Beranda / Pernikahan / (BUKAN) Duda Biasa / 5. Malam Pertama Istri Dokter

Share

5. Malam Pertama Istri Dokter

Selesai acara, Adam akan langsung memboyong Alma ke rumahnya. Bersama Belle yang sedari tadi di jaga mbak Ruth, suster pribadinya, Adam berpamitan pada mama dan mertuanya.

“Ma, pa, aku pamit bawa Alma ke rumah. Maaf kita gak bisa dinner bareng karena harus beres-beres di rumah.” Adam berpamitan.

“Iya, gak papa nak Adam, mama ngerti banget. Alma juga harus belajar ngerti kalau suaminya ini dokter yang gak bisa dua puluh empat jam di rumah.” tutur mama.

Alma tidak memberikkan komentar apa-apa, ia hanya menatap mama sedikit kesal.

“Kamu belajar gendong Belle. Sekarang kan Belle jadi anak kamu.” goda papa.

“Papa ih.” Alma melirik Belle yang sedang tidur di stroller, “Tuh Belle lagi bobo nyenyak, jangan di gangguin.”

“Bisa aja alesannya.” sindir mama.

“Yeee biarin.”

Mama Asry mengelus-elus lengan Alma yang berdiri di sampingnya, “Kalo belum bisa ikut ngurus Belle, gak papa, kamu bisa liatin dulu.”

Alma mengangguk dan tersenyum, “Iya, ma, makasih ya pengertiannya.”

“Kita mau langsung aja.” Adam memimpin antrean dengan Alma untuk salim bergantian pada mama lalu pada mertuanya.

“Papa titip Alma ya, nak Adam. Maaf kalau semisal Alma manja dan berisik.” Papa mewakili mama meminta maaf pada Adam.

Adam tertawa, “Iya, pah, gak papa, resiko menikahi abege ya begini.”

Alma mendengus kesal ketika pelukannya baru terlepas dari mama, “Ish, aku bukan abege ya. Aku udah gede.”

Adam mengacak-acak rambut istrinya, “Iya, bukan abege tapi atua. Anak baru tua hahaha.”

“Ih, nyebelin banget sih.”

Semua tertawa mendengar keributan mereka.

“Pa, ma, semuanya, Adam pamit ya.” Adam mengangguk sopan.

“Iya, hati-hati ya kalian.” mama menyeka setitik air matanya yang turun untuk melepas kepergian anak tunggalnya.

Alma melambaikan tangannya ke arah papa-mama dan mama Asry dan menghilang di balik pintu ballroom hotel.

Mobil yang di kendarain Adam langsung melesat di jalanan. Di dalam mobil, Alma duduk di kursi depan di samping Adam. Suster Ruth yang sedang menenangkan Belle yang menangis di carseat di kursi belakang, membuat Adam melirik istrinya yang malah asik main ponsel.

“Sssst.”

Alma tidak menggubris sahutan Adam. Ia malah asik membalas chat Audy dan tertawa terbahak-bahak.

“Mama Belle?” panggil Adam.

“Hahaha.” Alma tertawa semakin kencang, membuat Adam dan Ruth keheranan.

“Alma?”

Alma menoleh, ia menatap suaminya yang menatapnya serius, “Kenapa?”

“Kamu gak denger di panggil dari tadi?”

Alma mengernyit, “Kamu kan manggil aku barusan aja.”

“Dari tadi, mama Belle.”

Alma melongo, “Mama Belle?” ia menengok ke arah Belle yang menangis di kursi belakang.

“Iya, kamu kan sekarang mamanya Belle.”

Alma kembali duduk tegap menghadap depan, “Aku gak suka di panggil mama Belle.”

“Terus maunya di panggil apa? Bunda?”

“Dih, gak mau.”

“Ibu?”

“Gak. Aku mau di panggil.... mami.”

Adam melirik Alma, “Mami? Mami Belle?”

“Ish kenapa sih Belle nya harus ikutan. Mami Alma lah.”

“Kan kamu maminya Belle.”

Alma diam sejenak lalu melirik Adam kesal. “Iya-iya, mami Belle.”

“Karena sekarang kamu maminya Belle, coba kamu tenangin Belle.” tunjuk Adam pada Belle yang masih menangis di pangkuan suster Ruth.

“Ta-tapi,” Alma melirik ke belakang, menatap Belle yang menangis kencang entah mau apa. “Oke aku coba. Suster, maaf.”

Ruth menyerahkan Belle dengan hati-hati pada Alma, meski merasa majikan barunya ini tidak akan bisa menenangkan Belle, sudah lah coba saja dulu.

“Maaf, bu.”

“Iya. Sssstt, Belle, ini mami Alma, Belle jangan nangis lagi ya cup-cup-cup.”

Adam dan Ruth memperhatikan bagaimana cara Alma menenangkan Belle. Sungguh kaku. Tapi Adam tetap tersenyum senang karena ia yakin istrinya sudah bersusah payah membuat Belle berhenti menangis.

“Belle sayang, coba liat di jalan banyak mobil sama motor. Belle mau naek motor gak?”

“Oaaaaaak.” suara Belle semakin kencang terdengar.

Alma melirik Adam dan suster Ruth silih berganti, “Ini gimana dong, kok makin kenceng sih nangisnya?”

“Itu karena Belle sama kamu sama-sama belum terbiasa, gak papa, nanti juga Belle reda sendiri.”

“Cup-cup, Belleza tenang ya, ini kan udah di gendong mami Alma.”

“Oaaaaaak.”

“Mas! Udah ah aku gak mau pegang Belle lagi, telinga aku sakit.” Alma menengok ke kursi belakang, “Sus, tolong bawa Belle lagi.”

“Iya, bu.” Suster Ruth kembali menggendong Belle di pangkuannya.

Alma menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia melirik sinis ke arah Adam yang bersenandung berusaha menenangkan Belle. Harusnya ia ingat pada hal ini, bahwa suaminya adalah duda beranak balita dan doyan menangis. Ia menyesal menikah dengan Adam kalau begini ceritanya.

Tak lama mobil sampai di sebuah rumah besar bergaya Mediterania. Begitu mobil berhenti, Adam langsung membuka setbealt dan bergegas turun dari mobil untuk menggendong Belle.

“Aduh-aduh anak papa kenapa, nak? Hm? Kamu sumpek ya di dalem terus? Pengen lihat awan?” cerocos Adam ketika Belle berhasil di peluknya.

Seketika Belle berhenti menangis. Raut mukanya yang semula mengkerut berubah cerah.

“Emang pengen sama kamu itu, mas. Nanti kalo Belle nangis aku gak mau gendong dia lagi.”

Adam hanya menatap Alma tanpa bicara. Adam melirik suster Ruth, “Sus, tolong anter ibu ke kamar ya, mungkin ibu mau langsung istirahat. Belle biar sama saya dulu.”

“Baik, pak, mari bu.”

“Aku mau keliling rumah dulu, boleh?” tanya Alma datar.

Adam mengangguk, “Kamu masuk aja dulu, koper nanti biar aku yang bawa.”

Alma mengangguk, ia berjalan di buntuti suster Ruth yang akan menemaninya keliling rumah. Begitu sampai depan pintu, suster Ruth memasang jampolnya di bagian kotak fingerprint dan pintu langsung terbuka.

“Di dalem ada orang, sus?”

“Gak ada, bu.”

Alma berhenti melangkah, “Di rumah cuma ada kalian selama ini?”

“Iya bu, tapi rutin dua hari sekali ada yang bersih-bersih rumah. Ibu jangan salah paham ya, meskipun kami hanya berdua, aman kok bu, tidak pernah terjadi apa-apa.”

“Siapa yang nuduh kalian macem-macem?”

“Hehehe takutnya, bu.”

“Yang masak sehari-hari siapa?”

“Bapak, bu.”

“Kalo bapak kerja?”

“Ya kalo bapak kerja, bapak kan makannya di rumah sakit, kalo saya emang gak makan masakan bapak, saya suka beli lauk di rumah makan depan bu, jadi di rumah cuma nanak nasi.”

Alma mengernyit, “Kayak anak kos.”

“Bapak bilang ibu jago masak, jadi setelah ada ibu tugas masak jadi di lakuin ibu.”

“Hah? Jago masak dari Hongkong, ngada-ngada tuh orang. Aku gak bisa masak.” Alma melenggangkan kakinya dengan marah ke dalam rumah.

Selama menyusuri rumah suaminya Alma terpukau melihat semuanya tertata rapi dan bersih. Ia tidak menyangka bahwa suaminya memiliki rumah dan selera yang bagus. Lihat lah barang-barang dirumah ini begitu bagus dan kekinian. Jiwanya muda juga ternyata, tidak seperti usianya yang sudah menjelang dewasa akhir.

“Oyah, sus, gak usah panggil ibu, panggil aja Alma.” pintanya sambil terus berjalan.

“Tapi, bu.”

Alma membalikkan badannya, “Umur suster berapa?”

“Saya... dua enam, bu.”

“Aku baru dua-dua, jadi gak papa panggil Alma aja.”

“Aduh, saya gak berani, bu, nanti bapak marah.”

Alma mencari suaminya yang mungkin sudah datang kesini, “Tua bangka kayak dia gak usah kamu takutin. Aku tau kamu mau sopan sama aku, tapi aku risih di panggil ibu. Udah Alma aja.”

“Ta-tapi, bu-”

“Alma, titik. Mana kamar aku?”

“Di atas, bu, eh Alma.”

“Oke, aku ke atas aja sendiri.”

Alma berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ia akan menjadi nyonya di rumah ini. Betapa senang hatinya. Impiannya memiliki rumah begitu menikah ternyata bisa ia wujudkan. Meskipun sebenarnya dalam angannya yang menjadi suaminya adalah Mario, pacarnya. Tapi ah, sudahlah, masa bodo dengan kehidupan Mario sekarang. Bukan kah lelaki itu yang mulai menghianatinya duluan? Maka dari itu ia balas dengan yang lebih-lebih dengan menikah tanpa memberi tahunya.

***

“Kamu mau kemana? Ini kan udah malem, mas. Bukannya tidur kenapa kamu malah mau ke rumah sakit?” Alma mengejar Adam yang berjalan cepat menuruni tangga.

Adam membalikkan badannya ketika selesai menuruni tangga, “Ada pasien yang anfal, aku harus periksa sendiri karena waktu kemarin operasi aku dokter utamanya.”

“Tapi kan ini malem pertama kita, mas.”

“Iya, aku tau.”

Alma diam sejenak, ia baru sadar dengan ucapannya yang mengatakan kalimat itu. Ucapannya terdengar begitu agresif, “Eum, maksud aku, tadinya aku pengen ngobrol lebih banyak sama kamu.”

“Aku minta maaf. Kita mungkin bisa atur jadwal ulang.”

Alma tidak menjawab. Ia terlanjur malu dan tak ingin menambah kalimat agresifnya lagi.

“Aku mungkin pulang besok pagi, tapi bisa juga siang karena harus terus observasi pasien.”

Alma mengangguk.

“Untuk uang bulanan, setelah urusan di rumah sakit beres aku langsung transfer ke rekening kamu.”

“Iya, mas.”

Adam nampak salah tingkah. Ia ingin sekali mencium kening Alma, tapi takutnya Alma akan kaget dan menambah PR nya untuk menjelaskan bahwa itu adalah hal lumrah yang di lakukan suami istri.

“Kok kamu diem aja, katanya buru-buru.”

“Iya, aku pergi.”

Alma menggerak-gerakkan pipinya menggunakan lidah sehingga pipinya terlihat tengah mengulum permen kojek.

“Kamu sakit gigi?”

“Bukaan, tapi-” Alma kembali melakukan hal semula.

“Apa?”

“Ci-um, mas.”

Adam menahan tawanya, ia bergerak mendekati Alma yang berdiri di ujung tangga dan menciumnya.

Cup!

“Aku pergi ya.”

Alma mengangguk tersenyum. Matanya berbinar begitu melihat suaminya salah tingkah setelah mencium pipinya.

“Itu baru pipi, mas, belum yang lain.”

Adam terlihat malu mendengar ucapan Alma, “Oke, aku pergi.”

“Iyaaa, dari tadi pamitan terus tapi diem aja.”

“Ini beneran pergi. Kamu langsung tidur ya. Oyah, aku titip Belle.”

Ekspresi wajah Alma yang semula cerah mendadak mendung begitu mendengar nama balita resek yang mengganggu kelangsungan hidupnya.

“Hm, iya, mas.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status