Suasana pagi ini sangat berbeda bagi Qiara. Ia merasa lebih senang dari biasanya. Bagiamana tidak, di usia Alista yang enam bulan, ia bisa merangkak.Qiara terus mengabadikan moment itu dengan merekam videonya.“Kamu lihat, Alista begitu pintar, Mas!” Sebagai mama muda, Qiara senang bukan main.Richard senang melihat ekspresi Qiara yang girang bukan main. Ia yang gemas, tangannya terulur untuk mencubit pipi istrinya yang semkin berisi.Di sana tampak Vera dan Via juga senang. Richard sangat senang melihatnya.“Sayang, besok kita akan pindah,” kata Richard tiba-tiba. “Tadi, aku sudah nyuruh Via buat kemasin barang-barang kita.”“Loh, besok, Mas? Kupikir masih lama.”Richard menggelengkan kepala. Ia sadar sekali, tempat ini penuh akan kenangannya bersama Yasmin. Dan sekarang, ia akan mengukir kisah bersama Qiara. Mencoba untuk tidak terus mengingat masa lalu, yang mana itu barangkali akan melukai hati istrina itu.“Sayang. Alista. Kita mandi yuk!”Dan tumben sekali, Alista mau diajak ma
“Bagus. Ini sudah cukup. Silakan pergi.” Denis menurunkan kakinya yang menyilang. Ia menyeripit kopi hitamnya perlahan, lantas meletakkan cangkir keramik itu lagi pada tatakkannya.“Minggir, saya ada perlu dengan Denis.” Hana tampak mengusir dua pria yang duduk di depan Denis.Denis memberikan arahan dengan anggukan kepada dua anak buahnya. Dua pria bertubuh kekar itu langsung pergi.“Kenapa mukamu kesal?” tanya Denis yang mencoba memperhatikan kemasaman wajah Hana.Hana tampak tersungut-sungut. Ia meraih cangkir kopi milik Denis dan menenggak cairan hitam yang sudah tak terasa begitu panas itu. Membuat sang empunya membelalakan mata.“Aku kesal!” sungut Hana lantas meletakkan cangkir keramik yang hanya menyisakan ampas kopinya saja.“Kesal kenapa?”“Cewek sialan itu.” Hana melirik Denis yang tampak mengerutkan dahi. Ia tahu, jika Denis tak suka, Qiara disebut dengan sebutan sialan. Ia berusaha meralatnya, “ maksudku, Qiara. Dia …”“Dia kenapa?” tanya Denis begitu penasaran. Menginga
Richard sibuk dengan tumpukan kertas di mejanya. Deru mesin printer dan derap langkah kaki karyawan lain menjadi irama latar belakang kesibukannya. Hari ini terasa berat, deadline proyek mendekat, dan kepala Richard mulai berdenyut.Tiba-tiba, pintu kantornya terbuka dengan sedikit gebrakan. Richard mendongak, matanya membulat terkejut. Di ambang pintu berdiri Qiara, istrinya, dengan perut buncit yang semakin jelas. Senyum lebar terukir di wajahnya, namun sorot matanya sedikit khawatir."Sayang, apa kabar?" sapa Qiara dengan suara yang sedikit terengah-engah.Richard bangkit dari kursinya, hatinya langsung berdesir. Rasa senang bercampur khawatir menyelinap dalam dadanya."Qiara! Kau kenapa di sini? Kenapa tidak bilang dulu?" tanya Richard, raut wajahnya bercampur antara kebahagiaan dan kekhawatiran.Qiara berjalan mendekat, tangannya memegangi perutnya. "Aku kangen kamu, sayang. Dan aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Qiara, matanya menatap Richard penuh kasih sayang."K
Richard berlari tergesa-gesa menuju gudang. Asap tebal mengepul dari celah pintu, bau gosong menyengat hidungnya. Ia terengah-engah, berusaha menahan kepanikan."Semua karyawan sudah dievakuasi?" tanyanya kepada seorang karyawan yang berdiri di dekat pintu, wajahnya pucat pasi."Sudah, Pak. Tidak ada korban," jawab karyawan itu, suaranya gemetar.Richard menghela napas lega. Syukurlah, tidak ada korban jiwa. Ia melirik ke arah pemadam kebakaran yang sudah mulai berjibaku memadamkan api. Asap mulai berkurang, dan Richard bisa melihat situasi di dalam gudang."Wah, parah sekali," gumamnya, melihat tumpukan kardus yang terbakar dan peralatan yang hangus.Richard menghampiri kepala gudang, Pak Anton, yang berdiri di dekat tumpukan kardus yang terbakar."Pak Anton, apa yang terjadi?" tanya Richard, suaranya sedikit meninggi karena rasa khawatir.Pak Anton mengusap keringat di dahinya, wajahnya terlihat lelah. "Saya juga belum tahu pasti, Pak. Tiba-tiba saja ada api di tumpukan kardus ini.
