Huek huekQiara mengurut keningnya yang terasa pening. Ia sama sekali tidak menyangka, aroma masakan membuatnya mual tidak berdaya seperti ini. Seluruh isi dalam perutnya seakan keluar semuanya.“Bu, apa Anda baik-baik saja?” tanya Vera yang baru saja menidurkan Alista.Qiara menggelengkan kepala. “Aku mual banget, Ve. Mana kepala pening.”Vera mengernyit. “Apa Buu Qiara masih belum haid juga?”Qiara mengangguk. Ia duduk di sofa usai keluar dari kamar mandi. “Apa aku positff ya, Ve. Tapi, dulu aku sering banget telat, Ve.”“Beda, Bu. Dulu dan sekarang berbeda. Dulu Anda tidak pernah ….” Vera tidak melanjutkan kalimatnya. Ini terlalu tabu. Lagian, Qiara polos sekali. Ya kali orang yang rajin bercocok tanam tanpa pengaman tidak hamil. Untung saja Qiara istri bos, kalau teman akrabnya, mungkin Vera sudah mengatakan unek-uneknya ini.“Kalau aku hamil, apa Oma Hesty bakalan seneng, Ve? Apa sebaliknya?”“Selama beberapa hari ini, saya sering memperhatikan Oma Hesty, Bu. Bahkan Beliau seri
“Ke mana perginya Richard?” Oma Hesty baru saja datang. Ia melihat cucunya tampak gusar dan berjalan cepat keluar dari unit. Bahkan ia sempat menyapa cucunya, dan Richard tampak abai, bak orang sedang marah.Qiara mencoba untuk tersenyum. Ia menggeleng dengan pelan. “Qiara tidak tahu, Oma. Mas Richard tidak mengatakan apapun.”“Dan kamu kenapa pucat sekali. Sudah pergi ke dokter? Sejak kemarin Oma perhatiin, kamu seperti tidak sehat.”Jujur, Qiara senang karena perhatian Oma Hesty. Hanya saja, kali ini moodnya sedang tidak baik karena kesalah pahaman yang terjadi.“Tidak, Oma. Qiara baik-baik saja,” dusta Qiara. Yang sebenarnya, ia takut akan jarum suntik. Dulu ia berteriak, saat demam, karena mantra yang dipanggil ayahnya membawa jarum suntik yang besar.“Oh, sudah makan? Oma lapar.”“Oma makan saja dulu, ya. Qiara kaya enggak enak banget perutnya, Oma.”Oma Hety kembali mengerutkan dahi. “Kamu aneh juga. Apa jangan-jangan kamu—““Oma, ada telpon dari Bu Melda.” Vera dari luar unit, l
“Apa yang terjadi dengan cucu mantu saya, Dokter Ridwan?”“Kalau dari ciri-ciri, dan rabaan tangan saya di perutnya, sepertinya menantu Anda ini sedang hamil muda, Nyonya. Test kehamilan yang bisa menjawabnya.”Dokter Ridwan mengeluarkan alat tes kehamilan dari tasnya, memberikannya pada Oma Hesty.“Benarkah? Saya akan mendapatkan cicit lagi?” Mata Oma Hesty berkaca-kaca, ia menoleh pada Vera yang sedang menenangkan Alista yang baru saja terbangun dan menangis. Vera juga terlihat senang akan kabar itu.“Sayang, kamu akan punya adik,” bisik vera pada Alista.“Kondisinya sangat lemah, Bu. Sepertinya Bu Qiara harus istirahat total. Saya yakin, Bu Qiara ini memang hamil, Bu. Ini sudah lumrah pada ibu hamil muda kebanyakan.”Richard yang baru saja mendengar penjelasan dari Dokter Ridwan, membeku di tempat. Mendegar istrinya pingsan, Richard buru-buru pulang, namun saat membuka pintu dan mendengar itu, tubuhnya seakan lemas.“Chard, Alista akan punya adik.” Oma Hesty mendekat, namun Richard
Tangan Qiara membawa tangan Richard yang bergetar ke perutnya. Qiara tersnyum senang, ahirnya ia tahu, jika dugaannya salah, bukan karena Richard tak mau anak darinya, akan tetapii masih dalam trauma. Ia akan mencoba menyembuhkan rasa takut suaminya itu.“Mas, ada kehidupan di sini.”Air mata Richard mengalir dengan deras.Kilas balik tentang amasa lalu kembali teringat. Saat di mana ia menyambut kehamilan Yasmin dengan suka cita, nyatanya istrinya itu menyerah.Richard memejamkan mata, berharap hal itu tak akan terulang kembali. Ia hanya ingin hidup bersama dengan Qiara selamanya. Bahkan, satu Alista saja sudah cukup. Sesederhana itu. Ia tidak mau kehilangan lagi. Bahkan yasmin memilih untuk meninggalkannya sendiri. Tidak, Richard takut hal itu akan terjadi kembali.“Mas.” Qiara mengguncang lengan Richard yang terbengong tanpa gairah itu.Richard juga tidak mau menyakiti Qiara dengan bersikap seolah tak menginginkan darah dagingnya. Bahkan ia tahu, kondisi istrinya yang lemah saat ini
“Sial!” Hana melempar bukunya ke sembarang arah. Usahanya tak berhasil. Ia justru mendapat cacian dan maikan dari Rivhard. Ia lupa, jika Richard akan secerdas itu.“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Denis pada akhirnya.“Kamu mikir dong, masa enggak punya ide apapun?” Hana bersedekap dada, tentu sambil mengerucutkan bibirnya. Hal ini membuat Denis memperhatokan keunikan gadis ini.“Saya heran, kenapa kamu masih mengejar Richard? Bukankah banyak pria single lain?”“Kamu sendiri, kenapa masih mengejar Qiara?” Kini Hana yang berbalik menyerang Denis dengan pertanyaan.“Ya, karena saya memang dulunya tidak pernah ada kata putus, merasa hubungan kami belum selesai, ditambah saya masih mencintai dia. Saya ini cinta oertamanya, jadi, saya pikir, dia sulit ngelupainnya.”“Percaya diri sekali,” cibir Hana. “Aku yakin sekali, Qiara sudah terpengaruh oleh pesona seorang Richard. Dia tak hanya tampan, tapi juga mapan. Excusme, bahkan kamu bukan tandingannya.”Denis mendengkus. Dalam hati t
HuekSejak tadi Qiara enggan memakan apapun. Aroma makanan justru membuatnya sengsara. Entah apa yang ingin ia makan. Nampaknya semua salah.“Qiara, Oma coba bawain ini.” Oma Hesty dengan semringah masuk ke kamar. Ia membawa semangkuk asinan yang ia beli di salah satu kedai terbaik di kota ini.“Asinan? Oma dapat dari mana?” Wajah Qiara berubah menjadi semringah.Benar dugaan Oma Hesty, jika cucu mantunya itu memang memerlukan makanan yang lain. Ia teringat dengan masa-masa saat ia hamil mendiang putranya, ayah Richard yang meninggal belasan tahun lalu karena kecelakaan pesawat yang menewaskan menantunya juga.“Oma, apa makanan itu aman untuk lambung?” tanya Richard yang ngeri sendiri.“Tenang, aman. “Qiara meraih nampan, langsung memakannya tanpa rgu. Justru wanita itu terlihat senang bukan main memakan makanan yang dibelikan oleh Oma Hesty itu.“Bagaimana rasanya Qiara?” tanya Oma Hesty penasaran.“Enak sekali, Oma.”“Pelan-pelan, Qiara.” Oma Hesty cukup senang. Melihat Qiara, ia j
Sejak tadi Qiaara tidak mau ditinggal-tinggal oleh Richard. Gadis itu asyik bergelendot manja pada suaminya di atas ranjang.Dan akhir-akhir ini, Alista nuga enggan digendongnya.“Mas, kata orang, kalau anak gak mau digendong mamanya yang hamil, katanya cibucitin sama yang ada di alam perut.” Kara mengerucut, saat membaca mitos di si salah satu pemberitaan internet. Meski itu tidak balid, tetap saja Qiara merasa aneh.“Kamu percaya aja sama mitos. Gimana cara nyubitnya? Ada-ada saja.” Richard terkekeh, ia juga mencubit gemas pipi istrinya itu.“Tapi beneran, aku kangen banget sama Alista yang selalu nempel ke aku, Mas.”Dengan lembut, pria yang ada di sebelah Qiara itu mengusap rambut istrinya dengan lembut. Richard benar-benar tahu, jika Qiara tak pernah menganggap putrinya sebagai putri sambung, yang mana ia selalu mengganggapnya sperti putri kandung.“Maklumin aja, ya, Sayang. Bisa jadi, ia memang kaya ada ikatan batin ke diknya yang ada di perut. Kasihan banget buat kamu kelelahan
Qiara mencengkeram bahu Richard. Kali ini, suaminya sama sekali tidak ingkar janji. Richard menggempurnya dengan perlahan dan penuh perasaan. Tak ingin menyakiti buah hati mereka sedikitpun. Dengan geakan mendayung perlahan, menikmati setiap sentakannya.Keringat Richard menetes, AC seolah tak berfungsi sama sekali. Sungguh, kegiatan seperti ini menguras tenaga, meski gerakannya tak seperti biasanya.“Mas, aku mau sampai,” lenguh Qiara dengan suara seksinya.Ini benar-benar membangkitkan gairah seorang Richard Alvaro. Ia ingin memompa dengan keras, lagi-lagi ia teringat, jika istri kesayangannya itu telah mengandung.“Mas Richard.”Richard memejamkan mata. Jujur, ia sangat senang saat Qiara terus menyerukan namanya itu. Ia ingin lebih keras lagi, dan akalnya selalu yang membatasi.Richard menggebu-gebu, ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri, menyesap leher putih itu kuat-kuat. Tak peduli tanda merah terlihat menghiasi leher putih Qiara. Richard hanya ingin mengejar kese
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.