"Selamat menyandang status baru ya, Ris. Hari ini kamu resmi jadi janda," ucap Gita sembari tersenyum semringah. Nampaknya dia sengaja mendekatiku hanya untuk mengejek.Aku sedang duduk di salah satu bangku di depan ruang pengadilan agama. Sebenarnya aku masih ingin menenangkan hatiku di sini. Baru beberapa waktu lalu, putusan sidang perceraian dengan Bang Ridwan dibacakan. Resmi sudah aku dan suamiku berpisah. Benar kata Gita, hari ini aku menyandang status baru. Yah, single parents untuk Tama. Orang awam m nyebutnya janda. Status yang sangat ditakuti oleh wanita yang disebut istri. Orang-orang juga selalu menilai buruk terhadap seorang janda. Katanya, janda itu akan selalu menjadi pelakor. Tentunya tak semua wanita yang berstatus janda seperti itu. Namun, penilaian orang terlanjur jelek terhadap seorang janda."Lalu kenapa kalau aku janda? Kau pikir karena janda, hidupku akan hancur? Kau salah, Git. Aku akan baik-baik saja walau tanpa Bang Ridwan," sahutku sembari tersenyum sunggi
Bantu Risa, Mak. Bantu Risa untuk keluar dan bangkit dari masalah ini. Risa kini hanya punya Emak, Bapak dan Tama.""Iya, Sayang. Emak dan Bapak akan berusaha sekuat tenaga untuk membantumu bangkit. Emak yakin kita akan melewati ujian ini dengan mudah. Kamu yang sabar, ya!" Aku melepaskan pelukan Emak. "Iya, Mak," sahutku seraya tersenyum lepas."Kita pulang sekarang, ya!" ucap Emak lagi. Aku mengangguk.Aku dan Emak segera naik ke mobil dan bergegas meninggalkan gedung pengadilan agama itu.*Enam bulan sudah berlalu setelah sidang perceraian itu. Lambat laun, aku mulai dapat melupakan Bang Ridwan. Aku sudah ikhlas menerima semua keadaan ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah Tama. Dia harus bahagia walau tanpa mendapat kasih sayang dari ayahnya. "Kamu jadi ke kampung sebelah, Ris?" tanya Emak ketika kami sedang menikmati sarapan pagi ini."Jadi, Mak. Nanti sekitar jam sepuluh. Nuri masih ada urusan lain," ujarku pada Emak. "Jadi masang dekornya di dua tempat?" tanya Emak
Aku baru saja pulang dari kantor. Belum lagi sempat duduk dan beristirahat barang sejenak, namun sudah disuguhkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Seingatku, aku belum pernah melihat Ibu melakukan pekerjaan itu. Tapi, kenapa sekarang beliau mengerjakannya? Apa Ibu sekarang berubah jadi rajin?"Loh, Ibu kok ngepel lantai? Katanya lagi sakit." Aku menegur Ibu yang sedang fokus mengepel lantai.Aku pulang lebih cepat hari ini, karena merasa tak enak badan. Lalu mendapati Ibu sedang mengepel lantai di teras depan. Padahal, Ibu masih sakit. Kemarin, ketika bangun tidur, Ibu merasa tubuhnya sakit semua. Ternyata beliau demam."Iy—iya, tadi ada kotoran ayam di sini, jadi Ibu bersihin," jawabnya tergagap."Gita mana, Bu? Kok, Ibu yang mengerjakan ini?" tanyaku lagi, lalu mencium punggung tangan Ibu."Ada, di dalam." Ibu mengerling ke dalam rumah. Aku langsung masuk dan mencari Gita.Sampai di dalam rumah, aku melihat Gita tengah asyik menonton televisi. Kakinya di angkat ke atas meja. Set
"Alaaah, omong kosong. Jangan berandai-andai, Bang. Usaha dong, biar bisa jadi Bos. Kalau tau begini, aku jadi menyesal menikah dengan Abang. Tau gitu, aku cari om-om kaya raya. Tak apa jadi istri kedua, yang penting semua kebutuhanku terpenuhi d ngan mudah.""Astagfirullah. Kamu kok, ngomong seperti itu, Git?" Aku meraup wajah dengan kasar. Bisa-bisanya Gita ngomong seperti itu di hadapan suaminya sendiri. Gita menghiraukan kata-kataku. Gita bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan keluar dari kamar. Dia kembali menutup pintu kamar dengan kasar. Apa maksud Gita bicara seperti itu? Apa dia berencana ingin meninggalkan aku? Lalu, apa gunanya semua pengorbananku selama ini? Gita...Gita, andai saja sifatmu seperti Risa, aku akan menjadi kelaki paling bahagia di dunia ini. Keadaanku sekarang memang sangat sulit. Kebutuhan hidup keluargaku tiap bulannya semakin bertambah. Gita selalu meminta uang untuk membeli tas dan baju bahkan dia sering mengambil perhiasan pada temannya dan memin