Richard berjalan gontai di jalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia sudah menghubungi semua teman Qiara, namun tidak ada yang tahu keberadaan istrinya. Ia merasa putus asa.Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya tersentak. Qiara! Istrinya sedang keluar dari sebuah kedai es krim, membawa cone es krim di tangannya. Ia sedang menjilati es krim itu dengan lahap, wajahnya tampak senang.Richard langsung berlari menghampiri Qiara, hatinya dipenuhi rasa lega. Ia memeluk erat tubuh Qiara, tanpa peduli dengan orang-orang yang lewat."Qiara! Aku khawatir sekali!" ujar Richard, suaranya bergetar karena lega.Qiara sedikit terkejut dengan pelukan Richard yang tiba-tiba. Ia mengerutkan kening, bingung dengan reaksi Richard yang menurutnya berlebihan."Sayang, kenapa kamu panik begitu? Aku hanya membeli es krim," ujar Qiara, sambil menunjuk cone es krim di tangannya."Tapi, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ponselmu tidak aktif, dan kamu tidak ada di kafe," jawab Richa
"Selamat datang kembali, Pak Richard dan Bu Qiara!" sapa Vera dengan senyuman hangat, matanya berbinar lega. "Saya benar-benar khawatir saat Tuan Richard menghubungi saya tadi. Untungnya, kalian baik-baik saja."Vera menunjuk ke arah meja ruang tamu, "Saya sudah menyiapkan teh hangat dan kue kesukaan Bu Qiara. Silakan duduk dan ceritakan apa yang terjadi.""Terima kasih, Vera," jawab Qiara sambil melepas sepatunya. "Ponselku habis baterai, jadi aku tak bisa menghubungi Mas Richard. Untungnya, dia segera mencariku."Richard mengangguk setuju, "Ya, aku langsung khawatir saat tak menemukanmu di kantor. Untungnya, kamu baik-baik saja."Vera tersenyum, "Syukurlah. Saya senang Bu Qiara baik-baik saja. Sekarang, silakan nikmati teh hangat dan kue ini. Saya akan menyiapkan makan malam.""Terima kasih, Vera," kata Qiara dan Richard bersamaan, merasa tenang dan bersyukur atas perhatian gadis itu.Saat keduanya menikmati teh dan kue, Qiara teringat dengan putri mereka yang sejak tadi tak
"Aku harus bicara dengan Hana!" geram Richard, rahangnya mengeras. Rasa sakit dan amarah membara di dadanya. Ia tak peduli dengan segala konsekuensinya. Ia harus membuat Hana mengerti bahwa ia tak akan pernah mencintainya, dan tak akan pernah meninggalkan Qiara.Richard tahu persis ke mana ia harus mencari Hana. Tempat karaoke milik Hana. Tempat itu adalah sarang bagi Hana untuk meluapkan emosinya, tempat ia berpesta dan mencari penghiburan.Saat tiba di tempat karaoke itu, Richard langsung masuk. Ia menemukan Hana sedang duduk di sofa, berpesta dengan beberapa temannya. Tawa dan musik keras memenuhi ruangan.Richard melangkah dengan cepat menuju Hana, tanpa peduli dengan tatapan heran dari para pengunjung. Ia menarik tangan Hana dengan kasar, membuat Hana terkejut dan terhuyung ke belakang."Hana!" bentak Richard, suaranya bergetar karena amarah. Ia membanting kartu undangan itu di hadapan Hana. "Apa maksudmu mengirim kartu undangan ini pada istri
Qiara duduk termenung di kamar, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya hancur karena tak pernah membayangkan akan disakiti seperti ini oleh Richard. Di tengah-tengah tangisnya yang putus asa, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dengan gemetar, Qiara membuka pesan yang masuk.Di layar ponselnya, terpampang sebuah foto yang mengguncang hati Qiara. Foto itu menunjukkan suaminya, Richard, bersama Hana dalam posisi yang ambigu. Keduanya terlihat sedang dalam pelukan mesra, mencium dengan penuh kedekatan.Hati Qiara hancur berkeping-keping. Air mata yang tak terbendung lagi mengalir deras. Segala rasa percaya dan cinta yang selama ini ia miliki terasa hancur seketika. Qiara merasakan pukulan paling dalam dari pengkhianatan yang ia tidak pernah sangka akan terjadi.Tiba-tiba, perut Qiara terasa mulas dan menegang. Ia merasakan kontraksi yang kuat, membuatnya menjerit kesakitan. "Akh! Akh!" teriaknya, tangannya mencengkeram perutnya dengan erat.Usia kandungan Qiara baru enam bulan
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki
Oma Hesty, mertua Qiara, duduk terpaku di kursi ruang tunggu rumah sakit. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipinya yang keriput. Ia terus mengulang nama Qiara, berharap putrinya itu muncul di depannya."Qiara, sayang... di mana kamu? Oma khawatir..." lirihnya, suaranya bergetar.Via, ART yang setia menemani Qiara, mendekati Oma Hesty dengan hati yang terasa remuk. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Qiara, tak bisa mencegah kejadian ini."Nyonyaa, tenang ya. Pak Richard sudah lapor polisi. Mereka pasti akan menemukan Bu Qiara."Via berusaha menenangkan Oma Hesty, namun ucapannya terasa hampa."Via, kamu ini kenapa sih? Kok kamu biarin Qiara pergi ke toilet sendirian? Kan saya sudah bilang, kamu harus ngawasin dia! Sekarang dia hilang, gimana kalau terjadi apa-apa? Mentang-mentang dia mau oergi sendiri!" Oma Hesty menimpali dengan nada tinggi, matanya tertuju tajam ke arah Via."Maaf, Nyonya. Saya... saya... " Via terbata-bata, tak mampu menjawab. Ia
Hawa panas Jakarta seakan ikut mencengkram jantung Richard. Keringat dingin membasahi dahinya saat ia mendapati rumah kosong. Tak ada Qiara, istrinya, yang biasanya sudah bersiap menyambutnya pulang."Qiara?" Panggilnya, suaranya bergetar.Hanya keheningan yang menjawab. Ia berlari ke kamar, mencari-cari, namun tak menemukan tanda keberadaan Qiara."Via!" teriaknya, memanggil ART yang biasa membantu Qiara.Beberapa saat kemudian, Via muncul dengan wajah pucat, matanya sembab."Pak Richard, Bu Qiara... Bu Qiara..." Via terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya."Dimana Qiara?" Richard bertanya dengan suara serak."Bu Qiara... Bu Qiara kontraksi, Pak. Dia pamit ke toilet, tapi... tapi dia nggak balik-balik." Via terduduk di lantai, tangisnya pecah.Richard terpaku. Kontraksi? Hilang di toilet? Pikirannya berputar tak karuan."Kita ke rumah sakit, Via!" ucapnya, berusaha mengendalikan kepanikannya.Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Qiara dirawat. Sepanjang perjalanan, Richard
Qiara membuka mata, kepala berdenyut seperti ditumbuk alu. Pandangannya buram, ruangan gelap, hanya sedikit cahaya remang-remang yang menerobos celah jendela. Dia berusaha duduk, namun tubuhnya terasa berat, terikat kuat dengan tali pada sebuah bangku kayu."Di mana aku?" bisiknya, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini?"Panik mulai merayap ke dalam hatinya. Dia ingat terakhir kali berada di toilet rumah sakit, menunggu Richard yang sedang menemui dokter. Lalu... kosong. Ingatannya terputus."Mas Richard! Mas Richard!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan sunyi itu. Richard, suaminya, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Namun, di mana Richard?Air mata mengalir deras di pipinya. "Aku takut," lirihnya, suaranya bergetar. "Aku harus keluar dari sini."Dia mencoba melepaskan ikatan tali, namun usaha itu sia-sia. Tali itu terlalu kuat. Dia terjebak, terkungkung dalam kegelapan, terpisah dari Richard."Mas Richard, tolong aku," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Ras
"Bos, tenang saja. Qiara dalam keadaan baik. Kami menjaga dia dengan sangat baik. Dia tak kekurangan apa pun, bahkan aku sendiri yang menyiapkan makanannya nanti saat dia sadar, kami akan menyuruhnya makan." kata salah satu anak buah Denis, ia berusaha meyakinkan bosnya.Denis menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tak ingin ada yang menyentuhnya. Jangan sampai ada goresan di tubuhnya. Kamu tahu bagaimana aku sangat mencintainya. Aku tak rela dia hamil anak laki-laki lain. Hanya aku yang berhak mendapatkannya.""Tenang, Bos. Kami mengerti. Kami akan memastikan Qiara aman. Kami tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya." anak buah Denis yang lain menimpali."Bagus. Pastikan dia tetap aman. Aku akan segera menemuinya. Aku harus melihatnya. Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Denis masih terlihat gelisah, tetapi tatapannya kini lebih lembut, penuh dengan kerinduan dan rasa sakit."Bos, apa yang akan kamu lakukan setelah itu? " tanya anak buah Denis penasaran.