Setelah acara selesai, aku dan Bang Ardi meninggalkan gedung dengan perasaan lega. Kami berjalan bergandengan menuju mobil yang diparkir di area khusus untuk petinggi perusahaan. Bang Ardi membukakan pintu mobil untukku, lalu mempersilakan aku untuk masuk, sembari membungkukkan tubuhnya. Aku tersenyum simpul dibuatnya. Setelah naik ke mobil, Bang Ardi mendaratkan sebuah kecupan mesra di bibir lalu di pucuk kepalaku. "Kita pulang sekarang?" tanyanya, aku mengangguk dan tersenyum.Segera, suamiku yang romantis itu menghidupkan mesin mobilnya, dan melaju perlahan menembus pekatnya malam.Di dalam perjalanan, Bang Ardi menyinggung tentang kejadian keributan di acara tadi."Adek mengenal dua orang yang membuat keributan di acara tadi?" ucap Bang Ardi seraya melemparkan senyum yang selalu membuat aku berdebar-debar."Iya, Bang. Risa sangat terkejut, kenapa mereka bisa ada di acara tadi?" tanyaku pada Bang Ardi. Sejak selesai acara aku memang ingin menanyakan hal ini pada suamiku, mungkin
Dua bulan kemudian. Ting nung!Terdengar suara bel pintu berbunyi."Biar saya yang buka pintunya, ya, Bu!" ucap Mbok Nah. Aku sedang menyiapkan makan siang bersamanya di dapur. "Iya, Mbok," sahutku sembari asyik mengiris wortel. Tak lama Mbok Nah kembali."Ada seorang wanita, Bu, sudah agak tua, ingin bertemu dengan Ibu. Namanya, Bu Mayang!" ujar Mbok Nah dan langsung membuatku terkejut dengan nama yang diutarakannya itu. Bu Mayang? Bukannya itu nama mantan ibu mertuaku? Kalau benar, mau apa beliau ke sini?"Ya, sudah. Biar saya temui Ibu itu ya, Mbok. Tolong lanjutkan membersihkan sayurannya. Nanti, biar saya yang masak." "Iya, Bu!" Aku melepaskan celemek yang terpasang di tubuhku, lalu beranjak menuju pintu utama. Kubuka pintu perlahan."Ibu? Ada perlu apa ke sini?" tanyaku sedikit terkejut. Rumah kami yang sekarang memang berada di satu daerah dengan rumah Bang Ridwan. Pekerjaan Bang Ardi yang memaksa kami untuk tinggal di sini. Hanya dengan menempuh perjalanan selama tiga pul
Malam semakin larut. Diluar masih saja gerimis. Terdengar suara rintik hujan berbunyi ketika bertemu dengan atap rumahku. Sejak sore tadi hujan rintik-rintik itu tak juga berhenti. Sampai sekarang, jam di dinding sudah menunjuk di angka sebelas. Tumben sampai jam segini, Bang Ardi tak menelepon sama sekali dan memberitahu dia sedang berada di mana. Aku sudah mencoba menghubunginya melalui panggilan seluler. Namun, hape Bang Ardi tidak aktif. Kemana dia? Biasanya kalau dia lembur, dia selalu memberitahuku. Apa yang terjadi padanya? Apakah ada sesuatu yang memghalangi perjalanannya sehingga lama sampai ke rumah? Ya, Allah, semoga suamiku dalam keadaan baik-baik saja. Lindungilah dimana pun dia berada sekarang. Kucoba memejamkan mata ini, namun, rasa khawatir merajai hati. Pikiranku terus saja tertuju pada Bang Ardi. Aku tak bisa tenang sebelum mendengar kabar tentangnya. Kenapa dia lama sekali pulangnya. Dadaku jadi berdebar-debar karena cemas menunggu kepulangan Bang Ardi. Untung
Seketika darahku berdesir membaca pesan terakhir dari nomor itu. Siapa dia? Ada hubungan apa Bang Ardi dengannya? Apa benar Bang Ardi menyimpan sebuah rahasia demgan wanita lain? Apa Bang Ardi berselingkuh? Tak terasa, butiran bening menetes di sudut mata ini. Bayangan masa silam kembali menari-nari di pikiranku. Akankah nasib pernikahanku akan sama seperti dulu? Akankah biduk rumah tangga ini kembali hancur karena orang ke tiga? Tidak...aku tak mau itu terjadi. Aku akan berjuang agar rumah tanggaku tak lagi hancur karena ulah seorang pelak*r. Aku akan mencari tahu siapa wanita yang telah mengirimkan pesan mesra itu kepada suamiku. Setelah mencatat nomor telepon yang mengirim pesan ke ponsel Bang Ardi. Aku kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula. Biarlah Bang Ardi melihat, ada pesan baru yang masuk ke hapenya dan sudah terbaca. Aku ingin melihat reaksinya, besok. Apakah dia akan mengatakan sesuatu tentang pesan itu, atau tidak?Aku kembali naik ke atas ranjang, lalu berbarin
"Kok gak kasih tau mau ke sini, Dek?" ujar Bang Ardi. Dia kelihatan gugup melihat aku datang tiba-tiba. "Aku mau kasih surprise, tapi, ternyata aku yang terkejut, Bang," sungutku kesal."Maksudnya?" Bang Ardi mengernyitkan dahinya "Dia siapa, Bang? Bukannya ini jam istirahat? Tapi, kenapa Abang masih di sini bersama dia?" ucapku kesal. Bang Ardi malah tertawa.Bang Ardi beranjak dari tempatnya, menghampiriku. "Istri Abang lagi marah ya? Adek cemburu?" bisiknya di telingaku. Aku mengerling tajam kepadanya. "Sini...sini, duduk dulu! Waduh ini apa? Makan siang untuk Abang? Kamu memang paling ok, tau aja suaminya belum makan. Sini, duduk di sebelah Abang!" ujar Bang Ardi lagi dengan senyum mengembang.Aku duduk di samping Bang Ardi degan ragu-ragu."Kenalkan, ini Della. Della ini teman Abang waktu kuliah dulu. Dia punya usaha kuliner. Kebetulan, kantor Abang akan mengadakan acara, jadi Abang mengajaknya kerjasama. Karena dia baik hati dan tidak sombong, dia yang datang ke sini untuk m
Sampai di tempat parkir, aku menatap ke sekeliling, siapa tahu wanita tadi masih ada di sini, menungguku sampai pulang, lalu dia kembali lagi ke ruangan Bang Arfi. Ah, kenapa pikiranku jadi kotor begini? Tenang Risa, tenang. Ketika aku menghidupkan mesin mobilku, aku melihat selintas ada wanita yang mirip dengan wanita tadi. Dia berjalan di depan mobil yang kutumpangi. "Benar, itu wanita yang ada di ruangan Bang Arfi tadi. Kok, masih ada di sini? Tadi katanya mau pergi," gumamku. Aku mengekori wanita itu dengan mataku dari dalam mobil, sampai akhirnya dia naik ke dalam mobil yang berjarak satu mobil dari mobilku. Tak lama, mobilnya bergerak meninggalkan lokasi parkir. Aku harus berhati-hati dengan wanita itu. Jangan sampai dia merebut Bang Ardi dariku. Setelah wanita itu menjauh, barulah aku melajukan mobilku perlahan menuju jalan pulang.Ketika sampai di rumah. Aku mencoba melacak nomor telepon yang mengirimkan pesan mesra di hape Bang Ardi. Kutelusuri nomor itu melalui sebuah
Setelah dari butik kami menuju pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota ini. Letaknya tak begitu jauh dari sini. Ada toko yang menjual pakaian bayi dan anak-anak yang biasa kami kunjungi di sana. Bang Ardi melajukan mobil perlahan. Pandanganku tertuju lurus ke depan, namun, pikiranku masih teringat pada lingerie yang dibeli Mbak Susi tadi. Ingin rasanya aku menanyakan tentang lingerie itu pada Mbak Susi, untuk apa dia membelinya. Tapi, kok rasanya tidak sopan mencampuri urusan pribadi orang? Biarkan sajalah, yang penting Mbak Susi gak pernah macam-macam di rumahku. Sejauh ini, perilakunya masih baik dan tak pernah membuatku marah atau pun curiga. Dia menjaga Tama dengan baik juga."Kita sudah sampai, Dek. Ayo turun." Kata-kata Bang Ardi membuyarkan lamunanku. "Loh, udah sampai ya?" tanyaku seraya melihat ke sekeliling, lalu membuka pintu mobil dan turun. "Tama sama Papa aja, ya!" Bang Ardi menggendong Tama, lalu berjalan masuk ke dalam gedung Mall. Aku dan Mbak Susi mengikuti d
"Abang pamit ya, Dek. Jangan lupa, siap-siap. Kalau bisa setelah maghrib, Adek dan Tama sudah stand bye. Oke?" ucap Bang Ardi seraya melangkah menuju pintu utama. Aku mengikuti di sampingnya. "Tumben Tama diajak ke acara kantor, Bang. Malam-malam lagi," selidikku . Pernah juga sih, Tama diajak ke acara kantor Bang Ardi. Tapi, ya gitu Tama rewel di sana. "Tama kan sudah besar Dek, lagian ini acaranya memang acara kumpul keluarga, jadi, ya harus bawa keluarga." terang Bang Ardi, lalu tersenyum. "Sudah, Abang pergi, ya!" ucapnya lagi. Bang Ardi mengecup pucuk kepalaku, lalu masuk ke mobil dan berlalu meninggalkan rumah. Hari ini, pekerjaan memasak kuserahkan kepada Mbok Nah, karena aku ingin pergi ke salon untuk melakukan perawatan. Setelah memastikan Tama aman bersama Mbak Susi, aku berangkat dengan mobil kesayanganku, si Merah. Setelah memarkirkan mobil di area parkir salon, aku keluar dari mobil. Baru saja kaki ini ingin melangkah meninggalkan mobil, tak sengaja mataku tertumbuk