“Gimana? Gue udah cantik, kan?” tanya Alma pada Sezan dan Audy, sahabatnya.
“Gilaaa lo udah cantik banget kayak Miss Universe, Ma hahaha.” goda Audy.“Euh, lo tuh ya, suka berlebihan.”“Zan, cantik gak gue?” tanyanya lagi pada satu sahabatnya yang belum menjawab.“Canti, Maa, cantik banget.”“Kayak Miss Universe?” ledeknya.“Yeee, dendam lo sama gue.” seloroh Audy kesal.Mereka tertawa.Di hadapan cermin Alma menatap kedua sahabatnya yang berdiri di belakang tubuhnya, “Gue... gak papa kan ya nikah sama duda beranak?”“Gak papa lah, lagi musim tau.” timpal Audy.“Musim, lo pikir rambutan ada musimnya?”“Ya lo emang gak tau banyak slogan duda semakin di depan? Itu artinya, lo mengikuti trend dengan baik hahaha, iya kan, Zan?”Sezan mengangguk.“Zan, lo mah diem aja kayak kena Malaria. Lo kasih tanggepan dong sama pertanyaan gue.”Sezan melirik Audy lalu menatap Alma lewat cermin, “Ya gak papa dong, Ma, kamu mau nikah sama yang single, sama yang duda, sama aja kok, gak ada bedanya. Yang penting jangan sama....” ia melirik Audy dan Alma.“Dudi dudi dam-dam dudi dudi dam, hahaha.” mereka kompak bernyanyi dan tertawa.“Pada gila lo ya, calon lakik gue lagi degdegan ngadepin ijab qabul, kita malah ketawa-tawa di sini.”Audy menepuk bahu Alma, “Kita sengaja bikin lo gak ikutan tegang. Kalo panik lo kambuh bahaya, bukannya jadi manten, lo jadi pasien lakik lo sendiri, Ma.”Alma nyengir kuda, “Hehe, iya bener juga lo.”Hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Alma memikirkan nasibnya yang akan menjadi istri dari seorang dokter bedah Ahli Dalam, Audy memikirkan nasib genk mereka karena salah satunya sudah sold out dan akan mempengaruhi jadwal rutin mereka untuk berkumpul. Sedang Sezan memikirkan nasib mujur sahabatnya yang di nikahi oleh dokter yang selama ini ia harapkan menjadi suamianya.“Alma, ayo keluar nak, ijab qabulnya udah selesai.” Mama nyelonong masuk ke dalam kamar hotel yang di jadikan ruang makeup.“Udah, ma? Kok cepet banget?”“Cepet lah, ngapain lama-lama?”“Bukan gitu maksud aku.”“Udah, kamu tuh ngomong terus. Awas ya nanti di pelaminan kamu ngomong macem-macem sama Adam.”“Iya, mamah.”Alma berdiri di bantu Audy dan Sezan yang akan memapah sahabatnya untuk keluar kamar dan berjalan menuju ballrom hotel. Alma mengenakan Wedding Dress bergaya Ball Gawn berwarna ivory yang begitu cocok di kenakannya. Rambutnya di gelung ala Lenght Hair yang di tempeli bros bernuansa daun berwarna emas. Tangannya membawa buket bunga tulip putih kesukaannya.“Gue degdegan banget ini.” curhatnya pada kedua sahabatnya yang dengan setia menuntunnya ketika pintu ballroom di buka.“Tenang, Ma, tarik nafas, hembusin. Yang teratur, jangan sampe lo kentut pokoknya.”“Kunyuk lo!” desis Alma pelan.Sezan sudah melotot ke arah Audy yang sempat-sempatnya bercanda ketika momen setengah genting seperti ini.“Iya-iya, maaf bestie.”Langkah kaki mereka kini di dahului oleh orang yang meniupkan sexophone yang memainkan instrumen I Can’t Falling in Love With You. Suasana terasa syahdu dan khidmat. Mata Alma beradu dengan mata Adam yang sudah menunggunya di depan meja ijab qabul bersama papa, penghulu dan beberapa saksi.Alma tidak pernah menyangka takdirnya akan semain-main ini, memiliki pacar yang enggan di ajak bicara serius mengenai hubungan mereka kedepannya, menikah dengan seorang duda beranak balita karena jatuh tempo dari waktu yang di berikan mama, dan menikah seperti tahu bulat yang dadakan gurih-gurih enyoy.“Pengantinnya cantik ya, masih muda.”“Iya, bener cantik. Adam gak salah pilih istri.”Suara-suara pujian itu datang dari tamu undangan yang entah dari pihak keluarga atau teman sejawat suaminya. Tapi Alma menikmati pujian itu. Ia sebagai perempuan tulen pastinya senang di berikan pujian.Mereka masih berjalan melewati foto prewedding yang tersuguh belasan figura. Dengan teknik foto cepat pakai fotografer yang di undang mama ke rumah kemarin setelah acara lamaran, foto prewedding di laksanakan dengan lancar. Sebagian fotonya di edit layaknya mereka sedang berada di padang rumput. Entahlah, Alma yang melihat itu ngakak sendiri rasanya.Begitu mereka sampai, Audy dan Sezan menyerahkan lengan Alma yang sedari tadi mereka pegangi ke arah Adam. Dengan sigap, lelaki yang sudah sah menjadi suami Alma itu menerima tangan kanan Alma dan mengajaknya untuk duduk di kursi ijab untuk menandatangani berkas pernikahan.“Ya, sudah hadir bersama-sama kita mempelai pengantin perempuan yang cantik sekali ya. Almaira Indira Priyawan yang sudah sah menjadi istri dari Adam Peter. Almaira ini merupakan anak tunggal dari Bapak Handoko Priyawan dan Ibu Yuanita Lestari, sedangkan Adam merupakan anak kedua dari Bapak Jordan Peter dan Ibu Asry Putri.” ucap MC acara begitu Alma duduk di samping Adam.Adam tak henti-hentinya melirik ke arah Alma yang duduk di sampingnya. Semua terasa seperti mimpi. Tak lama Alma juga ikut meliriknya. Ia pun tak henti melirik Adam yang tampak tampan dengan setelan jas berwarna hitam yang cocok di kenakannya.“Cantik.”“I know.” balas Alma cekikikkan, “Kamu jelek.”Adam tertawa. Ia harus terbiasa dengan joke anak muda seperti Alma. Bagaimana pun perbedaan usia mereka tidak bisa di ubah. Tahun ini Adam genap berusia 35 tahun, sedangkan Alma baru menginjak 22 tahun. Perbedaan zaman yang mereka jalani mau tak mau akan membuat dua orang ini berbeda persepsi dari segi apapun.***Acara berjalan lancar hingga kini sudah ada di penghujung acara. Tamu yang di undang hanya keluarga inti, teman sejawat dan rekan bisnis orang tua masing-masing. Alma hanya mengundang kedua sahabatnya, sedangakan Adam hanya mengundang satu sahabatnya yang kini sudah pulang duluan karena ada jadwal operasi mendadak.“Alma, gue sama Sezan pamit duluan ya.” Audy berpamitan ketika tamu satu per satu juga berpamitan pada pengantin dan orang tua mempelai.“Loh, kok cepet banget. Ini acaranya kelar bukan berarti lo sama Sezan juga ikut pulang dong.” protes Alma.Audy melirik keberadaan mama Alma yang sedang ngobrol entah dengan siapa. Sebenarnya ia masih ingin di sini, menemani Alma yang baru menjadi istri sehari. Tapi ibu temannya itu memaksanya dan Sezan untuk pulang agar Alma memiliki waktu untuk berduaan dengan Adam.“Gue ada urusan. Si Sezan juga. Iya kan, Zan?” tanyanya pada Sezan.Sezan hanya mengangguk. Orang ini memang kurang banyak bicara.“Pengangguran kayak lo punya acara apaan sih, gaya banget.”“Ih, nyebelin lo. Kemaren-kemaren lo juga pengangguran sibuk terus kan sama si Rio. Gue juga sibuk sama pacar aplikasi gue.”“Pacaran sama aplikasi lo. Ya udah sana pada balik.”Audy mengelus dagu Alma, “Kok ngambek sih. Nanti kan kita bisa ketemu lagi. Kita double date sama dokter Adam. Boleh kan, dok?”Adam yang sedari tadi hanya menjadi pemerhati obrolan istri dan sahabatnya mengangguk, “Dengan syarat gak ada yang manggil dokter. Kalian bukan pasien saya, jadi just call me Adam.”“Kalo mas Adam boleh gak?” goda Audy.“Suaminya Artis Inul kali ah.” lerai Alma.“Yeeee, elo kan manggilnya mas.”“Gak papa lah, gue kan istrinya.”“Huuu dasar, emang gak mau kalah lo. Ya udah gue sama Sezan pamit ya.” Audy bergerak memeluk Alma, di susul Sezan.“Uuuh, kalian harus janji kita tetep bisa kumpul ya.” pinta Alma ketika pelukkan mereka terlepas.Audy dan Sezan mengangguk.“Gampaaang. Lo nanti bawa Tinkerbelle buat kumpul sama kita.” ucap Audy yang di sambut pelotottan dari Alma.Alma melirik Adam yang sudah meliriknya lebih dulu, “Bukan Tinkerbelle, guys namanya.”“Apa dong? Annabelle?” tebak Audy.Alma menggeleng, “Bukan.”“Belle Swans?” tebak Sezan.“Bukan juga. Namanya Belleza.”Audy melongo, “Kayak nama type kulkas.”“Ssssssst, bagus tau namanya. Belleza tuh bahasa Spanyol, artinya cantik.” jawab Alma sambil melirik takut ke arah Adam.“Oh, hehehe, iya cantik banget ya artinya.” Sezan melirik Audy yang masih diam keheranan dengan nama anak sambung Alma.“Ya udah kita balik ya, Ma, happy honeymoon dan sampe ketemu di jadwal kumpul. Byeee. Byee mas Adam ganteng.” goda Audy genit.“Alma, mas, kita pamit ya.” Sezan juga berpamitan.“Iya, hati-hati ya, Dy, Zan.”Selesai acara, Adam akan langsung memboyong Alma ke rumahnya. Bersama Belle yang sedari tadi di jaga mbak Ruth, suster pribadinya, Adam berpamitan pada mama dan mertuanya. “Ma, pa, aku pamit bawa Alma ke rumah. Maaf kita gak bisa dinner bareng karena harus beres-beres di rumah.” Adam berpamitan. “Iya, gak papa nak Adam, mama ngerti banget. Alma juga harus belajar ngerti kalau suaminya ini dokter yang gak bisa dua puluh empat jam di rumah.” tutur mama. Alma tidak memberikkan komentar apa-apa, ia hanya menatap mama sedikit kesal. “Kamu belajar gendong Belle. Sekarang kan Belle jadi anak kamu.” goda papa. “Papa ih.” Alma melirik Belle yang sedang tidur di stroller, “Tuh Belle lagi bobo nyenyak, jangan di gangguin.” “Bisa aja alesannya.” sindir mama. “Yeee biarin.” Mama Asry mengelus-elus lengan Alma yang berdiri di sampingnya, “Kalo belum bisa ikut ngurus Belle, gak papa, kamu bisa liatin dulu.” Alma mengangguk dan tersenyum, “Iya, ma, makasih ya pengertiannya.” “Kita mau lang
Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal.Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama. Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya
“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya. Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.” “Yakin mau mandi?” “Yakin lah. Sana keluar!” “Kamu bukannya dari tadi tidur?” “Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.” “Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.” “Gak usah ngarang. Sana pergi!” Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.” “MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?” “Awas kamu keluar duluuu!” Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya. Ceklek. Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ke
Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.” Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?” Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?” “Itu tau.” “Suster Ruth ikut ‘kan?” “Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.” Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.” “Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?” “Karena aku gak tau harus berbuat apa.” Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.” Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja. “Mama bilang apa barusan?” “Kamu ngadu sama mama?” “Pertanyaan aku bukan itu.” Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, ka
Belle menjadi pusat perhatian di kafe sejak kedatangannya kesini. Kakak Sezan yang akan pergi bekerja pun menyempatkan diri sebentar untuk menggendong dan bermain dengan Belle. “Bang Ar, cepet lah nikah terus kasih cucu buat om tante. Sezan juga kayaknya udah ngebet jadi aunty.” Bang Armand tertawa, “Karir dulu lah, Ma. Kasian, mau di kasih makan apa anak istri abang nanti.” “Kalo nikah sama Audy dikasih makan sehari sekali juga gak papa katanya.” ledek Alma. Audy melotot disebrang meja, “Kunyuk lo ya! Kucing gue aja makannya tiga kali. Ini sehari sekali kayak dapet nasi santunan.” Samua tertawa mendengar jawaban Audy. “Ada-ada aja sih jawaban kamu, Dy.” cuap bang Armand menggelengkan kepalanya. “Kalo ngobrol sama si Alma mah emang harus on otak tuh, bang, biar gak kalah.” balas Audy. “Bang, udah nikahin aja Audy. Kasian tau dia pacaran sama aplikasi.” Bang Armand melirik Audy, “Ah masa sih, cantik gini pacaran sama aplikasi?” Audy salah tingkah mendengar pujian bang Armand.
Belle mendendang-nendang air di bak kecil tempatnya mandi, membuat baju Alma semakin basah. Suster Ruth yang berdiri memegangi handuk di belakang tubuh Alma merasa tidak enak dan takut Alma akan marah.“Belle, pelan-pelan, nak, airnya jadi kena mami tuh.”“Huaaaaa.” Belle menangis kencang tanpa aba-aba membuat Alma tersentak kaget.Alma membuang nafas dan menutup matanya. Meski begitu ia belum menyerah dan ingin terus mencoba mendekati Belle.“Belle, liat ada bebek ikut mandi sama Belle. Tuh bebek aja mandinya tenang, Belle juga yang tenang ya.”“Oaaaaak.”“Belle, tenang ya.”Suster Ruth berdiri khawatir karena Alma tak kunjung meminta bantuan padanya. Ia ingin sekali menawarkan bantuan tapi takutnya Alma masih ingin terus mencoba memandikan Belle sendiri.Alma menoleh, “Sus, aku kasih sus aja nih.”“Iya.” Suster Ruth mengambil alih Belle, “Kamu ganti baju aja, takut masuk angin.”“Gak papa, aku mau nemenin sampe Belle sampe beres mandi.”Suster Ruth diam. Ia tidak mungkin
Pagi-pagi sekali Alma sudah menangkap suara musik instrumen sayup-sayip di kamarnya. Kepalanya yang masih menempel hangat di bantal bergerak melipatnya untuk menutupi telinganya. Tidurnya tetap nyenyak karena merasa ini masih terlalu awal untuk bangun.“Oaaaaaak.”“Ya ampun, Belleeeee!” Alma terduduk sekaligus sambil mengacak-acak rambut dengan frustasi.Ceklek. Pintu terbuka dan menampilkan Adam yang memangku Belle yang tengah menangis kencang berjalan menghampiri Alma yang langsung merebahkan diri dan menutup kepalanya dengan bantal.“Mami banguuun, Belle udah siap beraktivitas nih.”“Keluaaaar!” teriak Alma dengan suara tertahan bantal.“Mami ayo dong kita main.”Alma bangun dan meremas tangannya di hadapan Belle yang menangis semakin kencang. Ia berlari ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam untuk menenangkan diri di dalam.“Sayang, jangan tidur lagi di bathub ya.”“Berisik, mas. Urus aja anak kamu. Gak usah ganggu aku.”Adam dengan sengaja mendekatkan Belle ke pint
Seperginya mobil Adam yang baru melaju meninggalkan pelataran rumah, Alma masuk kembali ke dalam rumah disambut suster Ruth yang mendorong stroller ke arah Alma. “Sus, mau kemana?” “Jalan-jalan aja ke depan, kamu mau ikut?" “Mamu.” Belle mengikuti ucapan suster Ruth. Suster Ruth menganga, ia melirik Belle sebentar dan menatap Alma yang sama kaget dengannya., “Belle, itu mami, bukan kamu, ya. Apa coba Belle? Ma-mi.” “Mamiiii.” Suster Ruth membuang nafas lega, ia menatap Alma, “Mulai sekarang, karena Belle udah makin pinter meniru ucapan orang sekitar, saya panggil kamu mami ya. Nanti saya juga bakal minta bapak manggil kamu mami. Kalo perlu semua orang yang bakal sering ketemu kamu juga harus manggil kamu mami.” Alma mengangguk. “Oke, sus. Aku ngikut aja.” Suster Ruth mengangguk, “Saya keliling komplek dulu ya, mami.” Alma tertawa, “Iya suster Ruth, hati-hati ya.” “Permisi, mami.” Suster Ruth melongokkan kepalanya menatap Belle, “Belle pamitan dulu sama mami. Bilang, mami Be
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny