“Sial!” Hana melempar bukunya ke sembarang arah. Usahanya tak berhasil. Ia justru mendapat cacian dan maikan dari Rivhard. Ia lupa, jika Richard akan secerdas itu.“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Denis pada akhirnya.“Kamu mikir dong, masa enggak punya ide apapun?” Hana bersedekap dada, tentu sambil mengerucutkan bibirnya. Hal ini membuat Denis memperhatokan keunikan gadis ini.“Saya heran, kenapa kamu masih mengejar Richard? Bukankah banyak pria single lain?”“Kamu sendiri, kenapa masih mengejar Qiara?” Kini Hana yang berbalik menyerang Denis dengan pertanyaan.“Ya, karena saya memang dulunya tidak pernah ada kata putus, merasa hubungan kami belum selesai, ditambah saya masih mencintai dia. Saya ini cinta oertamanya, jadi, saya pikir, dia sulit ngelupainnya.”“Percaya diri sekali,” cibir Hana. “Aku yakin sekali, Qiara sudah terpengaruh oleh pesona seorang Richard. Dia tak hanya tampan, tapi juga mapan. Excusme, bahkan kamu bukan tandingannya.”Denis mendengkus. Dalam hati t
HuekSejak tadi Qiara enggan memakan apapun. Aroma makanan justru membuatnya sengsara. Entah apa yang ingin ia makan. Nampaknya semua salah.“Qiara, Oma coba bawain ini.” Oma Hesty dengan semringah masuk ke kamar. Ia membawa semangkuk asinan yang ia beli di salah satu kedai terbaik di kota ini.“Asinan? Oma dapat dari mana?” Wajah Qiara berubah menjadi semringah.Benar dugaan Oma Hesty, jika cucu mantunya itu memang memerlukan makanan yang lain. Ia teringat dengan masa-masa saat ia hamil mendiang putranya, ayah Richard yang meninggal belasan tahun lalu karena kecelakaan pesawat yang menewaskan menantunya juga.“Oma, apa makanan itu aman untuk lambung?” tanya Richard yang ngeri sendiri.“Tenang, aman. “Qiara meraih nampan, langsung memakannya tanpa rgu. Justru wanita itu terlihat senang bukan main memakan makanan yang dibelikan oleh Oma Hesty itu.“Bagaimana rasanya Qiara?” tanya Oma Hesty penasaran.“Enak sekali, Oma.”“Pelan-pelan, Qiara.” Oma Hesty cukup senang. Melihat Qiara, ia j
Sejak tadi Qiaara tidak mau ditinggal-tinggal oleh Richard. Gadis itu asyik bergelendot manja pada suaminya di atas ranjang.Dan akhir-akhir ini, Alista nuga enggan digendongnya.“Mas, kata orang, kalau anak gak mau digendong mamanya yang hamil, katanya cibucitin sama yang ada di alam perut.” Kara mengerucut, saat membaca mitos di si salah satu pemberitaan internet. Meski itu tidak balid, tetap saja Qiara merasa aneh.“Kamu percaya aja sama mitos. Gimana cara nyubitnya? Ada-ada saja.” Richard terkekeh, ia juga mencubit gemas pipi istrinya itu.“Tapi beneran, aku kangen banget sama Alista yang selalu nempel ke aku, Mas.”Dengan lembut, pria yang ada di sebelah Qiara itu mengusap rambut istrinya dengan lembut. Richard benar-benar tahu, jika Qiara tak pernah menganggap putrinya sebagai putri sambung, yang mana ia selalu mengganggapnya sperti putri kandung.“Maklumin aja, ya, Sayang. Bisa jadi, ia memang kaya ada ikatan batin ke diknya yang ada di perut. Kasihan banget buat kamu kelelahan
Qiara mencengkeram bahu Richard. Kali ini, suaminya sama sekali tidak ingkar janji. Richard menggempurnya dengan perlahan dan penuh perasaan. Tak ingin menyakiti buah hati mereka sedikitpun. Dengan geakan mendayung perlahan, menikmati setiap sentakannya.Keringat Richard menetes, AC seolah tak berfungsi sama sekali. Sungguh, kegiatan seperti ini menguras tenaga, meski gerakannya tak seperti biasanya.“Mas, aku mau sampai,” lenguh Qiara dengan suara seksinya.Ini benar-benar membangkitkan gairah seorang Richard Alvaro. Ia ingin memompa dengan keras, lagi-lagi ia teringat, jika istri kesayangannya itu telah mengandung.“Mas Richard.”Richard memejamkan mata. Jujur, ia sangat senang saat Qiara terus menyerukan namanya itu. Ia ingin lebih keras lagi, dan akalnya selalu yang membatasi.Richard menggebu-gebu, ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri, menyesap leher putih itu kuat-kuat. Tak peduli tanda merah terlihat menghiasi leher putih Qiara. Richard hanya ingin mengejar kese
Suasana pagi ini sangat berbeda bagi Qiara. Ia merasa lebih senang dari biasanya. Bagiamana tidak, di usia Alista yang enam bulan, ia bisa merangkak.Qiara terus mengabadikan moment itu dengan merekam videonya.“Kamu lihat, Alista begitu pintar, Mas!” Sebagai mama muda, Qiara senang bukan main.Richard senang melihat ekspresi Qiara yang girang bukan main. Ia yang gemas, tangannya terulur untuk mencubit pipi istrinya yang semkin berisi.Di sana tampak Vera dan Via juga senang. Richard sangat senang melihatnya.“Sayang, besok kita akan pindah,” kata Richard tiba-tiba. “Tadi, aku sudah nyuruh Via buat kemasin barang-barang kita.”“Loh, besok, Mas? Kupikir masih lama.”Richard menggelengkan kepala. Ia sadar sekali, tempat ini penuh akan kenangannya bersama Yasmin. Dan sekarang, ia akan mengukir kisah bersama Qiara. Mencoba untuk tidak terus mengingat masa lalu, yang mana itu barangkali akan melukai hati istrina itu.“Sayang. Alista. Kita mandi yuk!”Dan tumben sekali, Alista mau diajak ma
“Bagus. Ini sudah cukup. Silakan pergi.” Denis menurunkan kakinya yang menyilang. Ia menyeripit kopi hitamnya perlahan, lantas meletakkan cangkir keramik itu lagi pada tatakkannya.“Minggir, saya ada perlu dengan Denis.” Hana tampak mengusir dua pria yang duduk di depan Denis.Denis memberikan arahan dengan anggukan kepada dua anak buahnya. Dua pria bertubuh kekar itu langsung pergi.“Kenapa mukamu kesal?” tanya Denis yang mencoba memperhatikan kemasaman wajah Hana.Hana tampak tersungut-sungut. Ia meraih cangkir kopi milik Denis dan menenggak cairan hitam yang sudah tak terasa begitu panas itu. Membuat sang empunya membelalakan mata.“Aku kesal!” sungut Hana lantas meletakkan cangkir keramik yang hanya menyisakan ampas kopinya saja.“Kesal kenapa?”“Cewek sialan itu.” Hana melirik Denis yang tampak mengerutkan dahi. Ia tahu, jika Denis tak suka, Qiara disebut dengan sebutan sialan. Ia berusaha meralatnya, “ maksudku, Qiara. Dia …”“Dia kenapa?” tanya Denis begitu penasaran. Menginga
Richard sibuk dengan tumpukan kertas di mejanya. Deru mesin printer dan derap langkah kaki karyawan lain menjadi irama latar belakang kesibukannya. Hari ini terasa berat, deadline proyek mendekat, dan kepala Richard mulai berdenyut.Tiba-tiba, pintu kantornya terbuka dengan sedikit gebrakan. Richard mendongak, matanya membulat terkejut. Di ambang pintu berdiri Qiara, istrinya, dengan perut buncit yang semakin jelas. Senyum lebar terukir di wajahnya, namun sorot matanya sedikit khawatir."Sayang, apa kabar?" sapa Qiara dengan suara yang sedikit terengah-engah.Richard bangkit dari kursinya, hatinya langsung berdesir. Rasa senang bercampur khawatir menyelinap dalam dadanya."Qiara! Kau kenapa di sini? Kenapa tidak bilang dulu?" tanya Richard, raut wajahnya bercampur antara kebahagiaan dan kekhawatiran.Qiara berjalan mendekat, tangannya memegangi perutnya. "Aku kangen kamu, sayang. Dan aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Qiara, matanya menatap Richard penuh kasih sayang."K
Richard berlari tergesa-gesa menuju gudang. Asap tebal mengepul dari celah pintu, bau gosong menyengat hidungnya. Ia terengah-engah, berusaha menahan kepanikan."Semua karyawan sudah dievakuasi?" tanyanya kepada seorang karyawan yang berdiri di dekat pintu, wajahnya pucat pasi."Sudah, Pak. Tidak ada korban," jawab karyawan itu, suaranya gemetar.Richard menghela napas lega. Syukurlah, tidak ada korban jiwa. Ia melirik ke arah pemadam kebakaran yang sudah mulai berjibaku memadamkan api. Asap mulai berkurang, dan Richard bisa melihat situasi di dalam gudang."Wah, parah sekali," gumamnya, melihat tumpukan kardus yang terbakar dan peralatan yang hangus.Richard menghampiri kepala gudang, Pak Anton, yang berdiri di dekat tumpukan kardus yang terbakar."Pak Anton, apa yang terjadi?" tanya Richard, suaranya sedikit meninggi karena rasa khawatir.Pak Anton mengusap keringat di dahinya, wajahnya terlihat lelah. "Saya juga belum tahu pasti, Pak. Tiba-tiba saja ada api di tumpukan kardus ini.