"Aduh, gimana ya, Bang. Gita baru aja nyampek Mall. Ini baru juga makan, belum lagi belanjanya. Papa dan Mama besok sudah pulang. Mereka ingin membelikan baju untuk anak kita, Bang," jawabnya semakin tak berperasaan."Jadi, kamu suruh Abang dan Ibu nunggu di luar, gitu? Bener-bener kamu, Git!" ujarku semakin kesal. Tanpa menunggu jawaban lagi aku langsung menutup panggilan telepon itu. Aku benar-benar merasa kesal dengannya. Bisa-bisanya dia begitu. Dasar Gita, memang tak punya perasaan. Harusnya sebelum pergi ke Mall tadi, dia meneleponku dulu. Tanya kek, atau apa kek. Jangan main pergi begitu aja. Bikin susah aja. "Kenapa, Wan? Gita kemana?" tanya Ibu terlihat khawatir."Gita pergi, Bu, sama Mama dan papanya. Mereka belanja keperluan calon bayi kami," sahutku masih merasa kesal pada Gita. Mana udah jam satu siang, Ibu dan aku juga belum makan. "Ibu lapar? Kita cari makan dulu, ya! Mudah-mudahan setelah kembali dari makan nanti, Gita sudah pulang. "Ya, sudah. Ayo!" Ibu segera na
"Gita, kamu di sini? Papa, Mama mana? Dia siapa?" cercaku pada Gita. Gita tampak terkejut dengan kehadiranku. "Eh, Bang Ridwan. Kok ke sini?" tanyanya sembari berdiri dari tempat duduknya."Ditanya malah balik nanya! Abang dan Ibu nungguin kamu dari tadi, kamu malah enak-enakan berduaan sama laki-laki lain di sini. Siapa dia? Kamu selingkuh?" Dadaku naik turun menahan emosi. Kalau bukan di tempat ramai, sudah kuhajar lelaki di depanku ini."Sabar dulu dong, Bang! Jangan main tuduh begitu. Ini Sony, sepupu aku. Baru pulang dari luar negeri. Son, kenalin, ini suamiku, Bang Ridwan," ujar Gita dengan mengulas senyum simpul."Sepupu? Kok aku belum pernah ketemu? Trus, tadi dia kasih kamu uang. Uang apa?" tanyaku lagi masih belum puas dengan keterangan yang Gita berikan."Ya, jelas gak pernah ketemu lah, Bang. Dia kan di luar negeri. Dia baru pulang semalam. Masalah uang tadi, Sony ini bayar hutang ke aku. Waktu itu dia pernah pinjam uang sama aku. Waktu kita belum nikah. Udahlah, mana mun
Dua bulan kemudian. Tepatnya setelah seminggu putriku lahir, lamaranku di sebuah perusahan ternama di kota ini diterima. Aku sudah tak lagi bekerja di Bank. Aku sudah mengundurkan diri sebulan yang lalu. Aku tak mungkin mempertahankan pekerjaan itu lagi. Catatan buruk tentang kedisiplinanku selama beberapa bulan terakhir akan dengan mudah membuat perusahaan mendepakku dari sana. Aku sudah sering tidak masuk kerja karena alasan yang tidak jelas. Gita sering mengeluh sakit selama hamil. Terpaksa aku harus tidak masuk kerja karena merawatnya Sudah beberapa kali aku dipanggil oleh atasan mengenai hal itu. Bahkan, aku sudah menerima surat peringatan. Aku terancam akan di PHK. Mumpung ada batu loncatan, ada baiknya aku pindah ke perusahaan ini. Dari pada aku dipecat secara tidak hormat, malah akan membuat buruk namaku, sehingga susah untuk mencari pekerjaan lain.Kini, aku bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Sudah sangat lama aku ingin sekali bekerja di perusaha
"Kalau Abang muak, sebaiknya kita pisah saja, Bang!" teriak Gita. TerdengarBrak!Gita membanting pintu kamar. Dia memang seperti itu, kalau marah suka membanting apa saja. Untung saja pintunya terbuat dari kayu, kalau dari kaca, mungkin sudah hancur berantakan di lantai. Gita seperti anak kecil, tak dapat mengontrol emosinya. Biasanya, kalai dia sudah marah seperti itu, aku akan segera mengejarnya ke dalam kamar. Aku akan terus merayu dan memujuknya dengan segala macam cara agat dia mau memaafkan suaminya ini. Tapi, kali ini tidak. Aku tidak akan melakukan hal itu. Gita jadi ketagihan. Setiap kali marah, aku yang harus mengalah dan meminta maaf padanya. Padahal belum tentu aku yang bersalah. Entah sudah yang ke berapa kali dia mengatakan ingin berpisah. Namun, aku tak pernah menanggapinya. Aku tau, itu hanya emosi sesaat saja. Setelah aku meminta maaf dan berjanji akan menuruti kemauannya, pasti dia akan melupakan kata-katanya yang ingin berpisah denganku. Aku tahu betul siapa G
