Richard sibuk dengan tumpukan kertas di mejanya. Deru mesin printer dan derap langkah kaki karyawan lain menjadi irama latar belakang kesibukannya. Hari ini terasa berat, deadline proyek mendekat, dan kepala Richard mulai berdenyut.Tiba-tiba, pintu kantornya terbuka dengan sedikit gebrakan. Richard mendongak, matanya membulat terkejut. Di ambang pintu berdiri Qiara, istrinya, dengan perut buncit yang semakin jelas. Senyum lebar terukir di wajahnya, namun sorot matanya sedikit khawatir."Sayang, apa kabar?" sapa Qiara dengan suara yang sedikit terengah-engah.Richard bangkit dari kursinya, hatinya langsung berdesir. Rasa senang bercampur khawatir menyelinap dalam dadanya."Qiara! Kau kenapa di sini? Kenapa tidak bilang dulu?" tanya Richard, raut wajahnya bercampur antara kebahagiaan dan kekhawatiran.Qiara berjalan mendekat, tangannya memegangi perutnya. "Aku kangen kamu, sayang. Dan aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Qiara, matanya menatap Richard penuh kasih sayang."K
Richard berlari tergesa-gesa menuju gudang. Asap tebal mengepul dari celah pintu, bau gosong menyengat hidungnya. Ia terengah-engah, berusaha menahan kepanikan."Semua karyawan sudah dievakuasi?" tanyanya kepada seorang karyawan yang berdiri di dekat pintu, wajahnya pucat pasi."Sudah, Pak. Tidak ada korban," jawab karyawan itu, suaranya gemetar.Richard menghela napas lega. Syukurlah, tidak ada korban jiwa. Ia melirik ke arah pemadam kebakaran yang sudah mulai berjibaku memadamkan api. Asap mulai berkurang, dan Richard bisa melihat situasi di dalam gudang."Wah, parah sekali," gumamnya, melihat tumpukan kardus yang terbakar dan peralatan yang hangus.Richard menghampiri kepala gudang, Pak Anton, yang berdiri di dekat tumpukan kardus yang terbakar."Pak Anton, apa yang terjadi?" tanya Richard, suaranya sedikit meninggi karena rasa khawatir.Pak Anton mengusap keringat di dahinya, wajahnya terlihat lelah. "Saya juga belum tahu pasti, Pak. Tiba-tiba saja ada api di tumpukan kardus ini.
Richard berjalan gontai di jalanan, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia sudah menghubungi semua teman Qiara, namun tidak ada yang tahu keberadaan istrinya. Ia merasa putus asa.Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya tersentak. Qiara! Istrinya sedang keluar dari sebuah kedai es krim, membawa cone es krim di tangannya. Ia sedang menjilati es krim itu dengan lahap, wajahnya tampak senang.Richard langsung berlari menghampiri Qiara, hatinya dipenuhi rasa lega. Ia memeluk erat tubuh Qiara, tanpa peduli dengan orang-orang yang lewat."Qiara! Aku khawatir sekali!" ujar Richard, suaranya bergetar karena lega.Qiara sedikit terkejut dengan pelukan Richard yang tiba-tiba. Ia mengerutkan kening, bingung dengan reaksi Richard yang menurutnya berlebihan."Sayang, kenapa kamu panik begitu? Aku hanya membeli es krim," ujar Qiara, sambil menunjuk cone es krim di tangannya."Tapi, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ponselmu tidak aktif, dan kamu tidak ada di kafe," jawab Richa
"Selamat datang kembali, Pak Richard dan Bu Qiara!" sapa Vera dengan senyuman hangat, matanya berbinar lega. "Saya benar-benar khawatir saat Tuan Richard menghubungi saya tadi. Untungnya, kalian baik-baik saja."Vera menunjuk ke arah meja ruang tamu, "Saya sudah menyiapkan teh hangat dan kue kesukaan Bu Qiara. Silakan duduk dan ceritakan apa yang terjadi.""Terima kasih, Vera," jawab Qiara sambil melepas sepatunya. "Ponselku habis baterai, jadi aku tak bisa menghubungi Mas Richard. Untungnya, dia segera mencariku."Richard mengangguk setuju, "Ya, aku langsung khawatir saat tak menemukanmu di kantor. Untungnya, kamu baik-baik saja."Vera tersenyum, "Syukurlah. Saya senang Bu Qiara baik-baik saja. Sekarang, silakan nikmati teh hangat dan kue ini. Saya akan menyiapkan makan malam.""Terima kasih, Vera," kata Qiara dan Richard bersamaan, merasa tenang dan bersyukur atas perhatian gadis itu.Saat keduanya menikmati teh dan kue, Qiara teringat dengan putri mereka yang sejak tadi tak
"Aku harus bicara dengan Hana!" geram Richard, rahangnya mengeras. Rasa sakit dan amarah membara di dadanya. Ia tak peduli dengan segala konsekuensinya. Ia harus membuat Hana mengerti bahwa ia tak akan pernah mencintainya, dan tak akan pernah meninggalkan Qiara.Richard tahu persis ke mana ia harus mencari Hana. Tempat karaoke milik Hana. Tempat itu adalah sarang bagi Hana untuk meluapkan emosinya, tempat ia berpesta dan mencari penghiburan.Saat tiba di tempat karaoke itu, Richard langsung masuk. Ia menemukan Hana sedang duduk di sofa, berpesta dengan beberapa temannya. Tawa dan musik keras memenuhi ruangan.Richard melangkah dengan cepat menuju Hana, tanpa peduli dengan tatapan heran dari para pengunjung. Ia menarik tangan Hana dengan kasar, membuat Hana terkejut dan terhuyung ke belakang."Hana!" bentak Richard, suaranya bergetar karena amarah. Ia membanting kartu undangan itu di hadapan Hana. "Apa maksudmu mengirim kartu undangan ini pada istri
Qiara duduk termenung di kamar, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya hancur karena tak pernah membayangkan akan disakiti seperti ini oleh Richard. Di tengah-tengah tangisnya yang putus asa, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dengan gemetar, Qiara membuka pesan yang masuk.Di layar ponselnya, terpampang sebuah foto yang mengguncang hati Qiara. Foto itu menunjukkan suaminya, Richard, bersama Hana dalam posisi yang ambigu. Keduanya terlihat sedang dalam pelukan mesra, mencium dengan penuh kedekatan.Hati Qiara hancur berkeping-keping. Air mata yang tak terbendung lagi mengalir deras. Segala rasa percaya dan cinta yang selama ini ia miliki terasa hancur seketika. Qiara merasakan pukulan paling dalam dari pengkhianatan yang ia tidak pernah sangka akan terjadi.Tiba-tiba, perut Qiara terasa mulas dan menegang. Ia merasakan kontraksi yang kuat, membuatnya menjerit kesakitan. "Akh! Akh!" teriaknya, tangannya mencengkeram perutnya dengan erat.Usia kandungan Qiara baru enam bulan
Ruangan pemeriksaan berdengung dengan suara detak jantung bayi yang belum lahir. Qiara, dengan tangan menggenggam erat perutnya, menatap layar monitor dengan raut wajah cemas. Dokter Anita, dengan senyum lembut, menunjuk ke titik-titik kecil yang berkedip di layar."Kontraksi ringan, Qiara. Tak perlu khawatir, ini masih normal," ujar Dokter Anita. "Hanya saja, kamu harus banyak istirahat dan hindari stres. Jangan terlalu banyak pikiran."Qiara mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Saya memang banyak pikiran, Dok. Pekerjaan, keluarga, semuanya serasa menumpuk."Dokter Anita menepuk lembut tangan Qiara. "Tenanglah, Qiara. Semua akan baik-baik saja. Prioritaskan kesehatanmu dan bayimu. Istirahatlah, makan makanan bergizi, dan jangan lupa untuk selalu berdoa."Di luar ruangan pemeriksaan, Via duduk di bangku dengan raut wajah khawatir. Ia sesekali melirik jam tangannya, berharap Richard segera menjawab teleponnya."Via, gimana keadaan Qiara?" tanya seorang wanita tua, yang ternyata adalah Om
"Nyonya, saya aja yang nganterin NonaQiara, ya? " kata Via dengan nada khawatir. "Saya takut kalau terjadi sesuatu terhadap Nona Qiara."Oma Hesty mengangguk pelan. "Ya sudah, biar sana nunggu di mobil."Qiara menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Nggak usah, Oma. Aku bisa sendiri kok. Aku nggak mau merepotkan kalian." Dia berusaha tersenyum, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.Via menatap Qiara dengan penuh perhatian. “Tapi, Non, tadi kan Nona sempat kontraksi."Qiara menggeleng pelan. "Ya, aku yakin. Cuma kebelet pipis aja kok. Nggak apa-apa, Via." Dia berusaha meyakinkan Via dengan nada lembut.Oma Hesty mengusap kepala Qiara dengan lembut. "Yaudah, kalau kamu yakin. Nggak usah lama-lama ya, Qiara."Qiara mengangguk, lalu berlari kecil menuju toilet, matanya berkaca-kaca. Dia ingin terlihat kuat, tapi rasa sakit dan kesal masih menghantuinya.Qiara melangkah dengan tergesa-gesa menuju toilet, melewati dua orang pria yang tengah berdiri sambil membaca koran. Seiri