Aku baru saja pulang dari klinik dokter kandungan. Klinik yang terletak di kota kecil di daerah tempat tinggalku, menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan pemeriksaan USG. Walau berada di kota kecil, namun alatnya sudah empat dimensi, jadi aku dapat melihat dengan jelas wajah bayi dalam kandunganku. Aku sudah mengirimkan foto hasil pemeriksaan bayiku kepada Bang Ridwan. Semoga dengan melihat hasil pemeriksaan calon anaknya, hati Bang Ridwan tersentuh dan membatalkan niatnya untuk menikahi Gita. Hanya ini yang dapat kulakukan saat ini. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Itu saja. Namun, semua harapanku kandas, Bamg Ridwan sama sekali tak merespon foto yang kukirim itu. Jangankan datang, sekedar menelepon untuk menanyakan kondisi kehamilanku saja tidak. Bang Ridwan benar-benar keterlaluan. Apa dia tidak khawatir dengan calon anaknya ini? Dua bulan sudah berlalu, belum ada tanda-tanda apakah Bang Ridwan akan menceraikan aku atau akan menjemput dan mengajakku untuk merajut kemb
"Kita pulang sekarang ya, Ris. Tadi Bu Bidan sudah membolehkan kamu pulang," ucap Emak dari ambang pintu ruangan tempat aku dirawat. "Iya, Mak. Syukurlah! Risa juga sudah bosan di ruangan ini. Pengen cepat-cepat pulang," sahutku diiringi senyum simpul."Kita tunggu Bapakmu, ya. Dia sedang ke rumah Pak RT untuk pinjam mobil." "Iya, Mak." Jarak rumahku dari Puskesmas tempatku melahirkan bisa dibilang cukup jauh. Mungkin Emak tak tega kalau cucunya yang baru lahir ini kena angin kalau naik becak. Ya, di sini tak ada taxi, adanya cuma becak motor dan ojek motor. Setelah menunggu beberapa saat, Bapak datang bersama Pak RT yang mengemudikan sendiri mobilnya, dan langsung mengantar kami sampai rumah. Alangkah terkejutnya aku ketika sampai di depan rumah, aku melihat Gita sudah duduk di teras rumah bersama Bu Dewi. Mau apa dia ke sini. Pasti Bu Dewi sudah cerita macam-macam ke Gita.Aku dan Emak segera masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Bu Dewi, si tukang kepo."Sudah lahiran ya, Risa. A
Dua bulan sudah berlalu."Mak, Risa ke mini market bentar. Susu Tama hampir habis. Titip Tama, ya!" ucapku pada Emak siang ini.Dua bulan sudah umur Putra Pratama, anakku dengan Bang Ridwan. Sejak lahir, dia terpaksa mengkonsumsi susu formula karena ASI ku tak mau keluar. Sudah berbagai macam cara kulakukan. Semua yang dikatakan para tetangga sudah kubuat, dari mengkonsumsi buah bengkoang, minum jamu dan lain sebagainya. Hasilnya nihil. ASI-ku tetap tidak ada. Untung saja pelanggan dekorasi hajatanku semakin ramai, jadi untuk masalah susu dan keperluan Tama lainnya dapat terpenuhi, walaupun ayahnya, Bang Ridwan tak pernah memberi uang sepeserpun untuk kebutuhan Tama dan aku. Jangankan memberi uang, memberi kabar saja tak pernah. Mungkin dia sudah lupa kalau sekarang dia sudah menjadi seorang ayah.Aku heran, apa dia tidak pernah merasa rindu ingin melihat darah dagingnya seperti apa? Apa dia tak ingin memeluk anaknya? Entahlah, aku tak tahu jalan pikirannya seperti apa.Dua bulan su
Sebenarnya dulu pun, Bang Ardi tidak jelek, hanya saja aku memamg tak punya rasa kepadanya, karena sudah ada Bang Ridwan di sana. Jadi menurutku, Bang Arfi kalah tampan dari Bang Ridwan. "Iya, gak nyangka. Udah lama gak ketemu. Lagi mengunjungi Emak dan Bapak? Apa kabar mereka?" tanya Bang Ardi sembari tersenyum. "Alhamdulillah, Emak dan Bapak sehat, Bang," sahutku cepat."Oh, Alhamdulillah. Syukurlah. Titip salam untuk mereka ya. Sudah lama Abang tak berkunjung ke sana, Abang jadi tak enak. Dulu Abang sering ngobrol dengan Bapak. Tapi, sejak Abang pindah kerja, jadi tidak punya waktu untuk main ke rumah Emak," ujarnya lagi dengan senyum tak lekat dari bibir tipisnya. Janggut tipis di dagunya menegaskan kelaki-lakiannya. "Iya, Bang, nanti Risa sampaikan. Oh, ya, Bang. Risa mau minta tolong. Risa mau ambil biskuit, tapi gak sampai, ada di paling atas, di sana," ujarku sembari menunjuk keberadaan biskuit yang kumaksud. "Iya...iya, bisa. Ayo!" Bang Ardi berjalan menuju rak yang kutun
"Kamu tidak dengar? Jangan berlaku tidak sopan di rumah orang," ucap Bang Ardi. Entah sejak kapan dia berada di situ. Apa dia mendengar perseteruan kami tadi? "Bang Ardi? Kenapa ada di sini?" seru Gita saat menoleh ke belakang. Bang Ardi melepaskan tangan Gita."Aku yang seharusnya tanya, ada perlu apa kau sampai ke sini? Ternyata kau belum berubah ya! Masih saja suka mencari keributan" ujar Bang Ardi pada Gita."Kamu kenal dengannya, Git?" tanya Bang Ridwan heran. Aku juga heran, kok bisa Bang Ardi kenal dengan Gita, sampai bisa berkata begitu, berarti kenal betul. "Iy—iya, Bang, dulu," jawab Gita singkat. "Sudahlah, Bang, suruh dia tanda tangani surat itu segera," ujarnya seperti mengalihkan pembicaraan. Ada apa dengan Gita, kenapa dia seperti gugup begitu. Apa ada masalah yang serius antara dia dengan Bang Ardi? Masalah apa?Aku jadi penasaran, bagaimana Bang Ardi bisa kenal dengan Gita. Mungkin lain kali aku akan menanyakan tentang hal itu pada Bang Ardi, siapa tau aku mendapat
Aku menatap Emak lekat-lekat. Lalu beralih menatap tajam ke manik mata Bang Ridwan. Tak kutemukan sorot kasih sayang di mata itu lagi. Dia balas menatapku dengan tatapan datar dan terkesan tidak suka.Kualihkan tatapanku kepada Gita, wanita itu menatap sinis padaku. Sebenarnya aku ingin sekali menumpahkan air mata, tapi, aku tak mau terlihat lemah di mata kedua orang tak punya perasaan ini. Acapkali kuhela napas dalam-dalam, agar sesak yang sedari tadi menghimpit didada dapat hilang. Namun sia-sia saja. Dadaku kian terasa sakit dan sesak."Baiklah, jika ini yang Abang mau. Aku melepaskan Abang dengan ikhlas. Jika nahkoda sudah lepas tangan, tak mungkin kukayuh biduk ini sendirian. aku akan memberikan surat-surat itu. Aku juga tak akan menghambat proses perceraian itu. Uruslah secepatnya! Mungkin suatu saat nanti, aku akan datang pada Abang untuk berterima kasih karena telah menceraikan aku sekarang."Aku segera masuk ke kamar,mengambil surat yang diminta oleh Bang Ridwan. Lalu kemb
Aku segera mengemas barang-barang keperluan Tama, lalu menggendong Tama dengan kain panjang dan langsung beranjak menuju rumah Bu Bidan Ida. Letaknya tak terlalu jauh dari rumah ini. Jadi aku dan Emak jalan kaki saja."Mudah-mudahan Bu Bidan ada di rumah ya, Mak," ucapku seraya mempercepat langkah agar cepat sampai di rumah Bu Bidan. Emak berjalan di sebelahku, juga dengan langkah lebar-lebar. "Iya, mudah-mudahan saja. Tapi, kalau tidak di rumah, kita harus bawa Tama ke puskesmas. Pokoknya Tama harus diobati. Panasnya masih tinggi," sahut Emak sembari meraba dahi Tama. "Mau kemana, Bu Fatma, Risa?" Bu Dewi menegur kami. Dia berdiri di seberang jalan. "Mau ke rumah Bu Bidan Ida, Bu Dewi," jawab Emak lalu terus melangkah mengikutiku."Owalah, siapa yang sakit, Bu?" tanyanya lagi. Kali ini dia ikut berjalan bersama kami. "Tama, Bu," jawabku singkat."Aduh, kasiannya. Mungkin dia mau jumpa sama ayahnya. Rindu kali, Ris. Sejak lahir kan belum ketemu ayahnya. Kasian, apa ayahnya tidak m
"Tenang, Mak. Saya akan fokus dan hati-hati," sahut Bang Ardi. Sejak dulu, Bang Ardi memang memanggil Emak dengan sebutan itu. Dia menganggap Emak seperti ibunya sendiri.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat jauh sekali. Padahal Bamg Ardi sudah memacu mobilnya dengan sangat kencang sekali. Apa ini hanya perasaanku saja, karena panik dengan keadaan Tama?Aku meraba dahi dan tubuh Tama berulang kali. Tatapanku tak lekat dari wajahnya. Aku sangat khawatir sesuatu terjadi pada anakku. Aku tak akan memaafkan diriku kalau sampai Tama kenapa-kenapa."Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit. Tama akan segera diobati," bisikku di telinga Tam."Tama rewel, Ris?" tanya Bang Ardi khawatir, seraya tetap fokus menyetir mobil."Nggak Bang, Tama diam saja. Tapi sepertinya Tama lemas," ujarku sedih. "Tenang ya, sebentar lagi kita sampai, kok," kata Bang Arfi menenangkan aku.Hampir satu jam kami di perjalanan. Akhirnya mobil Bang Ardi yang membawa kami memasuki kawasan rumah sakit.