Home / Pernikahan / (BUKAN) Duda Biasa / 8. Pergi Mengajak Belle

Share

8. Pergi Mengajak Belle

Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.”

Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?”

Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?”

“Itu tau.”

“Suster Ruth ikut ‘kan?”

“Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.”

Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.”

“Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?”

“Karena aku gak tau harus berbuat apa.”

Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.”

Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja.

“Mama bilang apa barusan?”

“Kamu ngadu sama mama?”

“Pertanyaan aku bukan itu.”

Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, karena Adam menahan lengannya.

“Kamu lupain sesuatu.”

Alma diam sejenak, “Apa?”

Adam bergerak mencium pipi Alma, membuat mata cewek itu membulat sempurna. Meski ini bukan ciuman pipi pertamanya tapi rasanya ia selalu terkejut, “Selamat berkumpul bersama bestie.”

Alma mengangguk pelan.

“Aku anterin aja ya? Aku lupa kamu gak bisa bawa mobil.”

“Aku udah pesen taksi online.”

“Oh, oke.”

Alma berjalan pelan meninggalkan Adam. Ia bertolak ke kamar Belle yang tengah berganti baju pergi.

“Sus, jangan lupa popoknya bawa yang banyak.”

Suster Ruth tertawa, “Iya, bu, eh Alma.”

Adam berdiri disamping Alma, “Suster, saya titip anak-anak ya.”

Suster Ruth berdiri tegap menghadap Adam. Dahinya mengkerut kebingungan, “Anak-anak, pak?”

“Iya, Belle sama dek Alma.” godanya senang membuat Alma menganga.

Suster Ruth tertawa, “Baik, pak.”

“Kalo dek Alma rewel jewer aja. Dia pasti ngelawan.”

Alma melipat kedua tangannya menghadap Adam, “Kalo Belle yang rewel jewer juga?”

“Belle kan rewelnya ada alesan medis, dia lagi tumbuh gigi seri bagian samping. Kalo kamu kenapa? Copot gigi?”

“Iiiih, mas.”

Adam dan suster Ruth tertawa.

“Ya udah aku pergi. Kalian hati-hati.”

“Baik, pak.” Suster Ruth mengangguk paham.

“Baik dokter tua.” tutur Alma penuh penekanan.

Adam mendekatkan wajahnya pada Alma, “Aku tua punya kerjaan bagus dan uang yang banyak. Kamu muda tapi... pengangguran.”

Alma melotot dan mendorong tubuh Adam. Ia kesal bukan main karena suaminya begitu menyebalkan, “Awas.”

“Jangan ngambek dong, dek Alma.” goda Adam lagi.

“Berisik, om-om.” Alma berjalan menuruni tangga untuk menemui driver taksi online dibawah.

Alma dan suster Ruth yang menggendong Belle memasuki taksi online yang sudah menunggu dari tadi. Adam masih disana karena membantu memasukkan stroller dan tas Belle berisi popok dan keperluan lain ke dalam bagasi mobil.

Alma melongokan kepalanya di jendela mobil, “Belle dadah dulu sama papa. Dadah papa tua gitu.”

Adam tertawa tapi tetap melambaikan tangan pada Alma dan Belle, “Hati-hati ya kalian.”

“Iyaaa. Selamat bekerja papa tua. Hahaha.”

“Awas ya kamu.”

Taksi online yang di naiiki Alma berlalu meninggalkan pelataran rumah. Adam yang hanya memiliki sedikit waktu untuk segera sampai di rumah sakit langsung masuk mobil dan menyetir dengan kecepatan penuh. Ia memiliki jadwal yang padat tapi harus mulai mengatur waktunya dirumah agar Alma tidak merajuk.

Selama di jalan Alma asik memainkan ponselnya. Ia sama sekali tak melirik ke arah Belle yang tengah bernyanyi riang dengan suster Ruth. Alma menatap kaca spion dalam memperhatikkan mata driver yang tengah meliriknya. Pasti driver mengira ia adalah ibu durjana yang memilih untuk duduk santai dan memberikan pengasuhan seratus persen pada sitter.

“Sus,”

Suster Ruth menoleh, “Iya?”

“Jangan bilang ke mas Adam ya aku gak ikut ngasuh Belle nanti. Aku belum bisa nerima sepenuhnya keberadaan Belle. Ditambah sikap mas Adam yang keras bikin aku makin males ngurus Belle.”

“Iya, bu, eh Alma.”

“Aku baru dua hari jadi istri dia, tapi dia udah seenak jidatnya nyuruh aku ngurus anak yang rewel dan nyebelin kayak Belle.”

Suster Ruth mengangguk sambil menutup kedua telinga Belle.

“Kenapa ditutup, sus?”

“Takutnya Belle denger ucapan kamu.”

“Dia kan masih bayi, mana mungkin ngerti omongan aku.”

Suster Ruth melirik Alma, “Anak kecil juga memiliki alam bawah sadar, Ma. Aku juga bingung jelasinnya gimana, tapi yang pasti bayi bisa merasakan kalo kamu suka atau gak suka sama dia.”

Alma diam mencerna ucapan suster Ruth.

Suster Ruth menatap Belle penuh pengertian, “Belle, ini mami Alma, Belle harus baik ya sama mami. Mamih itu sayang banget sama Belle, jadi Belle juga harus sayang sama mami.”

Alma tersenyum dan merasa beruntung mengenal suster Ruth yang memiliki kepribadian yang baik dan positif. Meski ia masih bingung dan tidak setuju pada ucapan suster Ruth beberapa menit lalu, tapi ia akan berusaha mengikuti cara main psikologis itu.

“Hai, Belle, ini mami. Kamu kalo nangis jangan kenceng-kenceng ya. Mami belum terbiasa soalnya. “

“Iya, mami, maafin Belle ya.” jawab suster Ruth seolah-olah menjadi Belle.

Alma memainkan tangan Belle, “Belle mau kemana sih, cantik banget. Mau ikut mami hangout ya sama temen-temen mami?”

“Iya nih, mami, Belle juga mau jadi anak gaul.”

Alma tertawa, “Oyah, sus, selama ini Belle suka di ajak jalan-jalan gak?”

“Jarang sih. Paling sesekali keluar buat beli baju atau massage dan berenang. Soalnya keseringan bapak yang manggil orang ke rumah, jadinya Belle jarang jalan-jalan.”

“Kasian.”

“Tiga bulan lalu bapak bilang katanya Belle nanti bakal sering keluar rumah sama mama barunya. Dulu saya masih bingung maksud ucapan bapak. Sekarang saya ngerti maksud bapak mama barunya Belle itu kamu hehe.”

Tiga bulan lalu? Alma mengingat dengan jelas ucapan Adam sewaktu acara lamaran dua hari lalu. Ia mengatakan padanya sudah membicarakan pernikahan ini tiga bulan lalu dengan mama dan papa. Tapi emang dasar mamanya saja jahat yang memberitahunya H-1 pernikahan.

“Oyah, mas Adam bilang gitu?”

Suster Ruth mengangguk.

“Mas Adam ada ceritain aku gak dulu?”

“Ada sih, dulu waktu bu Asry, neneknya Belle nginep di rumah, mereka ngobrol banyak soal kamu, dan saya gak sengaja denger. Katanya bapak harus nyiapin mental sekuat baja buat ngadepin anak manja dan bawel kayak kamu.”

“Dia ngomong kayak gitu?”

Suster Ruth mengangguk.

“Nyebelin banget sih. Dia gak mikir apa, dengan aku mau nikah sama dia yang tua aja syukur, ini malah ngeledek.”

Suster Ruth tertawa, “Tapi banyak yang mau loh sama bapak, jangan salah. Tua begitu kan bapak banyak fansnya di rumah sakit.”

“Hmmm, iya-iya. Susah kalo ngobrol sama fans garis keras yang ngebet sama dia.”

Suster Ruth tertawa lagi, “Ya kalo bapak mau sama saya, saya dengan senang hati menerima.”

“Huuu, dasar.”

Hening, tidak lagi ada obrolan. Alma kembali memainkan tangan dan jari Belle.

Suster Ruth melirik Alma, “Mau gendong Belle?”

“Enggak, sus aja.”

Tidak lama taksi online berhenti di sebuah caffe depan rumah Sezan yang cozy dan asri. Banyak tumbuhan rambat menghiasi seluruh dinding kaca. Alma dan suster Ruth turun dari mobil Driver pun ikut keluar untuk membantu mengeluarkan stroller dari bagasi.

“Makasih, pak. Pembayaran udah via digital ya.”

“Baik, mbak, terimakasih kembali.”

Audy dan Sezan menyambut mereka ke depan kafe.

“Liat siapa yang dateng ada Tinkerbelle.” sambut Audy riang.

“Belleza, Dy.” tegur Alma karena takut Audy keterusan memanggil Belle dengan panggilan Tinkerbelle.

“Ih, biarin.. Itu panggilan sayang gue. Yang penting kan unsur Belle nya masih nempel.”

Sezan memperhatikan Belle dengan hangat, ia menatap Alma, “Ma, boleh gak aku gendong Belle?”

“Boleh dong, gendong aja.”

Suster Ruth menyerahkan Belle pada Sezan.

“Halo, Belle, ini tante Sezan. Belle apa kabar?”

Alma dan Audy tertawa.

“Udah cocok, Zan, tinggal cari bapaknya. Terus lo bereproduksi deh.”

Sezan tersenyum, “Sabar dulu, aku masih nyeleksi kandidatnya.”

“Jangan lama-lama, entar kayak si Audy nih malah anteng pacaran sama aplikasi.”

Audy melotot, “Heh! Gue pacaran sama orang kalik, tapi lewat aplikasi.”

“Kalo lo gak ketemu orangnya dan tetep chat di aplikasi, artinya lo pacaran sama aplikasi, Dy. Sama Simi-Simi aja sana pacarannya.”

“Dih, pacaran sama ayam kuning gue.”

Alma menarik suster Ruth, “Eh, kenalin, ini suster Ruth, suster pribadi Belle sekaligus temen baru gue di rumah.”

Suster Ruth mengulurkan tangannya pada Audy dan Sezan, “Kenalin, saya Ruth.”

Audy juga mengulurkan tangannya, “Gue Audy.”

“Halo, suster, aku Sezan.”

Suster Ruth mengangguk dan tersenyum.

“Ya udah yuk, masuk, Amih sama Apih pengen ketemu manten baru katanya.” ajak Sezan sambil menggoda Alma.

“Bisa aja sih lo.”

Mereka semua masuk ke dalam kafe yang memang ada di halaman depan rumah Sezan yang halamannya luas sekali. Alma berjalan lebih dulu untuk bertemu orang tua Sezan yang sedang ada di dapur.

“Om, tan, manten baru dateng nih.”

Amih dan Apih keluar dari dapur bersamaan.

“Eh, mantennya udah dateng.” Amih bergerak mencium pipi kanan-kiri Alma.

“Maaf aku datengnya telat ya, tan, biasa lah.”

Amih dan Apih tertawa.

“Biasa lah, kesiangan di kamar ‘kan?”

Alma menggaruk lehernya malu, “Ah, tante.”

“Mana anak kamu, om pengen liat.”

“Bentar, om.” Alma membalikkan badannya, “Zan, sini, si om mau liat Belle.”

Sezan dan suster Ruth menghampiri Amih dan Apih membawa Belle. Amih dan Apih yang memiliki mata minus belum bisa melihat Belle dengan jelas hingga Sezan berdiri mendekat dan menunjukkan Belle dengan jelas.

“Ini, Mih, Pih, Belle, anaknya Alma.”

Amih dan Apih saling berpandangan.

“Zan, ini kan anaknya....” Amih tak melanjutkan kalimatnya.

Sezan tersenyum di paksakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status