Dua bulan kemudian. Tepatnya setelah seminggu putriku lahir, lamaranku di sebuah perusahan ternama di kota ini diterima. Aku sudah tak lagi bekerja di Bank. Aku sudah mengundurkan diri sebulan yang lalu. Aku tak mungkin mempertahankan pekerjaan itu lagi. Catatan buruk tentang kedisiplinanku selama beberapa bulan terakhir akan dengan mudah membuat perusahaan mendepakku dari sana. Aku sudah sering tidak masuk kerja karena alasan yang tidak jelas. Gita sering mengeluh sakit selama hamil. Terpaksa aku harus tidak masuk kerja karena merawatnya Sudah beberapa kali aku dipanggil oleh atasan mengenai hal itu. Bahkan, aku sudah menerima surat peringatan. Aku terancam akan di PHK. Mumpung ada batu loncatan, ada baiknya aku pindah ke perusahaan ini. Dari pada aku dipecat secara tidak hormat, malah akan membuat buruk namaku, sehingga susah untuk mencari pekerjaan lain.Kini, aku bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Sudah sangat lama aku ingin sekali bekerja di perusaha
"Kalau Abang muak, sebaiknya kita pisah saja, Bang!" teriak Gita. TerdengarBrak!Gita membanting pintu kamar. Dia memang seperti itu, kalau marah suka membanting apa saja. Untung saja pintunya terbuat dari kayu, kalau dari kaca, mungkin sudah hancur berantakan di lantai. Gita seperti anak kecil, tak dapat mengontrol emosinya. Biasanya, kalai dia sudah marah seperti itu, aku akan segera mengejarnya ke dalam kamar. Aku akan terus merayu dan memujuknya dengan segala macam cara agat dia mau memaafkan suaminya ini. Tapi, kali ini tidak. Aku tidak akan melakukan hal itu. Gita jadi ketagihan. Setiap kali marah, aku yang harus mengalah dan meminta maaf padanya. Padahal belum tentu aku yang bersalah. Entah sudah yang ke berapa kali dia mengatakan ingin berpisah. Namun, aku tak pernah menanggapinya. Aku tau, itu hanya emosi sesaat saja. Setelah aku meminta maaf dan berjanji akan menuruti kemauannya, pasti dia akan melupakan kata-katanya yang ingin berpisah denganku. Aku tahu betul siapa G
"Gita belum pulang, Bu?" tanyaku setengah berbisik, sembari mengecup pucuk kepala Mayra."Belum. Kemana dia? Belum juga menelepon?" tanya Ibu dengan raut wajah kesal. Aku menggeleng. Ibu mendengkus kesal, "Ibu jadi tak bisa masak untuk makan malam, sejak Ibunya pergi, Mayra rewel."Tiba-tiba pintu depan terbuka, Gita muncul dari balik pintu. Dia melenggang dengan santainya sembari menenteng dua buah paper bag di tangan kanannya. "Dari mana aja, kamu?" tanyaku kesal."Abang gak lihat, ini apa? Ya, dari belanjalah! Gita stres di rumah terus," sahutnya sembari mengangkat paper bag di tangannya ke atas."Gita nangis dari tadi. Kamu meninggalkan dia terlalu lama.""Kan ada Ibu, Bang! Percuma dong udah berpengalaman ngurus anak, masak ngurus cucu gak bisa?" sahut Gita seenaknya. "Kamu ini ya, selalu membebani Ibu. Dapat uang dari mana kamu, bisa belanja begitu?" selidikku. Sejak kemarin, Gita memang ribut minta uang dariku, tapi aku belum memberinya. "Aku kan punya Mama dan Papa. Minta
"Gimana penampilanku, Bang? Cantik gak?" ucap Gita setelah keluar dari butik yang sekaligus menyediakan jasa rias wajah. Butik ini milik teman Gita. Jujur, Gita sangat cantik malam ini. Gita mamg pandai merawat penampilannya. Aku jadi semakin sayang padanya."Cantik dong. Dari dulu kamu tetap cantik di mata Abang. Tapi, sebentar. Gaunnya mewah sekali, pasti sangat mahal kan, Git? Uangnya apa cukup?" Aku memuji penampilan Gita yang memang terlihat sangat cantik. Walaupun, tubuhnya lebih berisi dari sebelumnya, mungkin karena pengaruh baru melahirkan. Tapi, tetap saja tak mengurangi kecantikannya. "Tenang aja. Gaunnya Gita sewa. Kalau beli, memanglah tak cukup. Uang yang Abang kasih pas-pasan. Tapi, sewanya juga mahal, loh, Bang." Gita tersenyum simpul.Aku terpukau dengan penampilan Gita malam ini. Tak sia-sia aku mengeluarkan uang cukup banyak agar dia bisa tampil cantik dan tak malu-maluin di acara yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Malam ini akan diadakan acara perken
"Iya, Bang. Dia menikah dengan Risa tak lama setelah kalian bercerai. Mungkin karena itu Bang Ardi dipecat dari perusahaan yang lama, ya? Risa memang pembawa sial, Bang." sahut Gita lagi. Lelaki itu hanya tersenyum sungging sembari menggeleng. "Kok kamu gak pernah ngomong?" tanyaku menyelidik."Untuk apa? Kamu masih perduli sama Risa?" sungut Gita sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Bukan begitu, Sayang. Mana mungkin Abang masih perduli sama dia. Abang kan sudah punya kamu yang lebih segalanya dari Risa. Ini juga karena kamu istri Abang. Kalau masih si Risa itu, tentu Abang tak akan membawanya ke sini. Mau diletakkan dimana muka Abang? Risa itu tak bisa dibanggakan. Penampilannya saja seperti emak-emak dari kampung, kuno. Gak level sama Abang, yang sebentar lagi akan jadi manajer." Aku tersenyum sungging. Lelaki yang bernama Ardi itu menatapku cukup tajam. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku barusan. Baguslah, kalau dia menyerangku aku sudah siap dengan tinjuku. Aku
Setelah lelaki bernama Herlambang itu menyampaikan kata sambutan. MC kembali mengambil alih micropon. "Baiklah, Bapak, Ibu, para undangan yang terhormat. Sekarang waktunya memperkenalkan Direktur utama yang baru. Saya tidak akan menyebutkan namanya, karena beliau sendiri yang akan memperkenalkan diri kepada kita semua. Mari kita sambut direktur utama yang baru dengan tepukkan yang sangat meriah!" Suara MC dengan lantang memanggil sang direktur utama. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan sembari pokus melihat ke atas panggung. Aku dan Gita juga ikut melakukan hal yang sama. Tak lama, seorang lelaki berpostur tegap tinggi, mengenakan stelan jas berwarna hitam, serta memakai kaca mata naik ke atas panggung. Tepuk tangan dari semua orang yang hadir semakin meriah. Bagaikan mimpi, aku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Acap kali aku menyapu mata dengan punggung tanganku. Masih tak percaya kalau yang sedang berdiri di sana adalah orang yang aku kenal. Beberapa menit yang la
"Itu Mbak Risa kan, Bang? Aku gak percaya, Mbak Risa bisa secantik itu. Terakhir ketemu, waktu acara tujuh bulanan di rumah Bang Ridwan, kan? Penampilannya masih sangat amburadul, jelek dan tak pandai bergaya. "Iya, ya. Itu Mbak Risa. Mantan istri Ridwan. Bisa berubah begitu, ya. Diapain sama Pak Ardi?" ucap Riki menimpali. "Ternyata, seorang wanita, biar jelek atau miskin sekalipun, kalau berada di tangan lelaki yang tepat akan berubah jadi seorang ratu," ucap istri Riki menimpali, meninggalkan jejak resah di hatiku. Waktu bersamaku dulu, Risa memang tak pernah aku perlakukan layaknya seorang istri apalagi jadi seorang ratu. Dia pernah meminta uang untuk membeli peralatan make up, namun tak pernah kuberi. Dia juga pernah minta uang untuk mengikuti program diet. Lagi-lagi tak aku tanggapi. Aku sangat sayang mengeluarkan uang untuk Risa. Dari pada untuk dia, mendingan uangnya aku tabung, karena waktu itu aku sedang berusaha mendekati Gita kembali. Butuh uang banyak untuk bisa mempe
POV Risa"Bang, Risa di rumah aja, ya. Risa malu datang ke acara itu," ucapku memelas pada Bang Ardi, setelah makan malam yang sudah kemalaman. Ya, kemalaman, karena Bang Ardi pulang agak telat malam ini, jadi, waktu makan malam kami juga bergeser. Bang Ardi pulang selarut ini katena ikut membantu persiapan untuk acara besok. Walaupun dia akan diangkat menjadi direktur utama, dia tetap ikut berkecimpung dengan urusan-urusan seperti itu. Mungkin karena belum terbiasa jadi Bos. Jadi apa yang dikerjakan bawahannya, dia selalu ikut andil. Dia memang tak bisa diam dengan hanya melihat saja. Walapun lembur dan pulang sampai malam, Bang Ardi selalu minta ditemani makan di rumah. Seharian berada di kantor, dia rindu akan masakanku, katanya. Jadi, jam berapa pun dia pulang, selalu ingin makan, walau pun hanya makan mie instan saja, asalkan aku yang masak, dia sudah merasa puas. "Kenapa? Memangnya Adek gak punya hidung, makanya malu datang ke acara itu?" ucap Bang Ardi enteng. Aku tersenyum