Selesai acara, Adam akan langsung memboyong Alma ke rumahnya. Bersama Belle yang sedari tadi di jaga mbak Ruth, suster pribadinya, Adam berpamitan pada mama dan mertuanya.
“Ma, pa, aku pamit bawa Alma ke rumah. Maaf kita gak bisa dinner bareng karena harus beres-beres di rumah.” Adam berpamitan.“Iya, gak papa nak Adam, mama ngerti banget. Alma juga harus belajar ngerti kalau suaminya ini dokter yang gak bisa dua puluh empat jam di rumah.” tutur mama.Alma tidak memberikkan komentar apa-apa, ia hanya menatap mama sedikit kesal.“Kamu belajar gendong Belle. Sekarang kan Belle jadi anak kamu.” goda papa.“Papa ih.” Alma melirik Belle yang sedang tidur di stroller, “Tuh Belle lagi bobo nyenyak, jangan di gangguin.”“Bisa aja alesannya.” sindir mama.“Yeee biarin.”Mama Asry mengelus-elus lengan Alma yang berdiri di sampingnya, “Kalo belum bisa ikut ngurus Belle, gak papa, kamu bisa liatin dulu.”Alma mengangguk dan tersenyum, “Iya, ma, makasih ya pengertiannya.”“Kita mau langsung aja.” Adam memimpin antrean dengan Alma untuk salim bergantian pada mama lalu pada mertuanya.“Papa titip Alma ya, nak Adam. Maaf kalau semisal Alma manja dan berisik.” Papa mewakili mama meminta maaf pada Adam.Adam tertawa, “Iya, pah, gak papa, resiko menikahi abege ya begini.”Alma mendengus kesal ketika pelukannya baru terlepas dari mama, “Ish, aku bukan abege ya. Aku udah gede.”Adam mengacak-acak rambut istrinya, “Iya, bukan abege tapi atua. Anak baru tua hahaha.”“Ih, nyebelin banget sih.”Semua tertawa mendengar keributan mereka.“Pa, ma, semuanya, Adam pamit ya.” Adam mengangguk sopan.“Iya, hati-hati ya kalian.” mama menyeka setitik air matanya yang turun untuk melepas kepergian anak tunggalnya.Alma melambaikan tangannya ke arah papa-mama dan mama Asry dan menghilang di balik pintu ballroom hotel.Mobil yang di kendarain Adam langsung melesat di jalanan. Di dalam mobil, Alma duduk di kursi depan di samping Adam. Suster Ruth yang sedang menenangkan Belle yang menangis di carseat di kursi belakang, membuat Adam melirik istrinya yang malah asik main ponsel.“Sssst.”Alma tidak menggubris sahutan Adam. Ia malah asik membalas chat Audy dan tertawa terbahak-bahak.“Mama Belle?” panggil Adam.“Hahaha.” Alma tertawa semakin kencang, membuat Adam dan Ruth keheranan.“Alma?”Alma menoleh, ia menatap suaminya yang menatapnya serius, “Kenapa?”“Kamu gak denger di panggil dari tadi?”Alma mengernyit, “Kamu kan manggil aku barusan aja.”“Dari tadi, mama Belle.”Alma melongo, “Mama Belle?” ia menengok ke arah Belle yang menangis di kursi belakang.“Iya, kamu kan sekarang mamanya Belle.”Alma kembali duduk tegap menghadap depan, “Aku gak suka di panggil mama Belle.”“Terus maunya di panggil apa? Bunda?”“Dih, gak mau.”“Ibu?”“Gak. Aku mau di panggil.... mami.”Adam melirik Alma, “Mami? Mami Belle?”“Ish kenapa sih Belle nya harus ikutan. Mami Alma lah.”“Kan kamu maminya Belle.”Alma diam sejenak lalu melirik Adam kesal. “Iya-iya, mami Belle.”“Karena sekarang kamu maminya Belle, coba kamu tenangin Belle.” tunjuk Adam pada Belle yang masih menangis di pangkuan suster Ruth.“Ta-tapi,” Alma melirik ke belakang, menatap Belle yang menangis kencang entah mau apa. “Oke aku coba. Suster, maaf.”Ruth menyerahkan Belle dengan hati-hati pada Alma, meski merasa majikan barunya ini tidak akan bisa menenangkan Belle, sudah lah coba saja dulu.“Maaf, bu.”