, lalu menuju ke ruang tamu. Seketika aku berteriak sekuatnya "Aaaaaaaa!" Langkahku berhenti tak jauh dari ruang tamu. Tiba-tiba Bang Ridwan sudah berdiri di sana sembari menatap ke arahku. Jantungku berpacu dengan kencang. Leherku seperti tercekat. Aku sangat takut sekali. Kakiku gemetaran. Aku tak mampu menggerakanya untuk kembali ke dalam kamar. Bagaimana dia bisa masuk ke sini? Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu di dalam rumahku?Dia berjalan menghampiriku. Jarak kami sudah sangat dekat sekarang. Ya, Allah aku takut. Lindungi aku dari laki-laki kurang aj*r ini. Bisikku dalam hati."Sssstttt! Jangan berteriak Ris. Diamlah! Aku tak berniat jahat," ucapnya sembari menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Kau mau apa, hah? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanyaku penasaran dengan suara lan
Bang Ridwan mengerling tajam ke arah kami. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Cepat pergi dari sini dan jangan coba-coba mengganggu keluarga saya lagi!" Bang Ardi menunjuk ke arah pintu. Bang Ridwan masih diam di tempatnya dengan tatapan tajam ke arah Bang Ardi. Tak lama, dia beranjak pergi meninggalkan rumah kami. Aku menghela napas lega. Akhirnya, dia pergi juga dari sini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau Bang Ardi tidak datang tadi. Mungkin saja Tama sudah dibawa pergi oleh Bang Ridwan. Tak dapat kubayangkan bagaimana rasanya kalau sampai Tama pergi. Mungkin setiap hari aku akan menangis."Sudah, dia sudah pergi. Tenanglah, ada Abang di sini!" Bang Ardi merengkuhku dalam pelukannya. Seketika bulir-bulir bening yang sejak tadi kutahan, saling berlomba keluar dari kelopak mata ini. Aku menangis terisak di pelukan suamiku. Dia bukan hanya suami, tapi, dia adalah pahlawan dalam hidupku."Sudah...sudah, jangan menangis! Ayo kita lihat Tama. Kasian dia nangis terus," ujarny