"Gita belum pulang, Bu?" tanyaku setengah berbisik, sembari mengecup pucuk kepala Mayra."Belum. Kemana dia? Belum juga menelepon?" tanya Ibu dengan raut wajah kesal. Aku menggeleng. Ibu mendengkus kesal, "Ibu jadi tak bisa masak untuk makan malam, sejak Ibunya pergi, Mayra rewel."Tiba-tiba pintu depan terbuka, Gita muncul dari balik pintu. Dia melenggang dengan santainya sembari menenteng dua buah paper bag di tangan kanannya. "Dari mana aja, kamu?" tanyaku kesal."Abang gak lihat, ini apa? Ya, dari belanjalah! Gita stres di rumah terus," sahutnya sembari mengangkat paper bag di tangannya ke atas."Gita nangis dari tadi. Kamu meninggalkan dia terlalu lama.""Kan ada Ibu, Bang! Percuma dong udah berpengalaman ngurus anak, masak ngurus cucu gak bisa?" sahut Gita seenaknya. "Kamu ini ya, selalu membebani Ibu. Dapat uang dari mana kamu, bisa belanja begitu?" selidikku. Sejak kemarin, Gita memang ribut minta uang dariku, tapi aku belum memberinya. "Aku kan punya Mama dan Papa. Minta
"Gimana penampilanku, Bang? Cantik gak?" ucap Gita setelah keluar dari butik yang sekaligus menyediakan jasa rias wajah. Butik ini milik teman Gita. Jujur, Gita sangat cantik malam ini. Gita mamg pandai merawat penampilannya. Aku jadi semakin sayang padanya."Cantik dong. Dari dulu kamu tetap cantik di mata Abang. Tapi, sebentar. Gaunnya mewah sekali, pasti sangat mahal kan, Git? Uangnya apa cukup?" Aku memuji penampilan Gita yang memang terlihat sangat cantik. Walaupun, tubuhnya lebih berisi dari sebelumnya, mungkin karena pengaruh baru melahirkan. Tapi, tetap saja tak mengurangi kecantikannya. "Tenang aja. Gaunnya Gita sewa. Kalau beli, memanglah tak cukup. Uang yang Abang kasih pas-pasan. Tapi, sewanya juga mahal, loh, Bang." Gita tersenyum simpul.Aku terpukau dengan penampilan Gita malam ini. Tak sia-sia aku mengeluarkan uang cukup banyak agar dia bisa tampil cantik dan tak malu-maluin di acara yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Malam ini akan diadakan acara perken
"Iya, Bang. Dia menikah dengan Risa tak lama setelah kalian bercerai. Mungkin karena itu Bang Ardi dipecat dari perusahaan yang lama, ya? Risa memang pembawa sial, Bang." sahut Gita lagi. Lelaki itu hanya tersenyum sungging sembari menggeleng. "Kok kamu gak pernah ngomong?" tanyaku menyelidik."Untuk apa? Kamu masih perduli sama Risa?" sungut Gita sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Bukan begitu, Sayang. Mana mungkin Abang masih perduli sama dia. Abang kan sudah punya kamu yang lebih segalanya dari Risa. Ini juga karena kamu istri Abang. Kalau masih si Risa itu, tentu Abang tak akan membawanya ke sini. Mau diletakkan dimana muka Abang? Risa itu tak bisa dibanggakan. Penampilannya saja seperti emak-emak dari kampung, kuno. Gak level sama Abang, yang sebentar lagi akan jadi manajer." Aku tersenyum sungging. Lelaki yang bernama Ardi itu menatapku cukup tajam. Sepertinya dia marah dengan kata-kataku barusan. Baguslah, kalau dia menyerangku aku sudah siap dengan tinjuku. Aku
Setelah lelaki bernama Herlambang itu menyampaikan kata sambutan. MC kembali mengambil alih micropon. "Baiklah, Bapak, Ibu, para undangan yang terhormat. Sekarang waktunya memperkenalkan Direktur utama yang baru. Saya tidak akan menyebutkan namanya, karena beliau sendiri yang akan memperkenalkan diri kepada kita semua. Mari kita sambut direktur utama yang baru dengan tepukkan yang sangat meriah!" Suara MC dengan lantang memanggil sang direktur utama. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan sembari pokus melihat ke atas panggung. Aku dan Gita juga ikut melakukan hal yang sama. Tak lama, seorang lelaki berpostur tegap tinggi, mengenakan stelan jas berwarna hitam, serta memakai kaca mata naik ke atas panggung. Tepuk tangan dari semua orang yang hadir semakin meriah. Bagaikan mimpi, aku tak percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Acap kali aku menyapu mata dengan punggung tanganku. Masih tak percaya kalau yang sedang berdiri di sana adalah orang yang aku kenal. Beberapa menit yang la
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat