Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.
“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal. Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama.Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya.“Sus, Belle kenapa, sih?” tanyanya sebelum sampai di kamar Belle dan bertemu suster Ruth.Suster Ruth yang tengah menggendong Belle menatap tidak enak pada Alma yang menampakkan wajah super kesal, “Bu, maaf, kayaknya Belle rewel karena mau tumbuh gigi.”“Alma, bukan ibu!”“Oh iya, maaf, Alma.”Alma melipat kedua tangannya, ia bersender di lawang pintu menatap Belle yang masih menangis, “Terus gimana caranya biar diem?”“Biasanya saya kasih mainan gigi, Belle bisa tenang. Tapi gak tau kenapa ini rewel banget dari kemarin.”“Tapi kalo di gendong papanya dia diem, kan?”Suster Ruth mengangguk.“Emang kangen kali tuh sama papanya.”“Mungkin.”Alma melapaskan lipatan tangannya dan berjalan ke arah kamar untuk mengambil ponselnya. Ia melihat last seen akun chat milik Audy. Pukul dua pagi. Anaknya sekarang pasti masih merajut mimpi. Ia melihat last seen akun milik Sezan, satu jam lalu. Sahabatnya itu pasti masih sibuk bantu-bantu orangtuanya di dapur untuk mempersiapkan keperluan caffe milik keluarganya.“Pengantin lain bangun tidur mesra-mesraan, gue stress denger si Belle nangis. Mana mas Adam belum pulang lagi. Kenapa sih hidup gue merana gini. Gue butuh sosok suami yang bucin sama gue bukan bucin sama pasien.”Dengan perasaaan masih super kesal, Alma berjalan keluar kamarnya membawa ponselnya. Ia berdiri di balkon melihat perubahan awan gelap menjadi terang. Udaranya terasa sejuk sekali. Matanya tertutup merasakan angin pagi menerpa kulit wajahnya. “Permisi,” Alma membuka matanya dan membalikkan badan, “Sus?” “Mau kopi?” “Aku gak suka kopi. Teh aja.” Suster Ruth mengangguk, “Bentar ya.” “Oke.” Alma mengernyit. Kenapa suster Ruth menawarinya minum? Apakah mahluk kecil menyebalkan itu sudah tidur? Sepertinya sih begitu, karena suara raungannya tak lagi terdengar kemari. Ia mengendikkan bahunya tidak peduli. Tak lama suster Ruth kembali membawa dua gelas berisi teh, “Minuman datang.” Alma tertawa. Ia mengambil salah satu gelasnya, “Makasih, sus.” “Sama-sama.” Suster Ruth berdiri disamping Alma yang kini menggenggam gelas putih hangat itu, “Alma, maaf ya kalo tidurnya terganggu.” Alma melirik suster Ruth tersenyum, “Gak papa, nanti aku bisa tidur siang, itu pun kalo Belle gak rewel.” Suster Ruth tertawa. “Mas Adam biasanya pulang jam berapa?” tanyanya sambil menyesap teh. “Biasanya jam delapan.” Alma mengangguk. Ia kembali melirik suster Ruth, “Suster udah kerja sama mas Adam sejak Belle bayi?” Suster Ruth mengangguk, “Iya. Dulu saya kerja di RS yang sama dengan dokter Adam. Waktu itu saya mutusin resign karena terlibat masalah sama rekan kerja.” “Hah? Kenapa?”“Biasa, saya di bilang kerjanya gak bener, selalu datang telat. Saya pikir temen saya itu emang gak suka sama saya, ternyata emang begitu sifatnya. Sama yang lain juga begitu.”“Oh, dia cari muka kali.”“Bisa jadi. Saya ngerasa gak kuat kalo terus-terusan berantem sama rekan kerja, rasanya jadi gak nyaman. Saya mutusin resign, eh dokter Adam bilang mending saya kerja sama beliau buat jaga anaknya dirumah.”“Seneng dong gak jadi nganggur?”“Hahaha.” mereka tertawa bersama.“Mas Adam galak gak sih?”Suster Ruth menatap Alma. Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia menyesap teh miliknya terlebih dulu, “Gimana ya. Dokter Adam itu tegas sih menurut saya. Meskipun jarang senyum, tapi baik dan pengertian.”“Oyah?”Suster Ruth mengangguk, “Temen saya juga ada yang memutuskan jadi baby sitter di rumah. Dia bilang majikannya galak gak jelas. Kerjanya protesss mulu. Kalo dokter Adam gak akan marah kalo ada apa-apa sama Belle di luar kuasa saya sebagai sitternya.”“Oh gitu. Oyah, kalo suster kerja sama mas Adam dari Belle lahir, berarti suster kenal sama mamanya Belle?”Suster Ruth mengangguk, “Kenal. Mamanya Belle dokter di rumah sakit yang sama di tempat saya kerja.”“Dokter bedah juga?”“Iya. Dulu mereka saingan. Gak ada yang pernah nyangka mereka jadi suami istri.”Alma tersenyum.Ketika mereka sama-sama tengah menyesap teh masing-masing, dari dalam terdengar suara tangisan menggelegar dari Belle, siapa lagi. Suster Ruth melirik tidak enak membuat Alma tertawa dan mengusap-usap bahunya.“Sus, aku yang minta maaf.”Suster Ruth mengernyit, “Kok Ibu, eh kok kamu yang minta maaf?”“Belle kan anak aku sekarang. Maaf ya dia resek.”Mereka tertawa bersama-sama.“Saya masuk dulu ya, mau nenangin anak kamu.”Alma mengangguk sambil tertawa.Suster Ruth berlalu ke dalam rumah. Alma kembali menyesap teh miliknya. Ia senang bisa menjalin hubungan baik dengan suster Ruth. Memang harus begitu. Ia tidak mungkin hanya diam saja dirumah ini tanpa teman bicara karena suaminya entah kapan ada di rumah.“Badan gue kok pegel-pegel ya? Berendam dulu kayaknya enak deh.”Alma berjalan masuk ke dalam kamar dan akan memanjakkan dirinya dengan berendam di temani lilin aromaterapi dengan aroma bunga ros dan alunan instrumen.Ia melenggang berjalan memakai piyama tidur berwarna biru navy ke dalam toilet kamar utamanya yang luas. Perlahan, tangannya membuka tali piyama dan memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Andai malam tadi terjadi malam pertamanya dengan Adam, entah, Alma akan suka atau tidak.Alma terkikik sendiri membayangkan bayangan gila dalam pikirannya. Meski belum mencintai Adam, tapi ia tidak bisa memungkiri bahwa suaminya adalah lelaki tampan berbadan atletis yang pasti di inginkan banyak wanita. Ia beruntung menjadi istrinya meski belum bisa memiliki waktu intim berdua.“Ngaco. Ma, lo mikir apa sih. Bisa-bisanya lo mikirin hal gila sama mas Adam sedangkan status lo masih pacar Mario.” tuturnya pada diri sendiri sambil menyiapkan sabun dan memasukkannya ke dalam bathub. “Tapi... salah siapa Rio gak maju-maju, keburu di embat kan gue jadinya.”Alma mengumpulkan air hingga perlahan air berbusa itu sudah hampir memenuhi isi bathub. Ia menyalakan lilin aromaterapi milik suaminya. Setelah beberapa saat ia membaui aromanya. Aroma apa ini?Alma berkacak pinggang kesal, “Dasar tua, beli lilin aromaterapi wangi bunga kek, Eucalyptus gitu, atau Chamomile. Ini apaan, bau kayu.”Meski kurang menikmati aroma yang ia hirup, Alma tidak mau merusak harinya yang sudah berantakkan dengan masalah sepele begini. Ia melangkah masuk ke dalam bathub dan terduduk santai memainkan ponselnya untuk memutar instrumen lagu.“Enak banget.” gumamnya menikmati air hangat yang memasuki celah porinya.Ponsel Alma sudah memutar lima lagu instrumen. Sejak instrumen pertama selesai, matanya sudah terkatup sempurna. Alma memang kebo. Tidak peduli sedang dimana dan sedang apa, ia akan tetap tertidur dengan pulas. Apalagi kini di dukung rendaman air hangat, makin cepat pulasnya.Ketika Alma dengan santai tidur di bathub, mobil Adam baru sampai halaman rumah. Dengan tidak enak ia berjalan cepat untuk menemui istrinya yang mungkin tengah merajuk karena ia tidak menemaninya tidur semalam sebagai pasangan pengantin baru. Bagaimana pun Alma belum terbiasa dengan statusnya menjadi seorang istri, juga belum terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter bedah yang memiliki waktu sedikit di rumah.Namun, betapa terkejutnya ketika Adam masuk kamar dan tidak mendapati Alma di kasur. Ia pikir istrinya masih tidur atau sedang memainkan ponsel di kasur. Ia bergerak ke kamar mandi dan menahan tawa ketika melihat istrinya ternyata sedang tidur dan berendam di bathub.“Dasar putri tidur. Bisa-bisanya tidur sambil berendam.”Adam membuka bajunya. Ia mencuci tangan dan membasuh mukanya. Ketika akan beranjak keluar, ia melirik Alma yang mengecap ketika tidur. Adam tertawa kecil dan memutuskan untuk mandi lalu membangunkan Alma dan mereka akan sarapan bersama.Adam membuka celana bahan Chino berwarna cream. Ia menaruhnya di atas tumpukkan baju kotor di pojok ruangan. Perlahan, tangannya membuka celana boxer serta celana dalamnya sambil bersenandung riang.Alma yang merasa ada orang lain disini membuka matanya. Ia mendapati ada Adam yang tengah merapikan baju kotor dengan keadaan telanjang bulat. Ia yang belum sadar sepenuhnya mengira ini mimpi. Namun perasaan dingin yang kulitnya rasakan, karena air yang menggenang di bathub sudah berubah dingin, membuatnya tersadar kalau ini bukanlah mimpi. Matanya melotot ketika hal pertama yang di lihatnya secara jelas adalah aset pribadi milik suaminya.“AAAAAA!” pekik Alma kencang.“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya. Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.” “Yakin mau mandi?” “Yakin lah. Sana keluar!” “Kamu bukannya dari tadi tidur?” “Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.” “Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.” “Gak usah ngarang. Sana pergi!” Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.” “MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?” “Awas kamu keluar duluuu!” Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya. Ceklek. Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ke
Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.” Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?” Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?” “Itu tau.” “Suster Ruth ikut ‘kan?” “Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.” Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.” “Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?” “Karena aku gak tau harus berbuat apa.” Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.” Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja. “Mama bilang apa barusan?” “Kamu ngadu sama mama?” “Pertanyaan aku bukan itu.” Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, ka
Belle menjadi pusat perhatian di kafe sejak kedatangannya kesini. Kakak Sezan yang akan pergi bekerja pun menyempatkan diri sebentar untuk menggendong dan bermain dengan Belle. “Bang Ar, cepet lah nikah terus kasih cucu buat om tante. Sezan juga kayaknya udah ngebet jadi aunty.” Bang Armand tertawa, “Karir dulu lah, Ma. Kasian, mau di kasih makan apa anak istri abang nanti.” “Kalo nikah sama Audy dikasih makan sehari sekali juga gak papa katanya.” ledek Alma. Audy melotot disebrang meja, “Kunyuk lo ya! Kucing gue aja makannya tiga kali. Ini sehari sekali kayak dapet nasi santunan.” Samua tertawa mendengar jawaban Audy. “Ada-ada aja sih jawaban kamu, Dy.” cuap bang Armand menggelengkan kepalanya. “Kalo ngobrol sama si Alma mah emang harus on otak tuh, bang, biar gak kalah.” balas Audy. “Bang, udah nikahin aja Audy. Kasian tau dia pacaran sama aplikasi.” Bang Armand melirik Audy, “Ah masa sih, cantik gini pacaran sama aplikasi?” Audy salah tingkah mendengar pujian bang Armand.
Belle mendendang-nendang air di bak kecil tempatnya mandi, membuat baju Alma semakin basah. Suster Ruth yang berdiri memegangi handuk di belakang tubuh Alma merasa tidak enak dan takut Alma akan marah.“Belle, pelan-pelan, nak, airnya jadi kena mami tuh.”“Huaaaaa.” Belle menangis kencang tanpa aba-aba membuat Alma tersentak kaget.Alma membuang nafas dan menutup matanya. Meski begitu ia belum menyerah dan ingin terus mencoba mendekati Belle.“Belle, liat ada bebek ikut mandi sama Belle. Tuh bebek aja mandinya tenang, Belle juga yang tenang ya.”“Oaaaaak.”“Belle, tenang ya.”Suster Ruth berdiri khawatir karena Alma tak kunjung meminta bantuan padanya. Ia ingin sekali menawarkan bantuan tapi takutnya Alma masih ingin terus mencoba memandikan Belle sendiri.Alma menoleh, “Sus, aku kasih sus aja nih.”“Iya.” Suster Ruth mengambil alih Belle, “Kamu ganti baju aja, takut masuk angin.”“Gak papa, aku mau nemenin sampe Belle sampe beres mandi.”Suster Ruth diam. Ia tidak mungkin
Pagi-pagi sekali Alma sudah menangkap suara musik instrumen sayup-sayip di kamarnya. Kepalanya yang masih menempel hangat di bantal bergerak melipatnya untuk menutupi telinganya. Tidurnya tetap nyenyak karena merasa ini masih terlalu awal untuk bangun.“Oaaaaaak.”“Ya ampun, Belleeeee!” Alma terduduk sekaligus sambil mengacak-acak rambut dengan frustasi.Ceklek. Pintu terbuka dan menampilkan Adam yang memangku Belle yang tengah menangis kencang berjalan menghampiri Alma yang langsung merebahkan diri dan menutup kepalanya dengan bantal.“Mami banguuun, Belle udah siap beraktivitas nih.”“Keluaaaar!” teriak Alma dengan suara tertahan bantal.“Mami ayo dong kita main.”Alma bangun dan meremas tangannya di hadapan Belle yang menangis semakin kencang. Ia berlari ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam untuk menenangkan diri di dalam.“Sayang, jangan tidur lagi di bathub ya.”“Berisik, mas. Urus aja anak kamu. Gak usah ganggu aku.”Adam dengan sengaja mendekatkan Belle ke pint
Seperginya mobil Adam yang baru melaju meninggalkan pelataran rumah, Alma masuk kembali ke dalam rumah disambut suster Ruth yang mendorong stroller ke arah Alma. “Sus, mau kemana?” “Jalan-jalan aja ke depan, kamu mau ikut?" “Mamu.” Belle mengikuti ucapan suster Ruth. Suster Ruth menganga, ia melirik Belle sebentar dan menatap Alma yang sama kaget dengannya., “Belle, itu mami, bukan kamu, ya. Apa coba Belle? Ma-mi.” “Mamiiii.” Suster Ruth membuang nafas lega, ia menatap Alma, “Mulai sekarang, karena Belle udah makin pinter meniru ucapan orang sekitar, saya panggil kamu mami ya. Nanti saya juga bakal minta bapak manggil kamu mami. Kalo perlu semua orang yang bakal sering ketemu kamu juga harus manggil kamu mami.” Alma mengangguk. “Oke, sus. Aku ngikut aja.” Suster Ruth mengangguk, “Saya keliling komplek dulu ya, mami.” Alma tertawa, “Iya suster Ruth, hati-hati ya.” “Permisi, mami.” Suster Ruth melongokkan kepalanya menatap Belle, “Belle pamitan dulu sama mami. Bilang, mami Be
Alma tengah memasukkan chiken katsu dan bumbu kari ke dalam wadah terpisah. Tak lupa ia juga memasukkan nasi dan buah potong berupa kiwi gold dan potongan jeruk sunkist agar suaminya itu memujinya kalau ia adalah istri yang sigap dan memperhatikan gizi suami.Setelah selesai, semua lunch box di masukkan ke dalam goodie bag. Suster Ruth yang baru turun tangga membawa Belle yang baru bangun tidur. Untungnya di siang yang terik ini anak menyebalkan itu tidak rewel dan hanya menatap Alma yang sedang tidak mood untuk menggodanya. Suster Ruth menaruh Belle di stroller dekat Alma, “Tuh liat, Belle, mami mau pergi. Coba tanya sama Belle, mami mau pergi kemana.” Alma melirik Belle sekilas. Ia hanya tersenyum tanpa memulai sebuah topik, “Sus, nanti mungkin aku agak lama karena mau ngambil barang dulu di rumah mama.” “Oh iya, mami.” Alma berdiri tegap dan menatap suster Ruth, “Kalo mas Adam gak suka sama masakan aku gimana ya, sus? Aku pasti sedih banget deh.” Suster Ruth mengelus bahu Al
“Sayang?” Adam mengelus lengan Alma, “Kamu ada apa kesini?”Alma menatap Adam. Ia menyerahkan goodie bag pada suaminya itu, “Aku baru belajar masak. Cobain.”Adam mengangguk, “Makasih ya, sayang.”Alma kembali menatap Sezan, “Lo nganterin makan siang buat siapa?”Sezan gelagapan, “Eu... ini aku anterin makan siang buat abang.”Alma melihat sekeliling kolidor, “Mana bang Armand? Makan siangnya di titipin ke mas Adam?” tanyanya dengan nada ketus.“Sayang, kok gitu nanyanya?” Adam kembali mengelus lengan Alma. “Kafe kita bikin menu baru. Amih sama apih bilang bagiin aja dulu sebelum menunya jadi menu tetap. Jadi aku bawain buat mas Adam, aku titipin juga buat kamu.”Alma menatap kotak rice bowl yang hanya ada satu buah tengah di genggam Adam, “Oh, aku disuruh makan berdua sama mas Adam?”Sezan diam menunduk.Adam yang merasa tidak enak dengan sikap dan ucapan Alma yang terkesan arogan pada Sezan, menarik badan istrinya untuk segera masuk ke dalam ruangannya.“Sezan makasih banyak, y
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny