Sebenarnya dulu pun, Bang Ardi tidak jelek, hanya saja aku memamg tak punya rasa kepadanya, karena sudah ada Bang Ridwan di sana. Jadi menurutku, Bang Arfi kalah tampan dari Bang Ridwan. "Iya, gak nyangka. Udah lama gak ketemu. Lagi mengunjungi Emak dan Bapak? Apa kabar mereka?" tanya Bang Ardi sembari tersenyum. "Alhamdulillah, Emak dan Bapak sehat, Bang," sahutku cepat."Oh, Alhamdulillah. Syukurlah. Titip salam untuk mereka ya. Sudah lama Abang tak berkunjung ke sana, Abang jadi tak enak. Dulu Abang sering ngobrol dengan Bapak. Tapi, sejak Abang pindah kerja, jadi tidak punya waktu untuk main ke rumah Emak," ujarnya lagi dengan senyum tak lekat dari bibir tipisnya. Janggut tipis di dagunya menegaskan kelaki-lakiannya. "Iya, Bang, nanti Risa sampaikan. Oh, ya, Bang. Risa mau minta tolong. Risa mau ambil biskuit, tapi gak sampai, ada di paling atas, di sana," ujarku sembari menunjuk keberadaan biskuit yang kumaksud. "Iya...iya, bisa. Ayo!" Bang Ardi berjalan menuju rak yang kutun
"Kamu tidak dengar? Jangan berlaku tidak sopan di rumah orang," ucap Bang Ardi. Entah sejak kapan dia berada di situ. Apa dia mendengar perseteruan kami tadi? "Bang Ardi? Kenapa ada di sini?" seru Gita saat menoleh ke belakang. Bang Ardi melepaskan tangan Gita."Aku yang seharusnya tanya, ada perlu apa kau sampai ke sini? Ternyata kau belum berubah ya! Masih saja suka mencari keributan" ujar Bang Ardi pada Gita."Kamu kenal dengannya, Git?" tanya Bang Ridwan heran. Aku juga heran, kok bisa Bang Ardi kenal dengan Gita, sampai bisa berkata begitu, berarti kenal betul. "Iy—iya, Bang, dulu," jawab Gita singkat. "Sudahlah, Bang, suruh dia tanda tangani surat itu segera," ujarnya seperti mengalihkan pembicaraan. Ada apa dengan Gita, kenapa dia seperti gugup begitu. Apa ada masalah yang serius antara dia dengan Bang Ardi? Masalah apa?Aku jadi penasaran, bagaimana Bang Ardi bisa kenal dengan Gita. Mungkin lain kali aku akan menanyakan tentang hal itu pada Bang Ardi, siapa tau aku mendapat
Aku menatap Emak lekat-lekat. Lalu beralih menatap tajam ke manik mata Bang Ridwan. Tak kutemukan sorot kasih sayang di mata itu lagi. Dia balas menatapku dengan tatapan datar dan terkesan tidak suka.Kualihkan tatapanku kepada Gita, wanita itu menatap sinis padaku. Sebenarnya aku ingin sekali menumpahkan air mata, tapi, aku tak mau terlihat lemah di mata kedua orang tak punya perasaan ini. Acapkali kuhela napas dalam-dalam, agar sesak yang sedari tadi menghimpit didada dapat hilang. Namun sia-sia saja. Dadaku kian terasa sakit dan sesak."Baiklah, jika ini yang Abang mau. Aku melepaskan Abang dengan ikhlas. Jika nahkoda sudah lepas tangan, tak mungkin kukayuh biduk ini sendirian. aku akan memberikan surat-surat itu. Aku juga tak akan menghambat proses perceraian itu. Uruslah secepatnya! Mungkin suatu saat nanti, aku akan datang pada Abang untuk berterima kasih karena telah menceraikan aku sekarang."Aku segera masuk ke kamar,mengambil surat yang diminta oleh Bang Ridwan. Lalu kemb
Aku segera mengemas barang-barang keperluan Tama, lalu menggendong Tama dengan kain panjang dan langsung beranjak menuju rumah Bu Bidan Ida. Letaknya tak terlalu jauh dari rumah ini. Jadi aku dan Emak jalan kaki saja."Mudah-mudahan Bu Bidan ada di rumah ya, Mak," ucapku seraya mempercepat langkah agar cepat sampai di rumah Bu Bidan. Emak berjalan di sebelahku, juga dengan langkah lebar-lebar. "Iya, mudah-mudahan saja. Tapi, kalau tidak di rumah, kita harus bawa Tama ke puskesmas. Pokoknya Tama harus diobati. Panasnya masih tinggi," sahut Emak sembari meraba dahi Tama. "Mau kemana, Bu Fatma, Risa?" Bu Dewi menegur kami. Dia berdiri di seberang jalan. "Mau ke rumah Bu Bidan Ida, Bu Dewi," jawab Emak lalu terus melangkah mengikutiku."Owalah, siapa yang sakit, Bu?" tanyanya lagi. Kali ini dia ikut berjalan bersama kami. "Tama, Bu," jawabku singkat."Aduh, kasiannya. Mungkin dia mau jumpa sama ayahnya. Rindu kali, Ris. Sejak lahir kan belum ketemu ayahnya. Kasian, apa ayahnya tidak m
"Tenang, Mak. Saya akan fokus dan hati-hati," sahut Bang Ardi. Sejak dulu, Bang Ardi memang memanggil Emak dengan sebutan itu. Dia menganggap Emak seperti ibunya sendiri.Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat jauh sekali. Padahal Bamg Ardi sudah memacu mobilnya dengan sangat kencang sekali. Apa ini hanya perasaanku saja, karena panik dengan keadaan Tama?Aku meraba dahi dan tubuh Tama berulang kali. Tatapanku tak lekat dari wajahnya. Aku sangat khawatir sesuatu terjadi pada anakku. Aku tak akan memaafkan diriku kalau sampai Tama kenapa-kenapa."Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit. Tama akan segera diobati," bisikku di telinga Tam."Tama rewel, Ris?" tanya Bang Ardi khawatir, seraya tetap fokus menyetir mobil."Nggak Bang, Tama diam saja. Tapi sepertinya Tama lemas," ujarku sedih. "Tenang ya, sebentar lagi kita sampai, kok," kata Bang Arfi menenangkan aku.Hampir satu jam kami di perjalanan. Akhirnya mobil Bang Ardi yang membawa kami memasuki kawasan rumah sakit.
Tiga hari sudah Tama dirawat di rumah sakit ini. Kata dokter, hari ini Tama diizinkan untuk pulang ke rumah, karena keadaannya sudah pulih benar. Tama hanya menderita demam biasa. Namun, karena tak mau minum susu jadi suhu badannya naik sangat cepat. Syukurlah malam itu Tama lekas dibawa ke sini, jadi tidak sempat dehidrasi. Mungkin aku akan pulang ke rumah dengan menumpang taxi online. Karena hanya tinggal aku dan Tama di sini. Emak tadi pagi-pagi sekali pulang, karena Bapak kurang enak badan. Tidak ada yang mengurus di rumah. Aku sedang mengemasi baju-baju dan barang-barang bawaan Tama. Sedangkan Tama masih tertidur di atas brankar. Aku lega sekali, Tama kembali sehat dan sudah dapat tertawa seperti sedia kala.Tok! Tok! Tok! Pintu ruang rawat Tama diketuk seseorang, sembari mengucapkan salam."Assalammualaikum," ucap seseorang di depan pintu ruang rawat Tama. Suara lelaki. Siapa, ya? Pikirku."Waalaikumsalam," sahutku, lalu pintu itu terbuka. Bang Ardi muncul dari balik pintu.
"Kita sudah sampai, Ris. Ayo turun," ajak Bang Ardi, membuatku kaget. "Risa di dalam mobil aja ya, Bang. Nasinya dibungkus saja. Nanti Risa makan di mobil saja. Tak enak kalau dilihat teman-teman Abang. Abang bolos kerja karena Risa. Bagaimana pula kalau yang lihat pacar Abang? Kan jadi berabe urusannya," ujarku ragu-ragu. Bang Ardi malah tertawa lebar."Risa, Risa! Ada-ada aja kamu ini. Jam segini teman-teman Abang sudah masuk kantor. Mana ada lagi yang berani berkeliaran kalau tak ada izin dari atasan. Pacar? Pacar yang mana? Gak ada yang mau sama Abang. Udahlah, jangan berhalusinasi seperti itu. Ayo turun! Kalau kamu gak mau turun, Abang juga gak akan turun." Bang Ardi menyandarkan kembali tubuhnya ke sandaran kursi mobil, sambil meringis memegangi perutnya. Tingkahnya lucu juga, membuat aku senyum-senyum sendiri. "Iya, iya, Risa turun," ucapku sembari mengerling dengan kesal padanya. Dia malah tersenyum simpul.Aku dan Bang Ardi turun dari mobil. Masih ada rasa ragu untuk masu
"Selamat menyandang status baru ya, Ris. Hari ini kamu resmi jadi janda," ucap Gita sembari tersenyum semringah. Nampaknya dia sengaja mendekatiku hanya untuk mengejek.Aku sedang duduk di salah satu bangku di depan ruang pengadilan agama. Sebenarnya aku masih ingin menenangkan hatiku di sini. Baru beberapa waktu lalu, putusan sidang perceraian dengan Bang Ridwan dibacakan. Resmi sudah aku dan suamiku berpisah. Benar kata Gita, hari ini aku menyandang status baru. Yah, single parents untuk Tama. Orang awam m nyebutnya janda. Status yang sangat ditakuti oleh wanita yang disebut istri. Orang-orang juga selalu menilai buruk terhadap seorang janda. Katanya, janda itu akan selalu menjadi pelakor. Tentunya tak semua wanita yang berstatus janda seperti itu. Namun, penilaian orang terlanjur jelek terhadap seorang janda."Lalu kenapa kalau aku janda? Kau pikir karena janda, hidupku akan hancur? Kau salah, Git. Aku akan baik-baik saja walau tanpa Bang Ridwan," sahutku sembari tersenyum sunggi