Home / Pernikahan / (BUKAN) Duda Biasa / 1. Sudah Jatuh Tempo

Share

(BUKAN) Duda Biasa
(BUKAN) Duda Biasa
Author: Rahmani Rima

1. Sudah Jatuh Tempo

Dor-Dor-Dor

“Alma! Bangun! Tidur tuh kayak kebo banget sih! Bangun! Udah jam berapa ini!” mama berteriak kencang depan pintu kamar Alma yang terkunci.

“Pagi bangunnya siang, siang bangunnya sore. Kamu tuh kucing apa manusia sih? Kerjanya tiduuuuur terus. Alma!” mama belum berhenti meneriaki anak tunggalnya itu.

“Ish, maa! Berisik banget sih!” teriak Alma membalas teriakkan mama.

“Buka pintunya atau mama dobrak nih!”

Alma mengucek matanya, ia juga terpaksa bangun karena kalau tidak, mamanya yang galak itu akan mendobrak pintu kamarnya. Dan nanti mungkin kamarnya tidak akan memiliki pintu karena mama tidak mau membetulkannya dengan memanggil tukang. Sebuah malapataka yang tidak boleh terjadi untuknya yang hobi tidur.

Ceklek.

“Ma, apaan sih berisik banget. Kayak ibu tiri aja marah-marah terus.”

Mama terlihat melipat kedua tangannya ketika Alma membuka pintu kamarnya, lalu nyelonong masuk kamar tanpa di persilakan. Sungguh sopan sekali kan mamanya ini?

Mama duduk di tepian kasur sambil melipat selimut dan menepuk-nepuk bantal dan bantal guling yang berserakkan memenuhi kasur, “Sini duduk.”

Alma yang curiga akan ada tindakkan KDRT dari mamanya itu hanya diam di lawang pintu sambil menyenderkan badannya, “Di sini aja.”

“Kalo kamu diem di situ, mama harus kenceng ngomongnya, sedangkan suara mama ini abis udah teriakkin kamu setiap hari. Sini, duduk samping mama.” Mama mengusap kasur sampingnya lembut.

Alma meneguk ludahnya bersusah payah. Meski takut ia melangkah ke arah kasurnya yang sudah di dudukki mamanya. “Aku berdiri aja ya.”

“Duduk sini,” mama kembali mengusap sprei bergambar princess Disney itu.

Alma menurut. Ia mengambil jarak yang cukup jauh dengan mama, “Apa?”

Mama mendekatkan badannya ke arah Alma, “Kamu inget gak ini tanggal berapa?”

Alma memutar bola matanya ke arah kiri, “Tanggal 31 bukan sih?”

“Iya, bener tanggal 31.”

Alma menatap mama, “Terus kenapa kalo tanggal 31?”

“Udah jatuh tempo, Alma!”

“Apanya? Mama belum bayar listrik?”

Mama menggeleng.

“Belum bayar air?”

Mama menggeleng lagi.

“Terus jatuh tempo apa? Cicilan mobil baru papa yang jatuh tempo?”

“Bukaaaaan, Alma.”

“Ya terus apa yang jatuh tempo?”

“Janji kamu sama mama-papa.”

“Janji aku yang mana?”

“Janji kamu yang mau di kenalin sama anak temen mama kalo kamu belum dapet panggilan kerja atau belum dapet kepastian dari pacar kamu itu. Siapa namanya? Mama lupa.”

“Wah parah mama, kok bisa sih lupa sama nama calon mantu sendiri!”

Mama kembali melipat tangannya. “Halah, belum tentu juga dia jadi suami kamu. Wong kerjanya aja cuma ngajak kamu makan tanpa mau mampir dulu.”

“Mama kok ngomong gitu sih? Ucapan adalah doa loh, ma.”

“Tau mama, makannya mama sengaja bilang gitu biar harapan mama jadi nyata.”

“Ma!” pekik Alma. Wajahnya sudah mengkerut efek kesal pada ucapan mamanya yang tidak pernah merestui hubungannya dengan Mario.

Mama melepas lipatan tangannya dan menghembuskan nafasnya pelan, mama menggeser sedikit badannya untuk bisa menghadap Alma, “Kamu mandi, kamu dandan, orangnya bakal dateng sebentar lagi.”

“Orangnya siapa, ma?”

“Anak temen mama, masih nanya kamu.”

“Ma, anaknya baru bangun tidur siang tuh tawarin makan kek, camilan kek, kok malah di suruh mandi buat ketemu anak temen mama sih!” protesnya.

“Mama harus jelasin ulang? Mama kan udah bilang tadi, udah jatuh tempo. Kesempatan yang mama-papa kasih ke kamu udah abis. Jadi sekarang, hari ini, kamu harus ketemu sama anak temen mama itu. Ayo cepet mandi, bentar lagi papa juga pulang dari toko.”

Mama beranjak bangun dari kasur meninggalkan Alma yang masih membuka mulutnya karena benar-benar tidak diberikan kesempatan untuk mengundur waktu atau menolak perintah ini.

Alma menyusul mama dan menarik lengannya dari belakang, “Ma, jangan hari ini dong. Kita tunggu e-mail panggilan dari perusahaan ya atau aku ngomong lagi sama Rio. Tapi gak bisa sekarang, kan mama tau Rio jam segini masih kerja. Nanti sore pasti Rio bales chatnya, ya mah ya?”

Mama melepas tangan Alma dari lengannya, “Gak bisa, udah jatuh tempo!”

Mama keluar dari kamar Alma dan menutup pintunya. Kalau sudah begini tidak ada kesempatan untuk melawan perintah. Tidak akan ada drama ia akan menangis sesenggukkan di atas kasur sambil meringkukkan diri untuk menghindari pertemuan dengan anak teman mama yang entah siapa. Karena kalau mama sudah berkehendak, dan ia berusaha melawan, yang menjadi taruhannya adalah uang bulanan yang masih rutin di berikan padanya.

“Nyebelin banget sih! Awas aja kalo anak temen mama yang di kenalin ke gue tuh bujang lapuk yang rambutnya klimis, kacamata tebel atau perutnya buncit. Gue mending kabur aja dari rumah.” Alma bermonolog sambil melihat dirinya depan cermin. Pantulan bentuk wajahnya yang oval, hidungnya yang mancung, matanya yang sedikit sipit, rambutnya yang terurai panjang berwarna coklat tua terlihat kesal di sana.

Alma meraih handuk yang menjuntai di atas kursi riasnya. Ia berjalan frustasi sambil mengacak-acak rambutnya dan mengerang kesal saat berjalan ke arah kamar mandi dalam kamarnya.

Selama mandi Alma memikirkan bagaimana caranya mengajak Mario untuk datang ke rumah dan melamarnya. Ia mengernyit kemudian begitu ingat kalau pacarnya itu baru bekerja selama satu bulan sehingga belum memiliki tabungan untuk memberanikan diri melamarnya apalagi mengajaknya menikah tahun ini. Mana ini sudah mau akhir tahun.

“Argh, kenapa sih Mario harus lulus telat dan baru dapet kerja sebulan terkahir. Gue kan jadi korban perjodohan ini. Nasib-nasib-nasib.”

Alma menyelesaikan mandinya dengan cepat, tidak lupa gosok gigi dan mencuci mukanya. Begitu ia keluar dari kamar mandi, matanya mendapati baju kebaya berwarna sage lengkap dengan sampingnya yang menjuntai indah di atas kasurnya yang sudah rapi.

“Apaan sih nih kanjeng mama ada-ada aja. Tadi gue dengernya anak temennya mau kesini, kan? Kok pake kebaya segala? Mau ketemu Presiden apa gimana sih konsepnya.”

Alma mengacuhkan baju kebaya itu dan meraih gantungan dress Sabrina berwarna ivory yang memaksa untuk dipakainya di dalam lemari kaca transparan.

“Ini kan baju yang gue dapetin susah-susah dari hasil begadang nontonin live e-commerce minggu lalu, belum pernah kepake buat pergi sama Rio. Tapi... gue pengen banget pake baju ini sekarang. Pertanda apa ya artinya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status