"Ya sudah, Ridwan ke depan, beli sarapan untuk Ibu ya. Ibu tunggu di sini. Sebentar lagi Ridwan kembali membawakan sarapan untuk Ibu," ujarku seraya bangkit dan melangkah ke luar kamar. "Gak usah, Wan. Nanti kamu terlambat!" seru Ibu mencoba mencegahku. "Nggak, Bu! Nanti Ridwan minta izin sama atasan. Ibu sedang sakit, tak mungkin Ridwan meninggalkan Ibu dalam keadaan lapar begini. Yang ada Ridwan tidak konsen saat bekerja, karena kepikiran Ibu terus," ucapku lalu melanjutkan langkah. Aku berjalan keluar dari rumah untuk mencari penjual sarapan pagi. Untunglah di sekitar rumahku ada yang menjual sarapan pagi. Jadi, aku tak perlu jauh-jauh pergi untuk membeli makanan.Sekitar sepuluh menit, aku kembali ke rumah. Kuberikan lontong sayur kesukaan Ibu dan membuatkannya secangkir teh manis panas. "Habis makan, Ibu langsung minum obatnya ya. Kalau masih merasa lemas, kabari Ridwan ya, Bu." Ibu mengangguk dan tersenyum.Aku berpamitan untuk berangkat kerja. Kucium dengan takzim punggung
Setelah lima belas menit di perjalanan, kami sampai di rumah sakit Harapan Sehati. Aku segera mengarahkan mobilku ke depan ruang UGD. Beberapa orang perawat langsung membawa brankar dan menurunkan Ibu dari dalam mobil. Kuparkirkan mobilku di tempatnya, lalu kembali ke ruang UGD."Bagaimana Ibu saya, Sus?" tanyaku pada salah seorang Suster di depan UGD. "Masih ditangani oleh dokter. Bapak sabar, ya," sahutnya dengan senyum terukir di bibirnya. Aku duduk di salah satu kursi yang berjajar rapi di depan ruangan itu. Perasaan cemas menjalari hati. Semoga Ibu tak kenapa-kenapa. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Salah seorang Suster mengizinkan aku untuk masuk dan melihat keadaan Ibu. "Biarkan Ibu anda tenang dulu, ya, Pak! Kalau kondisinya sudah stabil, baru kita pindah ke ruang perawatan. Mungkin Ibu anda harus menginap di sini malam ini. Kondisinya sangat lemah sekali." Seorang dokter menjelaskan dengan teliti kepadaku. "Ibu saya kenapa, Dok? Kenapa harus menginap? Apa penyakitnya par
Pagi-pagi sekali Ibu sudah bangun. Karena merasa gerah, sejak kemarin tidak mandi, Ibu minta agar aku memapahnya ke kamar mandi. Beliau ingin membersihkan tubuh, katanya. Kondisi Ibu masih lemah. Tapi, wajahnya sudah kelihatan lebih segar dari kemarin. Ibu juga sudah mau makan sedikit demi sedikit. Syukurlah, akhirnya kondisi Ibu sudah mulai membaik. Aku jadi lega dibuatnya. Setelah mandi, Ibu kembali duduk bersandar di atas brankar. Matanya menatap jauh ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkannya. "Pagi, Bang! Gimana keadaan Ibu? Apa sudah mendingan?" Tanpa memberitahu, tiba-tiba Gita muncul di ambang pintu ruang perawatan Ibu. Di tangannya ada satu set rantang makanan. Dengan senyum semringah dia melangkah masuk menghampiri aku dan Ibu. "Ke sini kok gak ngasi kabar dulu?" tanyaku. Gita menyerahkan rantang yang dibawanya kepadaku, lalu duduk di tepi brankar sembari memijit lembut kaki Ibu. Ibu mengerling ke arah Gita, lalu tersenyum sungging. Aku semakin heran melihat
Hari ini adalah hari diadakannya acara tujuh bulanan calon bayiku. Setelah memastikan kondisi Ibu baik-baik saja, aku meninggalkan rumah sakit. Ibu belum diizinkan pulang. Aku sudah berpesan pada Suster yang jaga pada pagi itu, agar memeriksa kondisi Ibu secara berkala selama kutinggalkan. Ibu juga tak keberatan jika harus kutinggalkan hari ini. Keadaannya sudah semakin membaik. Mudah-mudahan, besok beliau sudah diizinkan pulang. Aku meninggalkan rumah sakit d ngan perasaan cemas. Tak tega rasanya meninggalkan Ibu sendiri di rumah sakit. Tapi, kalau aku tidak pulang, bisa-bisa terjadi perang sengit antara aku demgan Gita. Bisa-bisa Gita minta cerai, atau kabur dari rumah. Aku bisa gawat kalau sampai hal itu terjadi.Aku tak ingin kehilangan anakku untuk yang kedua kalinya. Aku sudah pernah mengabaikan darah dagingku sendiri demi Gita. Dia meminta syarat agar aku tak memberikan sedikitpun harta dan kasih sayang kepada anak itu. Aku harus mengabaikannya dan menganggap anak itu tak per
Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se
Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia
Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat