Semua mengangguk setuju ketika papa-mama Alma dan mama dokter Adam menyepakati susunan acara pernikahan untuk esok hari.
“Ma! Kok nikahnya besok sih? Itu pernikahan apa tahu bulat?”
Mama melotot meminta Alma tutup mulut dan diam saja. Tapi bukan Alma namanya jika ia hanya diam saja seperti anak lain ketika mamanya sudah memintanya diam.
Adam, ya bilang saja calon suami Alma melirik gadis itu, dengan suara tenang ia berusaha untuk membuat calon istrinya tidak banyak protes, “Alma, aku gak ada waktu lagi buat nunggu. Jadwal operasi aku padet, dan besok kebetulan gak ada jadwal praktek di Rumah Sakit. Jadi kita bisa melangsungkan pernikahan besok.”
Alma menghembuskan nafasnya kencang, “Tapi gak besok dong, dokter Adam. Besok tuh... kurang dari dua puluh empat jam. Aku gak bisa ngapa-ngapain!”
“Emangnya kamu mau ngapain? Besok aja kamu tinggal duduk di prosesi ijab kabul, siangnya duduk di kursi pelaminan. Tenang aja, tamunya gak banyak kok, jadi kita gak akan berdiri lama-lama buat salaman sama tamu.”
Alma membuang muka dari Adam, ia berusaha mengatur nafasnya yang sesak karena adanya pernikahan ini terasa buru-buru dan dadakan sekali. Kalau benar besok acara pernikahannya, ia tidak akan memiliki waktu untuk foto prewedding dan menggelar bridal shower dengan sahabat-sahabatnya.
“Adam, ajak Alma ngobrol berdua dulu gih.” pinta tante Asry, mama Adam.
Adam mengangguk, “Alma, yuk.”
Meski enggan Alma berdiri juga. Adam mengangguk sopan pada mama dan papa ketika mereka melewati mereka yang asik ngobrol dengan anggota keluarga yang lain.
Adam berjalan membuntut di belakang Alma yang tampak masih sebal padanya. Mereka berhenti di pinggir kolam renang. Alma membalikkan badan untuk melihat calon suami dadakannya.
“Alma, aku minta maaf ya kalau adanya pernikahan ini terlalu mendadak buat kamu.”
Alma memberanikan diri menatap mata Adam sambil meremas kedua telapak tangannya gemas, “Mas dokter ini ngebet banget apa gimana sih? Besok itu... sebentar lagi banget. Kalo mas dokter emang udah gak sabar jadi suami aku, akhir bulan depan kek, jangan besok banget. Mas dok tau gak, aku tuh masih muda, untuk aku memutuskan mau menikah taun ini aja udah syukur, ini di ajak nikah besok. Pikirannya dimana sih?”
“Loh, gak dadakan kok. Dari pihak aku kan udah kasih waktu selama tiga bulan. Mama kamu bilang kamu udah bersedia dan minta waktu untuk menggelar lamaran. Dadakannya dari mana?”
Mata Alma membulat kaget, “Hah? Minta waktu tiga bulan? Aku gak ngerasa di tanya-”
Bukannya melanjutkan ucapannya, Alma malah berjalan cepat menuju ruang keluarga untuk menginterogasi mama dan memintanya menjelaskan perihal ucapan Adam. Ia yakin diantara dua orang ini yang berbohong adalah mamanya.
“Ma! Aku mau minta penjelasan dari mama!” teriaknya kencang.
Mama yang di panggil berdiri dan menghampiri Alma. Karena malu mama menarik anak tunggalnya untuk kembali ke belakang rumah.
“Kamu tuh kenapa sih, malu tauk, teriak-teriak kayak di hutan.”
“Mama kenapa bohong sama aku?”
“Bohong apa?”
Alma menunjuk keberadaan Adam yang berdiri menatap keributan ibu dan anak ini, “Dia bilang sebenernya pihak mereka udah kasih waktu tiga bulan buat nikahin aku, tapi kenapa mama baru ngasih tau aku tadi pas aku baru bangun tidur tadi?”
Mama melirik Adam dan tersenyum maklum, lalu mengelus lengan Alma lembut, “Kamu tuh kalo ngomong ya pelan-pelan gitu loh, malu sama nak Adam”
“Kenapa malu? Dia kan mau jadi calon mantu mama!” teiaknya lagi tidak kapok.
Mama mencubit Alma, “Tapi gak teriak-teriak dong, kan belum nikahnya juga.” desis mama penuh penekanan.
“Aw! Sakit, ma!”
“Makannya pelan-pelan ngomongnya.”
“Iya-iya. Pelan nih. Sekarang jelasin ke aku kenapa mama bohong ke aku?” tanya Alma dengan wajah sedih.
“Karena mama mau hargain kamu. Mama mau kasih waktu buat si Rio-Rio itu serius sama kamu. Buktinya mana? Batang hidungnya aja gak pernah keliatan mampir kesini.”
“Kalo batang hidungnya doang yang kesini serem dong, ma. Kenapa badannya gak di ajak?”
“Itu kan pribahasanya. Coba liat, sampe hari ini aja dia gak berani datang kesini buat serius sama kamu. Paling dia lagi menjalin cinta lokasi sama temen kantornya.”
Alma terhenyak. Kenapa mama bisa bicara begitu ya? Jangan-jangan mama tau kalau pacarnya memang seperti menikmati kebersamaan dengan salah satu teman kantornya? Atau jangan-jangan mama ini cenayang yang bisa tahu apa yang di lakukan orang di luar?
“Kenapa diem? Bener kan omongan mama?”
Alma membuang muka, “Tau ah.”
“Kamu tuh harusnya berterimakasih sama mama udah pilihin jodoh paling ciamik begini. Adam ini bibit unggul, mama juga kenal baik orang tuanya. Jangan ngelawan kamu, kamu tuh anak satu-satunya, kalo kamu gak nurut mama mau berharap siapa lagi yang mau nurut sama mama papa?”
“Tapi gak besok juga dong, ma nikahnya. Akhir bulan depan aja gimana?”
“Kamu gak denger Adam tadi bilang apa? Besok dia gak ada jadwal praktek di Rumah Sakit, udah nurut aja. Bulan depan tuh kelamaan. Kalo Adam berubah pikiran gak mau nikahin kamu gimana?”
Alma melotot, ia juga melirik ke arah Adam yang mulai nyaman menyaksikan pertengkaran mereka, “Kan belum prewedding, ma-”
“Prewed aja kamu pikirin.”
“Tapi kan, ma prewedding itu penting.”
Belum mama membalas ucapan Alma, Adam menghampiri mereka, “Yuk prewedding sekarang.”
Mama tersenyum senang mendengar ajakan calon mantunya, “Tuh, sekarang katanya. Ayo kamu siap-siap. Mama telpon dulu fotografer langganan keluarga kita.”
Mama masuk ke dalam rumah untuk menelpon fotografer langganan keluarga mereka. Sedangkan Alma masih kaget karena Adam terlihat tanpa beban menghadapi acara pernikahan besok.
“Mas dokter serius gak mau ngundurin waktu pernikahan?”
Adam menggeleng, “Tadi di dalem kamu udah denger kan, kalo aku punya anak. Aku mau anak aku bisa cepet dapet kasih sayang dari mama barunya.”
Alma menunduk. Ia jelas mendengar dari calon mama mertuanya yang menyebutkan kalau Adam adalah duda beranak. Tapi ia tidak menyangka kalau Adam mengharapkannya bisa menjadi ibu sambung untuk anaknya itu.
Meski ia tidak masalah dengan status duda yang di sandang Adam, karena cowok ini ganteng banget lengkap dengan pekerjaannya yang bagus sebagai dokter bedah spesialis Ahli Dalam, tapi ia takut tidak bisa menerima kehadian anak sambungnya itu.
Dulu ketika mereka pertama bertemu, Alma waktu itu masih kelas tiga SMA, Adam pun belum menikah dan baru setahun menjadi dokter Residen. Mereka memang sering di jodoh-jodohkan oleh sepupu-sepupunya yang lain, dan ia tidak merasa terganggu dengan ucapan ledekkan itu.
Kini ia tidak menyangka Adam tanpa pikir panjang bersedia menikahinya yang terkenal bawel dan manja. Apakah ia tidak berpikir kehadirannya hanya akan memperkeruh suasana keluarga kecilnya yang sudah memiliki anak?
“Anak mas dokter berapa taun?” tanya Alma penasaran. Ya ia pasrah untuk menikah esok hari dengan lelaki di hadapannya. Ia akan berusaha menerima takdirnya, dari pada harus menunggu kepastian Rio yang sulit di prediksi kan? Mending menikah saja dengan yang pasti meskipun punya buntut hihi.
“Sebelas bulan.”
Alma melotot, “Masih kecil banget.”
Adam mengangguk.
“Namanya siapa?”
“Namanya Belle.”
“Nama panjangnya Tinkerbelle ya?” tebaknya asal.
Adam tertawa, “Bukan.”
“Terus apa?”
“Belleza.”
“Laaah, nama type kulkas.”
Adam mengangguk-angguk.
Alma jadi tidak enak sendiri, “Eh, maaf, maksudnya namanya bagus.”
“Makasih.”
“Ada fotonya gak?”
“Ada, sebentar.” Adam merogoh ponsel dari saku belakang celana bahannya. Ia menunjukkan Belle yang menjadi wallpaper ponselnya.
Alma mendekatkan dirinya ke badan Adam, “Mana-mana?”
Adam merasa ada getaran listrik yang menjalari tubuhnya ketika tubuh Alma merekatkan tubuhnya. Dress berwarna ivory tak berlengan itu membuat lengan Alma menempel pada lengannya. Ada gesekkan yang membuat jantungnya berdegup kencang.
“Wah rambutnya keriting, bagus banget.” puji Alma yang disambut senyuman dari Adam.
“Cantik ya?”
Alma tidak menjawab, ia malah menatap Adam. Ia berkata dalam hati, ‘terang aja lo bilang cantik, kan itu anak elo’. Jadinya ia hanya mengangguk mengamini ucapan Adam biar calon suaminya ini senang.
“Gimana? Gue udah cantik, kan?” tanya Alma pada Sezan dan Audy, sahabatnya. “Gilaaa lo udah cantik banget kayak Miss Universe, Ma hahaha.” goda Audy. “Euh, lo tuh ya, suka berlebihan.” “Zan, cantik gak gue?” tanyanya lagi pada satu sahabatnya yang belum menjawab. “Canti, Maa, cantik banget.” “Kayak Miss Universe?” ledeknya. “Yeee, dendam lo sama gue.” seloroh Audy kesal.Mereka tertawa.Di hadapan cermin Alma menatap kedua sahabatnya yang berdiri di belakang tubuhnya, “Gue... gak papa kan ya nikah sama duda beranak?” “Gak papa lah, lagi musim tau.” timpal Audy. “Musim, lo pikir rambutan ada musimnya?” “Ya lo emang gak tau banyak slogan duda semakin di depan? Itu artinya, lo mengikuti trend dengan baik hahaha, iya kan, Zan?” Sezan mengangguk. “Zan, lo mah diem aja kayak kena Malaria. Lo kasih tanggepan dong sama pertanyaan gue.” Sezan melirik Audy lalu menatap Alma lewat cermin, “Ya gak papa dong, Ma, kamu mau nikah sama yang single, sama yang duda, sama aja kok, gak ada b
Selesai acara, Adam akan langsung memboyong Alma ke rumahnya. Bersama Belle yang sedari tadi di jaga mbak Ruth, suster pribadinya, Adam berpamitan pada mama dan mertuanya. “Ma, pa, aku pamit bawa Alma ke rumah. Maaf kita gak bisa dinner bareng karena harus beres-beres di rumah.” Adam berpamitan. “Iya, gak papa nak Adam, mama ngerti banget. Alma juga harus belajar ngerti kalau suaminya ini dokter yang gak bisa dua puluh empat jam di rumah.” tutur mama. Alma tidak memberikkan komentar apa-apa, ia hanya menatap mama sedikit kesal. “Kamu belajar gendong Belle. Sekarang kan Belle jadi anak kamu.” goda papa. “Papa ih.” Alma melirik Belle yang sedang tidur di stroller, “Tuh Belle lagi bobo nyenyak, jangan di gangguin.” “Bisa aja alesannya.” sindir mama. “Yeee biarin.” Mama Asry mengelus-elus lengan Alma yang berdiri di sampingnya, “Kalo belum bisa ikut ngurus Belle, gak papa, kamu bisa liatin dulu.” Alma mengangguk dan tersenyum, “Iya, ma, makasih ya pengertiannya.” “Kita mau lang
Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal.Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama. Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya
“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya. Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.” “Yakin mau mandi?” “Yakin lah. Sana keluar!” “Kamu bukannya dari tadi tidur?” “Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.” “Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.” “Gak usah ngarang. Sana pergi!” Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.” “MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?” “Awas kamu keluar duluuu!” Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya. Ceklek. Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ke
Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.” Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?” Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?” “Itu tau.” “Suster Ruth ikut ‘kan?” “Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.” Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.” “Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?” “Karena aku gak tau harus berbuat apa.” Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.” Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja. “Mama bilang apa barusan?” “Kamu ngadu sama mama?” “Pertanyaan aku bukan itu.” Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, ka
Belle menjadi pusat perhatian di kafe sejak kedatangannya kesini. Kakak Sezan yang akan pergi bekerja pun menyempatkan diri sebentar untuk menggendong dan bermain dengan Belle. “Bang Ar, cepet lah nikah terus kasih cucu buat om tante. Sezan juga kayaknya udah ngebet jadi aunty.” Bang Armand tertawa, “Karir dulu lah, Ma. Kasian, mau di kasih makan apa anak istri abang nanti.” “Kalo nikah sama Audy dikasih makan sehari sekali juga gak papa katanya.” ledek Alma. Audy melotot disebrang meja, “Kunyuk lo ya! Kucing gue aja makannya tiga kali. Ini sehari sekali kayak dapet nasi santunan.” Samua tertawa mendengar jawaban Audy. “Ada-ada aja sih jawaban kamu, Dy.” cuap bang Armand menggelengkan kepalanya. “Kalo ngobrol sama si Alma mah emang harus on otak tuh, bang, biar gak kalah.” balas Audy. “Bang, udah nikahin aja Audy. Kasian tau dia pacaran sama aplikasi.” Bang Armand melirik Audy, “Ah masa sih, cantik gini pacaran sama aplikasi?” Audy salah tingkah mendengar pujian bang Armand.
Belle mendendang-nendang air di bak kecil tempatnya mandi, membuat baju Alma semakin basah. Suster Ruth yang berdiri memegangi handuk di belakang tubuh Alma merasa tidak enak dan takut Alma akan marah.“Belle, pelan-pelan, nak, airnya jadi kena mami tuh.”“Huaaaaa.” Belle menangis kencang tanpa aba-aba membuat Alma tersentak kaget.Alma membuang nafas dan menutup matanya. Meski begitu ia belum menyerah dan ingin terus mencoba mendekati Belle.“Belle, liat ada bebek ikut mandi sama Belle. Tuh bebek aja mandinya tenang, Belle juga yang tenang ya.”“Oaaaaak.”“Belle, tenang ya.”Suster Ruth berdiri khawatir karena Alma tak kunjung meminta bantuan padanya. Ia ingin sekali menawarkan bantuan tapi takutnya Alma masih ingin terus mencoba memandikan Belle sendiri.Alma menoleh, “Sus, aku kasih sus aja nih.”“Iya.” Suster Ruth mengambil alih Belle, “Kamu ganti baju aja, takut masuk angin.”“Gak papa, aku mau nemenin sampe Belle sampe beres mandi.”Suster Ruth diam. Ia tidak mungkin
Pagi-pagi sekali Alma sudah menangkap suara musik instrumen sayup-sayip di kamarnya. Kepalanya yang masih menempel hangat di bantal bergerak melipatnya untuk menutupi telinganya. Tidurnya tetap nyenyak karena merasa ini masih terlalu awal untuk bangun.“Oaaaaaak.”“Ya ampun, Belleeeee!” Alma terduduk sekaligus sambil mengacak-acak rambut dengan frustasi.Ceklek. Pintu terbuka dan menampilkan Adam yang memangku Belle yang tengah menangis kencang berjalan menghampiri Alma yang langsung merebahkan diri dan menutup kepalanya dengan bantal.“Mami banguuun, Belle udah siap beraktivitas nih.”“Keluaaaar!” teriak Alma dengan suara tertahan bantal.“Mami ayo dong kita main.”Alma bangun dan meremas tangannya di hadapan Belle yang menangis semakin kencang. Ia berlari ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam untuk menenangkan diri di dalam.“Sayang, jangan tidur lagi di bathub ya.”“Berisik, mas. Urus aja anak kamu. Gak usah ganggu aku.”Adam dengan sengaja mendekatkan Belle ke pint