“Iya. Sssstt, Belle, ini mami Alma, Belle jangan nangis lagi ya cup-cup-cup.”Adam dan Ruth memperhatikan bagaimana cara Alma menenangkan Belle. Sungguh kaku. Tapi Adam tetap tersenyum senang karena ia yakin istrinya sudah bersusah payah membuat Belle berhenti menangis.“Belle sayang, coba liat di jalan banyak mobil sama motor. Belle mau naek motor gak?”“Oaaaaaak.” suara Belle semakin kencang terdengar.Alma melirik Adam dan suster Ruth silih berganti, “Ini gimana dong, kok makin kenceng sih nangisnya?”“Itu karena Belle sama kamu sama-sama belum terbiasa, gak papa, nanti juga Belle reda sendiri.”“Cup-cup, Belleza tenang ya, ini kan udah di gendong mami Alma.”“Oaaaaaak.”“Mas! Udah ah aku gak mau pegang Belle lagi, telinga aku sakit.” Alma menengok ke kursi belakang, “Sus, tolong bawa Belle lagi.”“Iya, bu.” Suster Ruth kembali menggendong Belle di pangkuannya.Alma menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia melirik sinis ke arah Adam yang bersenandung berusaha menenangkan Belle. Harusnya ia ingat pada hal ini, bahwa suaminya adalah duda beranak balita dan doyan menangis. Ia menyesal menikah dengan Adam kalau begini ceritanya.Tak lama mobil sampai di sebuah rumah besar bergaya Mediterania. Begitu mobil berhenti, Adam langsung membuka setbealt dan bergegas turun dari mobil untuk menggendong Belle.“Aduh-aduh anak papa kenapa, nak? Hm? Kamu sumpek ya di dalem terus? Pengen lihat awan?” cerocos Adam ketika Belle berhasil di peluknya.Seketika Belle berhenti menangis. Raut mukanya yang semula mengkerut berubah cerah.“Emang pengen sama kamu itu, mas. Nanti kalo Belle nangis aku gak mau gendong dia lagi.”Adam hanya menatap Alma tanpa bicara. Adam melirik suster Ruth, “Sus, tolong anter ibu ke kamar ya, mungkin ibu mau langsung istirahat. Belle biar sama saya dulu.”“Baik, pak, mari bu.”“Aku mau keliling rumah dulu, boleh?” tanya Alma datar.Adam mengangguk, “Kamu masuk aja dulu, koper nanti biar aku yang bawa.”Alma mengangguk, ia berjalan di buntuti suster Ruth yang akan menemaninya keliling rumah. Begitu sampai depan pintu, suster Ruth memasang jampolnya di bagian kotak fingerprint dan pintu langsung terbuka.“Di dalem ada orang, sus?”“Gak ada, bu.”Alma berhenti melangkah, “Di rumah cuma ada kalian selama ini?”“Iya bu, tapi rutin dua hari sekali ada yang bersih-bersih rumah. Ibu jangan salah paham ya, meskipun kami hanya berdua, aman kok bu, tidak pernah terjadi apa-apa.”“Siapa yang nuduh kalian macem-macem?”“Hehehe takutnya, bu.”“Yang masak sehari-hari siapa?”“Bapak, bu.”“Kalo bapak kerja?”“Ya kalo bapak kerja, bapak kan makannya di rumah sakit, kalo saya emang gak makan masakan bapak, saya suka beli lauk di rumah makan depan bu, jadi di rumah cuma nanak nasi.”Alma mengernyit, “Kayak anak kos.”“Bapak bilang ibu jago masak, jadi setelah ada ibu tugas masak jadi di lakuin ibu.”“Hah? Jago masak dari Hongkong, ngada-ngada tuh orang. Aku gak bisa masak.” Alma melenggangkan kakinya dengan marah ke dalam rumah.Selama menyusuri rumah suaminya Alma terpukau melihat semuanya tertata rapi dan bersih. Ia tidak menyangka bahwa suaminya memiliki rumah dan selera yang bagus. Lihat lah barang-barang dirumah ini begitu bagus dan kekinian. Jiwanya muda juga ternyata, tidak seperti usianya yang sudah menjelang dewasa akhir.“Oyah, sus, gak usah panggil ibu, panggil aja Alma.” pintanya sambil terus berjalan.“Tapi, bu.”Alma membalikkan badannya, “Umur suster berapa?”“Saya... dua enam, bu.”“Aku baru dua-dua, jadi gak papa panggil Alma aja.”“Aduh, saya gak berani, bu, nanti bapak marah.”Alma mencari suaminya yang mungkin sudah datang kesini, “Tua bangka kayak dia gak usah kamu takutin. Aku tau kamu mau sopan sama aku, tapi aku risih di panggil ibu. Udah Alma aja.”“Ta-tapi, bu-”“Alma, titik. Mana kamar aku?”“Di atas, bu, eh Alma.”“Oke, aku ke atas aja sendiri.”Alma berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ia akan menjadi nyonya di rumah ini. Betapa senang hatinya. Impiannya memiliki rumah begitu menikah ternyata bisa ia wujudkan. Meskipun sebenarnya dalam angannya yang menjadi suaminya adalah Mario, pacarnya. Tapi ah, sudahlah, masa bodo dengan kehidupan Mario sekarang. Bukan kah lelaki itu yang mulai menghianatinya duluan? Maka dari itu ia balas dengan yang lebih-lebih dengan menikah tanpa memberi tahunya.*** “Kamu mau kemana? Ini kan udah malem, mas. Bukannya tidur kenapa kamu malah mau ke rumah sakit?” Alma mengejar Adam yang berjalan cepat menuruni tangga. Adam membalikkan badannya ketika selesai menuruni tangga, “Ada pasien yang anfal, aku harus periksa sendiri karena waktu kemarin operasi aku dokter utamanya.” “Tapi kan ini malem pertama kita, mas.” “Iya, aku tau.” Alma diam sejenak, ia baru sadar dengan ucapannya yang mengatakan kalimat itu. Ucapannya terdengar begitu agresif, “Eum, maksud aku, tadinya aku pengen ngobrol lebih banyak sama kamu.” “Aku minta maaf. Kita mungkin bisa atur jadwal ulang.” Alma tidak menjawab. Ia terlanjur malu dan tak ingin menambah kalimat agresifnya lagi. “Aku mungkin pulang besok pagi, tapi bisa juga siang karena harus terus observasi pasien.” Alma mengangguk. “Untuk uang bulanan, setelah urusan di rumah sakit beres aku langsung transfer ke rekening kamu.” “Iya, mas.” Adam nampak salah tingkah. Ia ingin sekali mencium kening Alma, tapi takutnya Alma akan kaget dan menambah PR nya untuk menjelaskan bahwa itu adalah hal lumrah yang di lakukan suami istri. “Kok kamu diem aja, katanya buru-buru.” “Iya, aku pergi.” Alma menggerak-gerakkan pipinya menggunakan lidah sehingga pipinya terlihat tengah mengulum permen kojek. “Kamu sakit gigi?” “Bukaan, tapi-” Alma kembali melakukan hal semula. “Apa?” “Ci-um, mas.” Adam menahan tawanya, ia bergerak mendekati Alma yang berdiri di ujung tangga dan menciumnya. Cup! “Aku pergi ya.” Alma mengangguk tersenyum. Matanya berbinar begitu melihat suaminya salah tingkah setelah mencium pipinya. “Itu baru pipi, mas, belum yang lain.” Adam terlihat malu mendengar ucapan Alma, “Oke, aku pergi.” “Iyaaa, dari tadi pamitan terus tapi diem aja.” “Ini beneran pergi. Kamu langsung tidur ya. Oyah, aku titip Belle.” Ekspresi wajah Alma yang semula cerah mendadak mendung begitu mendengar nama balita resek yang mengganggu kelangsungan hidupnya. “Hm, iya, mas.”Alma menutup telinganya dengan lipatan bantal ketika matanya masih menangkap langit di luar jendela masih gelap. Tangannya meraba-raba nakas samping kasur untuk melihat jam digital yang bertengger disana. Matanya terbuka lebar dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Masih jam lima. Yang benar saja, kenapa mahluk kecil itu terus menangis sepanjang malam.“Arghhhhh! Kenapa sih nangis terus, Belle!” hardiknya kesal.Alma terpaksa bangkit dari posisi tidur dan mengacak-acak rambutnya. Tidurnya semalam memang nyenyak setelah melakukan video call tiga jam dengan Sezan dan Audy karena ia sebagai nyonya baru, memiliki kesempatan memamerkan seisi rumah suaminya. Tapi tolong catat baik-baik, kalau Alma membutuhkan waktu tidur yang lebih lama. Tidak, Alma sehat secara fisik dan mental. Ia juga bukan penderita hipersomnia. Ia hanya suka tidur.Dengan terpaksa Alma turun dari kasur dan berjalan dengan kesal membuka pintu kamarnya. Ia berjalan lurus ke arah kamar Belle di sebelah kiri kamarnya
“Kamu kenapa?” Adam bertanya dengan polosnya. Alma menutup wajah dengan kedua tangannya, “Kamu ngapain disini, mas. Aku mau mandi.” “Yakin mau mandi?” “Yakin lah. Sana keluar!” “Kamu bukannya dari tadi tidur?” “Maaaas, jangan bikin aku marah pagi-pagi gini. Kamu keluar, aku mau mandi, terus nanti giliran kamu yang mandi.” “Kita mandi bareng aja biar menghemat waktu.” “Gak usah ngarang. Sana pergi!” Bukannya menuruti permintaan Alma, Adam malah dengan sengaja menghampirinya, “Kita udah halal buat mandi berdua.” “MAAAS!” Alma bergegas berdiri sambil menutup matanya. Ia mendorong tubuh Adam untuk keluar dari kamar mandi. “Kamu mau ngapain sih? Kok aku di dorong-dorong?” “Awas kamu keluar duluuu!” Adam tidak membalas ucapan Alma lagi, ia malah tertawa senang. Entah apa yang membuatnya sesenang itu karena Alma masih menutup matanya. Ceklek. Alma mengunci kamar mandi setelah mengusir suaminya dari sini. Ia mengatur napasnya dan baru menyadari kalau ia tidak memakai apapun ke
Alma menghampiri Adam yang sedang memakai kemeja kerjanya di kamar, “Mas, aku jadi pergi.” Adam hanya menatapnya datar, “Kamu tau konsekuensinya?” Alma mengangguk, “Aku bawa Belle ‘kan?” “Itu tau.” “Suster Ruth ikut ‘kan?” “Ikut. Karena aku gak bisa ambil resiko kalo ada apa-apa sama Belle dan kamu cuma diem aja.” Alma membuang napasnya kasar, “Mas, kamu kok malah bilang gitu? Kalo ada apa-apa sama Belle, aku gak akan diem aja lah.” “Oyah? Bukannya setiap Belle nangis kamu diem aja?” “Karena aku gak tau harus berbuat apa.” Adam mengangguk, “Ya anggep aja kamu emang gak tau harus berbuat apa.” Alma menahan diri untuk tidak terpancing dengan ucapan Adam. Ia hanya diam memperhatikan suaminya selesai mengancing kemeja. “Mama bilang apa barusan?” “Kamu ngadu sama mama?” “Pertanyaan aku bukan itu.” Alma menutup matanya, “Mas, mending kamu berangkat ke rumah sakit. Aku juga mau pergi sekarang.” Alma membalikkan badan dan akan pergi meninggalkan suaminya di kamar. Tapi urung, ka
Belle menjadi pusat perhatian di kafe sejak kedatangannya kesini. Kakak Sezan yang akan pergi bekerja pun menyempatkan diri sebentar untuk menggendong dan bermain dengan Belle. “Bang Ar, cepet lah nikah terus kasih cucu buat om tante. Sezan juga kayaknya udah ngebet jadi aunty.” Bang Armand tertawa, “Karir dulu lah, Ma. Kasian, mau di kasih makan apa anak istri abang nanti.” “Kalo nikah sama Audy dikasih makan sehari sekali juga gak papa katanya.” ledek Alma. Audy melotot disebrang meja, “Kunyuk lo ya! Kucing gue aja makannya tiga kali. Ini sehari sekali kayak dapet nasi santunan.” Samua tertawa mendengar jawaban Audy. “Ada-ada aja sih jawaban kamu, Dy.” cuap bang Armand menggelengkan kepalanya. “Kalo ngobrol sama si Alma mah emang harus on otak tuh, bang, biar gak kalah.” balas Audy. “Bang, udah nikahin aja Audy. Kasian tau dia pacaran sama aplikasi.” Bang Armand melirik Audy, “Ah masa sih, cantik gini pacaran sama aplikasi?” Audy salah tingkah mendengar pujian bang Armand.
Belle mendendang-nendang air di bak kecil tempatnya mandi, membuat baju Alma semakin basah. Suster Ruth yang berdiri memegangi handuk di belakang tubuh Alma merasa tidak enak dan takut Alma akan marah.“Belle, pelan-pelan, nak, airnya jadi kena mami tuh.”“Huaaaaa.” Belle menangis kencang tanpa aba-aba membuat Alma tersentak kaget.Alma membuang nafas dan menutup matanya. Meski begitu ia belum menyerah dan ingin terus mencoba mendekati Belle.“Belle, liat ada bebek ikut mandi sama Belle. Tuh bebek aja mandinya tenang, Belle juga yang tenang ya.”“Oaaaaak.”“Belle, tenang ya.”Suster Ruth berdiri khawatir karena Alma tak kunjung meminta bantuan padanya. Ia ingin sekali menawarkan bantuan tapi takutnya Alma masih ingin terus mencoba memandikan Belle sendiri.Alma menoleh, “Sus, aku kasih sus aja nih.”“Iya.” Suster Ruth mengambil alih Belle, “Kamu ganti baju aja, takut masuk angin.”“Gak papa, aku mau nemenin sampe Belle sampe beres mandi.”Suster Ruth diam. Ia tidak mungkin
Pagi-pagi sekali Alma sudah menangkap suara musik instrumen sayup-sayip di kamarnya. Kepalanya yang masih menempel hangat di bantal bergerak melipatnya untuk menutupi telinganya. Tidurnya tetap nyenyak karena merasa ini masih terlalu awal untuk bangun.“Oaaaaaak.”“Ya ampun, Belleeeee!” Alma terduduk sekaligus sambil mengacak-acak rambut dengan frustasi.Ceklek. Pintu terbuka dan menampilkan Adam yang memangku Belle yang tengah menangis kencang berjalan menghampiri Alma yang langsung merebahkan diri dan menutup kepalanya dengan bantal.“Mami banguuun, Belle udah siap beraktivitas nih.”“Keluaaaar!” teriak Alma dengan suara tertahan bantal.“Mami ayo dong kita main.”Alma bangun dan meremas tangannya di hadapan Belle yang menangis semakin kencang. Ia berlari ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam untuk menenangkan diri di dalam.“Sayang, jangan tidur lagi di bathub ya.”“Berisik, mas. Urus aja anak kamu. Gak usah ganggu aku.”Adam dengan sengaja mendekatkan Belle ke pint
Seperginya mobil Adam yang baru melaju meninggalkan pelataran rumah, Alma masuk kembali ke dalam rumah disambut suster Ruth yang mendorong stroller ke arah Alma. “Sus, mau kemana?” “Jalan-jalan aja ke depan, kamu mau ikut?" “Mamu.” Belle mengikuti ucapan suster Ruth. Suster Ruth menganga, ia melirik Belle sebentar dan menatap Alma yang sama kaget dengannya., “Belle, itu mami, bukan kamu, ya. Apa coba Belle? Ma-mi.” “Mamiiii.” Suster Ruth membuang nafas lega, ia menatap Alma, “Mulai sekarang, karena Belle udah makin pinter meniru ucapan orang sekitar, saya panggil kamu mami ya. Nanti saya juga bakal minta bapak manggil kamu mami. Kalo perlu semua orang yang bakal sering ketemu kamu juga harus manggil kamu mami.” Alma mengangguk. “Oke, sus. Aku ngikut aja.” Suster Ruth mengangguk, “Saya keliling komplek dulu ya, mami.” Alma tertawa, “Iya suster Ruth, hati-hati ya.” “Permisi, mami.” Suster Ruth melongokkan kepalanya menatap Belle, “Belle pamitan dulu sama mami. Bilang, mami Be
Alma tengah memasukkan chiken katsu dan bumbu kari ke dalam wadah terpisah. Tak lupa ia juga memasukkan nasi dan buah potong berupa kiwi gold dan potongan jeruk sunkist agar suaminya itu memujinya kalau ia adalah istri yang sigap dan memperhatikan gizi suami.Setelah selesai, semua lunch box di masukkan ke dalam goodie bag. Suster Ruth yang baru turun tangga membawa Belle yang baru bangun tidur. Untungnya di siang yang terik ini anak menyebalkan itu tidak rewel dan hanya menatap Alma yang sedang tidak mood untuk menggodanya. Suster Ruth menaruh Belle di stroller dekat Alma, “Tuh liat, Belle, mami mau pergi. Coba tanya sama Belle, mami mau pergi kemana.” Alma melirik Belle sekilas. Ia hanya tersenyum tanpa memulai sebuah topik, “Sus, nanti mungkin aku agak lama karena mau ngambil barang dulu di rumah mama.” “Oh iya, mami.” Alma berdiri tegap dan menatap suster Ruth, “Kalo mas Adam gak suka sama masakan aku gimana ya, sus? Aku pasti sedih banget deh.” Suster Ruth mengelus bahu Al
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny