Tiga hari sudah Tama dirawat di rumah sakit ini. Kata dokter, hari ini Tama diizinkan untuk pulang ke rumah, karena keadaannya sudah pulih benar. Tama hanya menderita demam biasa. Namun, karena tak mau minum susu jadi suhu badannya naik sangat cepat. Syukurlah malam itu Tama lekas dibawa ke sini, jadi tidak sempat dehidrasi. Mungkin aku akan pulang ke rumah dengan menumpang taxi online. Karena hanya tinggal aku dan Tama di sini. Emak tadi pagi-pagi sekali pulang, karena Bapak kurang enak badan. Tidak ada yang mengurus di rumah. Aku sedang mengemasi baju-baju dan barang-barang bawaan Tama. Sedangkan Tama masih tertidur di atas brankar. Aku lega sekali, Tama kembali sehat dan sudah dapat tertawa seperti sedia kala.Tok! Tok! Tok! Pintu ruang rawat Tama diketuk seseorang, sembari mengucapkan salam."Assalammualaikum," ucap seseorang di depan pintu ruang rawat Tama. Suara lelaki. Siapa, ya? Pikirku."Waalaikumsalam," sahutku, lalu pintu itu terbuka. Bang Ardi muncul dari balik pintu.
"Kita sudah sampai, Ris. Ayo turun," ajak Bang Ardi, membuatku kaget. "Risa di dalam mobil aja ya, Bang. Nasinya dibungkus saja. Nanti Risa makan di mobil saja. Tak enak kalau dilihat teman-teman Abang. Abang bolos kerja karena Risa. Bagaimana pula kalau yang lihat pacar Abang? Kan jadi berabe urusannya," ujarku ragu-ragu. Bang Ardi malah tertawa lebar."Risa, Risa! Ada-ada aja kamu ini. Jam segini teman-teman Abang sudah masuk kantor. Mana ada lagi yang berani berkeliaran kalau tak ada izin dari atasan. Pacar? Pacar yang mana? Gak ada yang mau sama Abang. Udahlah, jangan berhalusinasi seperti itu. Ayo turun! Kalau kamu gak mau turun, Abang juga gak akan turun." Bang Ardi menyandarkan kembali tubuhnya ke sandaran kursi mobil, sambil meringis memegangi perutnya. Tingkahnya lucu juga, membuat aku senyum-senyum sendiri. "Iya, iya, Risa turun," ucapku sembari mengerling dengan kesal padanya. Dia malah tersenyum simpul.Aku dan Bang Ardi turun dari mobil. Masih ada rasa ragu untuk masu
"Selamat menyandang status baru ya, Ris. Hari ini kamu resmi jadi janda," ucap Gita sembari tersenyum semringah. Nampaknya dia sengaja mendekatiku hanya untuk mengejek.Aku sedang duduk di salah satu bangku di depan ruang pengadilan agama. Sebenarnya aku masih ingin menenangkan hatiku di sini. Baru beberapa waktu lalu, putusan sidang perceraian dengan Bang Ridwan dibacakan. Resmi sudah aku dan suamiku berpisah. Benar kata Gita, hari ini aku menyandang status baru. Yah, single parents untuk Tama. Orang awam m nyebutnya janda. Status yang sangat ditakuti oleh wanita yang disebut istri. Orang-orang juga selalu menilai buruk terhadap seorang janda. Katanya, janda itu akan selalu menjadi pelakor. Tentunya tak semua wanita yang berstatus janda seperti itu. Namun, penilaian orang terlanjur jelek terhadap seorang janda."Lalu kenapa kalau aku janda? Kau pikir karena janda, hidupku akan hancur? Kau salah, Git. Aku akan baik-baik saja walau tanpa Bang Ridwan," sahutku sembari tersenyum sunggi
Bantu Risa, Mak. Bantu Risa untuk keluar dan bangkit dari masalah ini. Risa kini hanya punya Emak, Bapak dan Tama.""Iya, Sayang. Emak dan Bapak akan berusaha sekuat tenaga untuk membantumu bangkit. Emak yakin kita akan melewati ujian ini dengan mudah. Kamu yang sabar, ya!" Aku melepaskan pelukan Emak. "Iya, Mak," sahutku seraya tersenyum lepas."Kita pulang sekarang, ya!" ucap Emak lagi. Aku mengangguk.Aku dan Emak segera naik ke mobil dan bergegas meninggalkan gedung pengadilan agama itu.*Enam bulan sudah berlalu setelah sidang perceraian itu. Lambat laun, aku mulai dapat melupakan Bang Ridwan. Aku sudah ikhlas menerima semua keadaan ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah Tama. Dia harus bahagia walau tanpa mendapat kasih sayang dari ayahnya. "Kamu jadi ke kampung sebelah, Ris?" tanya Emak ketika kami sedang menikmati sarapan pagi ini."Jadi, Mak. Nanti sekitar jam sepuluh. Nuri masih ada urusan lain," ujarku pada Emak. "Jadi masang dekornya di dua tempat?" tanya Emak
Aku baru saja pulang dari kantor. Belum lagi sempat duduk dan beristirahat barang sejenak, namun sudah disuguhkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Seingatku, aku belum pernah melihat Ibu melakukan pekerjaan itu. Tapi, kenapa sekarang beliau mengerjakannya? Apa Ibu sekarang berubah jadi rajin?"Loh, Ibu kok ngepel lantai? Katanya lagi sakit." Aku menegur Ibu yang sedang fokus mengepel lantai.Aku pulang lebih cepat hari ini, karena merasa tak enak badan. Lalu mendapati Ibu sedang mengepel lantai di teras depan. Padahal, Ibu masih sakit. Kemarin, ketika bangun tidur, Ibu merasa tubuhnya sakit semua. Ternyata beliau demam."Iy—iya, tadi ada kotoran ayam di sini, jadi Ibu bersihin," jawabnya tergagap."Gita mana, Bu? Kok, Ibu yang mengerjakan ini?" tanyaku lagi, lalu mencium punggung tangan Ibu."Ada, di dalam." Ibu mengerling ke dalam rumah. Aku langsung masuk dan mencari Gita.Sampai di dalam rumah, aku melihat Gita tengah asyik menonton televisi. Kakinya di angkat ke atas meja. Set
"Alaaah, omong kosong. Jangan berandai-andai, Bang. Usaha dong, biar bisa jadi Bos. Kalau tau begini, aku jadi menyesal menikah dengan Abang. Tau gitu, aku cari om-om kaya raya. Tak apa jadi istri kedua, yang penting semua kebutuhanku terpenuhi d ngan mudah.""Astagfirullah. Kamu kok, ngomong seperti itu, Git?" Aku meraup wajah dengan kasar. Bisa-bisanya Gita ngomong seperti itu di hadapan suaminya sendiri. Gita menghiraukan kata-kataku. Gita bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan keluar dari kamar. Dia kembali menutup pintu kamar dengan kasar. Apa maksud Gita bicara seperti itu? Apa dia berencana ingin meninggalkan aku? Lalu, apa gunanya semua pengorbananku selama ini? Gita...Gita, andai saja sifatmu seperti Risa, aku akan menjadi kelaki paling bahagia di dunia ini. Keadaanku sekarang memang sangat sulit. Kebutuhan hidup keluargaku tiap bulannya semakin bertambah. Gita selalu meminta uang untuk membeli tas dan baju bahkan dia sering mengambil perhiasan pada temannya dan memin
"Ya sudah, Ridwan ke depan, beli sarapan untuk Ibu ya. Ibu tunggu di sini. Sebentar lagi Ridwan kembali membawakan sarapan untuk Ibu," ujarku seraya bangkit dan melangkah ke luar kamar. "Gak usah, Wan. Nanti kamu terlambat!" seru Ibu mencoba mencegahku. "Nggak, Bu! Nanti Ridwan minta izin sama atasan. Ibu sedang sakit, tak mungkin Ridwan meninggalkan Ibu dalam keadaan lapar begini. Yang ada Ridwan tidak konsen saat bekerja, karena kepikiran Ibu terus," ucapku lalu melanjutkan langkah. Aku berjalan keluar dari rumah untuk mencari penjual sarapan pagi. Untunglah di sekitar rumahku ada yang menjual sarapan pagi. Jadi, aku tak perlu jauh-jauh pergi untuk membeli makanan.Sekitar sepuluh menit, aku kembali ke rumah. Kuberikan lontong sayur kesukaan Ibu dan membuatkannya secangkir teh manis panas. "Habis makan, Ibu langsung minum obatnya ya. Kalau masih merasa lemas, kabari Ridwan ya, Bu." Ibu mengangguk dan tersenyum.Aku berpamitan untuk berangkat kerja. Kucium dengan takzim punggung
Setelah lima belas menit di perjalanan, kami sampai di rumah sakit Harapan Sehati. Aku segera mengarahkan mobilku ke depan ruang UGD. Beberapa orang perawat langsung membawa brankar dan menurunkan Ibu dari dalam mobil. Kuparkirkan mobilku di tempatnya, lalu kembali ke ruang UGD."Bagaimana Ibu saya, Sus?" tanyaku pada salah seorang Suster di depan UGD. "Masih ditangani oleh dokter. Bapak sabar, ya," sahutnya dengan senyum terukir di bibirnya. Aku duduk di salah satu kursi yang berjajar rapi di depan ruangan itu. Perasaan cemas menjalari hati. Semoga Ibu tak kenapa-kenapa. Tak lama, pintu ruangan terbuka. Salah seorang Suster mengizinkan aku untuk masuk dan melihat keadaan Ibu. "Biarkan Ibu anda tenang dulu, ya, Pak! Kalau kondisinya sudah stabil, baru kita pindah ke ruang perawatan. Mungkin Ibu anda harus menginap di sini malam ini. Kondisinya sangat lemah sekali." Seorang dokter menjelaskan dengan teliti kepadaku. "Ibu saya kenapa, Dok? Kenapa harus menginap? Apa penyakitnya par