Dor-Dor-Dor
“Alma! Bangun! Tidur tuh kayak kebo banget sih! Bangun! Udah jam berapa ini!” mama berteriak kencang depan pintu kamar Alma yang terkunci.“Pagi bangunnya siang, siang bangunnya sore. Kamu tuh kucing apa manusia sih? Kerjanya tiduuuuur terus. Alma!” mama belum berhenti meneriaki anak tunggalnya itu.“Ish, maa! Berisik banget sih!” teriak Alma membalas teriakkan mama.“Buka pintunya atau mama dobrak nih!”Alma mengucek matanya, ia juga terpaksa bangun karena kalau tidak, mamanya yang galak itu akan mendobrak pintu kamarnya. Dan nanti mungkin kamarnya tidak akan memiliki pintu karena mama tidak mau membetulkannya dengan memanggil tukang. Sebuah malapataka yang tidak boleh terjadi untuknya yang hobi tidur.Ceklek.“Ma, apaan sih berisik banget. Kayak ibu tiri aja marah-marah terus.”Mama terlihat melipat kedua tangannya ketika Alma membuka pintu kamarnya, lalu nyelonong masuk kamar tanpa di persilakan. Sungguh sopan sekali kan mamanya ini?Mama duduk di tepian kasur sambil melipat selimut dan menepuk-nepuk bantal dan bantal guling yang berserakkan memenuhi kasur, “Sini duduk.”Alma yang curiga akan ada tindakkan KDRT dari mamanya itu hanya diam di lawang pintu sambil menyenderkan badannya, “Di sini aja.”“Kalo kamu diem di situ, mama harus kenceng ngomongnya, sedangkan suara mama ini abis udah teriakkin kamu setiap hari. Sini, duduk samping mama.” Mama mengusap kasur sampingnya lembut.Alma meneguk ludahnya bersusah payah. Meski takut ia melangkah ke arah kasurnya yang sudah di dudukki mamanya. “Aku berdiri aja ya.”“Duduk sini,” mama kembali mengusap sprei bergambar princess Disney itu.Alma menurut. Ia mengambil jarak yang cukup jauh dengan mama, “Apa?”Mama mendekatkan badannya ke arah Alma, “Kamu inget gak ini tanggal berapa?”Alma memutar bola matanya ke arah kiri, “Tanggal 31 bukan sih?”“Iya, bener tanggal 31.”Alma menatap mama, “Terus kenapa kalo tanggal 31?”“Udah jatuh tempo, Alma!”“Apanya? Mama belum bayar listrik?”Mama menggeleng.“Belum bayar air?”Mama menggeleng lagi.“Terus jatuh tempo apa? Cicilan mobil baru papa yang jatuh tempo?”“Bukaaaaan, Alma.”“Ya terus apa yang jatuh tempo?”“Janji kamu sama mama-papa.”“Janji aku yang mana?”“Janji kamu yang mau di kenalin sama anak temen mama kalo kamu belum dapet panggilan kerja atau belum dapet kepastian dari pacar kamu itu. Siapa namanya? Mama lupa.”“Wah parah mama, kok bisa sih lupa sama nama calon mantu sendiri!”Mama kembali melipat tangannya. “Halah, belum tentu juga dia jadi suami kamu. Wong kerjanya aja cuma ngajak kamu makan tanpa mau mampir dulu.”“Mama kok ngomong gitu sih? Ucapan adalah doa loh, ma.”“Tau mama, makannya mama sengaja bilang gitu biar harapan mama jadi nyata.”“Ma!” pekik Alma. Wajahnya sudah mengkerut efek kesal pada ucapan mamanya yang tidak pernah merestui hubungannya dengan Mario.Mama melepas lipatan tangannya dan menghembuskan nafasnya pelan, mama menggeser sedikit badannya untuk bisa menghadap Alma, “Kamu mandi, kamu dandan, orangnya bakal dateng sebentar lagi.”“Orangnya siapa, ma?”“Anak temen mama, masih nanya kamu.”“Ma, anaknya baru bangun tidur siang tuh tawarin makan kek, camilan kek, kok malah di suruh mandi buat ketemu anak temen mama sih!” protesnya.“Mama harus jelasin ulang? Mama kan udah bilang tadi, udah jatuh tempo. Kesempatan yang mama-papa kasih ke kamu udah abis. Jadi sekarang, hari ini, kamu harus ketemu sama anak temen mama itu. Ayo cepet mandi, bentar lagi papa juga pulang dari toko.”Mama beranjak bangun dari kasur meninggalkan Alma yang masih membuka mulutnya karena benar-benar tidak diberikan kesempatan untuk mengundur waktu atau menolak perintah ini.Alma menyusul mama dan menarik lengannya dari belakang, “Ma, jangan hari ini dong. Kita tunggu e-mail panggilan dari perusahaan ya atau aku ngomong lagi sama Rio. Tapi gak bisa sekarang, kan mama tau Rio jam segini masih kerja. Nanti sore pasti Rio bales chatnya, ya mah ya?”Mama melepas tangan Alma dari lengannya, “Gak bisa, udah jatuh tempo!”Mama keluar dari kamar Alma dan menutup pintunya. Kalau sudah begini tidak ada kesempatan untuk melawan perintah. Tidak akan ada drama ia akan menangis sesenggukkan di atas kasur sambil meringkukkan diri untuk menghindari pertemuan dengan anak teman mama yang entah siapa. Karena kalau mama sudah berkehendak, dan ia berusaha melawan, yang menjadi taruhannya adalah uang bulanan yang masih rutin di berikan padanya.“Nyebelin banget sih! Awas aja kalo anak temen mama yang di kenalin ke gue tuh bujang lapuk yang rambutnya klimis, kacamata tebel atau perutnya buncit. Gue mending kabur aja dari rumah.” Alma bermonolog sambil melihat dirinya depan cermin. Pantulan bentuk wajahnya yang oval, hidungnya yang mancung, matanya yang sedikit sipit, rambutnya yang terurai panjang berwarna coklat tua terlihat kesal di sana.Alma meraih handuk yang menjuntai di atas kursi riasnya. Ia berjalan frustasi sambil mengacak-acak rambutnya dan mengerang kesal saat berjalan ke arah kamar mandi dalam kamarnya.Selama mandi Alma memikirkan bagaimana caranya mengajak Mario untuk datang ke rumah dan melamarnya. Ia mengernyit kemudian begitu ingat kalau pacarnya itu baru bekerja selama satu bulan sehingga belum memiliki tabungan untuk memberanikan diri melamarnya apalagi mengajaknya menikah tahun ini. Mana ini sudah mau akhir tahun.“Argh, kenapa sih Mario harus lulus telat dan baru dapet kerja sebulan terkahir. Gue kan jadi korban perjodohan ini. Nasib-nasib-nasib.”Alma menyelesaikan mandinya dengan cepat, tidak lupa gosok gigi dan mencuci mukanya. Begitu ia keluar dari kamar mandi, matanya mendapati baju kebaya berwarna sage lengkap dengan sampingnya yang menjuntai indah di atas kasurnya yang sudah rapi.“Apaan sih nih kanjeng mama ada-ada aja. Tadi gue dengernya anak temennya mau kesini, kan? Kok pake kebaya segala? Mau ketemu Presiden apa gimana sih konsepnya.” Alma mengacuhkan baju kebaya itu dan meraih gantungan dress Sabrina berwarna ivory yang memaksa untuk dipakainya di dalam lemari kaca transparan.“Ini kan baju yang gue dapetin susah-susah dari hasil begadang nontonin live e-commerce minggu lalu, belum pernah kepake buat pergi sama Rio. Tapi... gue pengen banget pake baju ini sekarang. Pertanda apa ya artinya?”“Alma, udah siap belum dandannya?” mama main nyelonong saja saat Alma sedang memperhatikkan wajahnya di depan meja rias. Alma menengok ke arah mama yang sudah cantik mengenakan kebaya brokat berwarna merah lengkap dengan rok batiknya. Rambutnya juga sudah di sanggul seperti istri-istri pejabat yang sering ia lihat di acara HUT RI di televisi. “Mama mau kemana kok-?” Belum selesai bertanya, mama sudah melotot ke arah Alma, “Kamu ngapain aja dari tadi? Kok muka kamu masih polosan sih?” “Emang kita mau kemana sih, ma? Bukannya mama bilang tadi anak temen mama mau kesini, kenapa harus terlalu bergaya?” “Kamu itu, mau di manapun kita harus tetep dandan cantik dong, Ma, buat menghargai tamu yang dateng. Masa gitu aja mama harus jelasin?” “Ya aku setuju andaikan mama cuma pake baju dress doang terus dandan tipis-tipis. Kalo ini mah bukan cantik aja mah, tapi heboh. Kayak mau ke Istana Negara tau gak?” “Mulut kamu itu loh, kayak gak pernah mama didik. Masa mama cuma pake baju dress bia
Semua mengangguk setuju ketika papa-mama Alma dan mama dokter Adam menyepakati susunan acara pernikahan untuk esok hari.“Ma! Kok nikahnya besok sih? Itu pernikahan apa tahu bulat?”Mama melotot meminta Alma tutup mulut dan diam saja. Tapi bukan Alma namanya jika ia hanya diam saja seperti anak lain ketika mamanya sudah memintanya diam.Adam, ya bilang saja calon suami Alma melirik gadis itu, dengan suara tenang ia berusaha untuk membuat calon istrinya tidak banyak protes, “Alma, aku gak ada waktu lagi buat nunggu. Jadwal operasi aku padet, dan besok kebetulan gak ada jadwal praktek di Rumah Sakit. Jadi kita bisa melangsungkan pernikahan besok.”Alma menghembuskan nafasnya kencang, “Tapi gak besok dong, dokter Adam. Besok tuh... kurang dari dua puluh empat jam. Aku gak bisa ngapa-ngapain!”“Emangnya kamu mau ngapain? Besok aja kamu tinggal duduk di prosesi ijab kabul, siangnya duduk di kursi pelaminan. Tenang aja, tamunya gak banyak kok, jadi kita gak akan berdiri lama-lama buat salam
“Gimana? Gue udah cantik, kan?” tanya Alma pada Sezan dan Audy, sahabatnya. “Gilaaa lo udah cantik banget kayak Miss Universe, Ma hahaha.” goda Audy. “Euh, lo tuh ya, suka berlebihan.” “Zan, cantik gak gue?” tanyanya lagi pada satu sahabatnya yang belum menjawab. “Canti, Maa, cantik banget.” “Kayak Miss Universe?” ledeknya. “Yeee, dendam lo sama gue.” seloroh Audy kesal.Mereka tertawa.Di hadapan cermin Alma menatap kedua sahabatnya yang berdiri di belakang tubuhnya, “Gue... gak papa kan ya nikah sama duda beranak?” “Gak papa lah, lagi musim tau.” timpal Audy. “Musim, lo pikir rambutan ada musimnya?” “Ya lo emang gak tau banyak slogan duda semakin di depan? Itu artinya, lo mengikuti trend dengan baik hahaha, iya kan, Zan?” Sezan mengangguk. “Zan, lo mah diem aja kayak kena Malaria. Lo kasih tanggepan dong sama pertanyaan gue.” Sezan melirik Audy lalu menatap Alma lewat cermin, “Ya gak papa dong, Ma, kamu mau nikah sama yang single, sama yang duda, sama aja kok, gak ada b
Selesai acara, Adam akan langsung memboyong Alma ke rumahnya. Bersama Belle yang sedari tadi di jaga mbak Ruth, suster pribadinya, Adam berpamitan pada mama dan mertuanya. “Ma, pa, aku pamit bawa Alma ke rumah. Maaf kita gak bisa dinner bareng karena harus beres-beres di rumah.” Adam berpamitan. “Iya, gak papa nak Adam, mama ngerti banget. Alma juga harus belajar ngerti kalau suaminya ini dokter yang gak bisa dua puluh empat jam di rumah.” tutur mama. Alma tidak memberikkan komentar apa-apa, ia hanya menatap mama sedikit kesal. “Kamu belajar gendong Belle. Sekarang kan Belle jadi anak kamu.” goda papa. “Papa ih.” Alma melirik Belle yang sedang tidur di stroller, “Tuh Belle lagi bobo nyenyak, jangan di gangguin.” “Bisa aja alesannya.” sindir mama. “Yeee biarin.” Mama Asry mengelus-elus lengan Alma yang berdiri di sampingnya, “Kalo belum bisa ikut ngurus Belle, gak papa, kamu bisa liatin dulu.” Alma mengangguk dan tersenyum, “Iya, ma, makasih ya pengertiannya.” “Kita mau lang
Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal.Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama. Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya
“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya. Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.” “Yakin mau mandi?” “Yakin lah. Sana keluar!” “Kamu bukannya dari tadi tidur?” “Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.” “Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.” “Gak usah ngarang. Sana pergi!” Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.” “MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?” “Awas kamu keluar duluuu!” Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya. Ceklek. Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ke
Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.” Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?” Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?” “Itu tau.” “Suster Ruth ikut ‘kan?” “Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.” Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.” “Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?” “Karena aku gak tau harus berbuat apa.” Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.” Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja. “Mama bilang apa barusan?” “Kamu ngadu sama mama?” “Pertanyaan aku bukan itu.” Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, ka
Belle menjadi pusat perhatian di kafe sejak kedatangannya kesini. Kakak Sezan yang akan pergi bekerja pun menyempatkan diri sebentar untuk menggendong dan bermain dengan Belle. “Bang Ar, cepet lah nikah terus kasih cucu buat om tante. Sezan juga kayaknya udah ngebet jadi aunty.” Bang Armand tertawa, “Karir dulu lah, Ma. Kasian, mau di kasih makan apa anak istri abang nanti.” “Kalo nikah sama Audy dikasih makan sehari sekali juga gak papa katanya.” ledek Alma. Audy melotot disebrang meja, “Kunyuk lo ya! Kucing gue aja makannya tiga kali. Ini sehari sekali kayak dapet nasi santunan.” Samua tertawa mendengar jawaban Audy. “Ada-ada aja sih jawaban kamu, Dy.” cuap bang Armand menggelengkan kepalanya. “Kalo ngobrol sama si Alma mah emang harus on otak tuh, bang, biar gak kalah.” balas Audy. “Bang, udah nikahin aja Audy. Kasian tau dia pacaran sama aplikasi.” Bang Armand melirik Audy, “Ah masa sih, cantik gini pacaran sama aplikasi?” Audy salah tingkah mendengar pujian bang Armand.