Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.
Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.
Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan saat ini, membaca cerita seseorang yang tengah mencari kebahagiaannya.
Semua yang ia lakukan selalu gagal di tengah jalan, usahanya ataupun percintaannya. Semakin ia berusaha kegagalan akan terus mengejarnya. Saat ia memutuskan untuk membuka sebuah usaha, akan ada orang yang mengkhianatinya. Begitupun urusan cinta, saat ia sudah benar-benar mencintai seseorang, pasti ada satu dua kendala yang menyebabkan mereka berpisah tanpa ada kejelasan akhirnya.
Hingga pada saatnya wanita itu merasa bahwa dirinya sudah tak memiliki semangat hidup, dan memilih untuk mencari cara agar hidupnya segera berakhir. Namun tak di sangka, seseorang menemukannya yang hendak mengakhiri hidup, dan pria itu menyelamatkannya. Perlahan tapi pasti, hidup wanita itu sedikit berubah, dan mulai merasakan apa itu kebahagiaan.
Tanda titik juga menjadi isyarat untukku agar segera berhenti membaca cerita ini, dan segera bersiap untuk kerja. Tidak seperti bab-bab sebelumnya, saat menyelesaikan bab ini aku merasa sangat bahagia. Seandainnya saja aku juga menemukan sosok pria itu di hidupku, mungkin hidupku yang berwarna abu ini, perlahan akan membentuk sebuah pelangi.
Sambil terus berhayal, tanpa sadar aku sudah berada di tempat kerjaku. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan tulus, keriput mulai muncul di wajah cantiknya, namun tak menghilangkan pesona dari mata gelapnya yang indah. Mungkin aku tidak menemukan sosok pria seperti yang ku baca sebelumnya, Bu Rani sudah cukup menggantikannya untuk membangkitkan semangat hidupku.
“Bagaimana kemarin?” tanyanya langsung menjurus.
“Biasa, Bu. Cuma sekarang lebih parah,” jawabku sambil mengenakan apron.
Bu Rani masih terus memandang ke arahku, wajahnya nampak sangat khawatir namun sekaligus melambangkan kesedihan. Hembusan nafas terasa sangat berat saat aku hendak menjelaskan semuanya. Pada akhirnya, semua yang terjadi kemarin hingga aku sampai dengan selamat di rumah telah ku ceritakan pada Bu Rani.
Tak butuh kata-kata semangat, sebuah pelukan hangat langsung diberikannya padaku. Aku juga tak membutuhkan kata-kata mutiara untuk menyemangatiku, dengan begini ketenangan mulai terasa di sisiku, air mata yang tadinya mengalir deras kini mongering seketika. Luka yang telah digoreskan oleh ibuku, kini perlahan telah tertutup dengan kehangatan yang diberikan Bu Rani padaku. Seseorang yang lebih pantas ku panggil Ibu.
“Kapanpun Ella mau cerita langsung bilang ke Ibuk ya,” katanya sambil mengelus pucuk kepalaku.
“Ella harus tetep kuat, dan bersyukur. Banyak orang diluar sana yang pengen hidup sehat, jadi jangan disia-siain,” lanjutnya yang hanya kubalas dengan senyuman.
Tak berselang lama dari obrolan pagi dengan Bu Rani, seorang pria membuka pintu resto dengan bahunya. Tentu saja aku sudah merasa tidak asing, yah … walaupun kini sedikit berbeda. Ia tersenyum simpul ke arahku, menampakkan dengan samar lesung pipi di tiap ujung bibirnya, yang hanya nampak seperti garis senyum. Tentu saja ini berbeda dari hari-hari sebelumnya, biasanya ia hanya langsung memandang ke etalase dan mengatakan pesanannya tanpa harus memandang ke arahku.
Belum sempat kita bertukar sapa, Bu Reni yang menyadari kedatangannya dan setengah berlari menuju Andra untuk memeluknya.
“Makasih ya, Nak. Katanya semalem kamu bonceng Ella ya pulang ke rumah?” tanya Bu Reni dengan antusias.
“Iya, Bu. Pas aja kemaren saya juga lagi lewat sana, terus gak sengaja ngeliat Ella di halte bis,” jawabnya sambil sesekali menengok ke arahku.
“Aduh so sweet banget.” Bu Reni tersenyum lebar sambil tersipu.
Tentu saja aku dan Andra juga merasakan hal yang sama, pipiku mulai memerah akibat ucapan dari Bu Reni. Andra juga terlihat salah tingkah dengan apa yang dikatakan Bu Reni. Sebenarnya aku tidak memikirkan apapun tentang kejadian semalam, namun karena tersipu kini kejadian itu kembali berputar di kepala kecilku.
“Oke oke, Andra mau pesen apa? Bilang sama Ella nanti gak usah bayar, hari ini free dari Ibuk karena Andra udah bikin Ella gak sendirian di halte bis sampe pagi,” lanjut Bu Rani memecah keheningan.
“Aduh jangan, Bu. Saya jadi gak enak, kan emang niatnya mau bantuin aja,” jawab Andra dengan wajah kebingungan.
“Udah santai aja, oke. Dah, Ibuk mau lanjutin masak lagi, kalian ngobrol aja yang santai,” jawab Bu Rani dengan wajah yang seakan menggodaku.
“Anu, La. Aku pesen sup aja sama perkedel deh, es jeruk juga satu,” katanya dengan wajah yang masih kebingungan.
“Oke, duduk aja dulu, ntar aku antar ke sana.” Aku menjawabnya dengan senyuman, berharap ia segera ke tempat biasa, dan aku bisa melegakan nafas yang ku tahan agar tidak terlihat salah tingkah.
Andra menuju singasananya dan mengeluarkan sebuah laptop, mungkin ia harus mengerjakan beberapa tugas. Dengan cepat aku menyiapkan pesanannya, dan membuat segelas es jeruk. Biasanya aku tak pernah merasa kesulitan saat mengantar pesanan pelanggan, namun entah apa yang terjadi padaku hari ini, kakiku seakan kaku dan tidak bisa digerakkan. Semakin dekat dengannya, tanganku juga menjadi sedikit gemetar.
“Ini pesenannya, Ndra,” ucapku sambil menaruh piring dan gelas ke atas meja yang ada di hadapannya.
“Thanks, mau langsung balik kerja?” tanyanya padaku yang masih ada di sampingnya sambil membawa nampan.
“Nggak, masih belum ada pelanggan. Paling sepuluh menit lagi udah rame, biasa jam makan siang,” jawabku sambil memandangi sekeliling.
“Yaudah duduk dulu sini, gantian temenin aku makan,” katanya sambil menarik kursi yang ada di sebelah.
Aku pun tanpa basa basi memilih untuk segera duduk, dan memandang ke luar jendela. Banyak orang berlalu-lalang di depannya, mulai dari mahasiswa hingga para pekerja bangunan yang ada di samping resto. Entah dengan kekuatan apa aku memulai percakapan dengan Andra yang masih sibuk mengecap makanannya.
“Kenapa kamu suka duduk di sini? Bukannya malah risih ngeliat orang mondar-mandir di depan kaca?” tanyaku.
Ia menoleh ke arahku sambil terus mengecap makanannya. Setelah itu ia memilih untuk menyeruput es jeruk yang ada di hadapannya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Menurutmu apa mereka sekedar lewat atau punya tujuan lain?” tanyanya.
“Pastinya mereka punya tujuan sih, Ndra. Gak mungkin juga mereka cuma keliaran di jalan” jawabku.
“Ini yang menarik dari manusia, La. Kita nggak pernah tau apa yang ada di dalam pikirannya, apalagi di dalam hatinya. Jangankan orang asing, yang jelas-jelas ada di samping kita aja, kadang gak paham apa yang kita rasain,” katanya sambil menaruh sendok dan garpu.
“Hubungannya sama pertanyaanku?” jawabku sambil menoleh ke arahnya.
“Aku tertarik dengan manusia, La. Apa kamu yakin wanita di sana itu punya tujuan? Dan apa kamu yakin dia baik-baik aja?” tanya Andra sambil menunjuk salah seorang wanita mengenakan payung hitam.
Aku memandang wanita itu lamat-lamat, tidak ada yang aneh dengannya. Hanya saja ia mengenakan payung, dan kacamata hitam sambil terus berjalan di atas trotoar. Pandangannya lurus ke depan namun ia melangkah dengan gontai. Ia menggunakan dress hitam selutut, terlihat dari jauh ia juga mengenakan beberapa perhiasan.
“Nih aku udah selesai, uangnya di bawah piring, kalo ada kembalian simpen aja,” kata Andra tiba-tiba bangkit dari kursinya dan bergegas meninggalkan resto.
Tak lama suara Bu Rani juga menyadarkanku, beberapa orang telah masuk ke resto dan bersiap untuk memesan makanan mereka. Tentu saja aku harus bergegas sebelum suara Bu Rani semakin nyaring memanggil namaku. Kerumunan tiba-tiba sudah ada di depan etalase, bebrapa orang tak sabar menunggu makan siangnya, dan beberapa sudah di tempat duduk untuk menyantap makan siang sembari mengobrol dengan teman sejawatnya.
Di tengah kebingunganku melayani pesanan pelanggan, aku terkejut karena tiba-tiba Andra masuk bersama wanita berbaju hitam yang tadi kita lihat dari jendela. Ia hanya memandangku sekilas, dan mengatakan bahwa ia memesan menu yang sama seperti yang dia makan sebelumnya.
Saat ini aku berpendapat bahwa Andra mengenal wanita itu, dan itulah alasan mengapa ia menjadikan wanita itu sebagai contoh saat aku bertanya padanya tadi. Karena masih banyaknya pesanan, aku hanya mengantarkan makannannya dan meninggalkan mereka berdua. Sesekali mataku mengalihkan pandang ke kedua orang tersebut, sampai tak ku sadari bahwa selama itu pula Bu Rani mengawasiku.
“Bukan pacarnya tuh pasti,” kata Bu Rani yang tiba-tiba berada di sebelahku.
“E-eh Ibuk, kan Ella kaget jadinya,” jawabku sambil mengelus dada.
“Tenang aja, pasti bukan pacarnya mas Andra itu sih, secara duduknya jauhan gitu. Aman, Ella masih aman,” katanya lagi.
“Ih, Ibuk apa sih. Kalaupun itu pacarnya mas Andra juga gak ada hubungannya sama Ella, Buk,” jawabku sambil mengalihkan perhatian ke lauk pauk di depanku.
“Kenapa, orang Ibuk cuma sekedar ngomong sama diri sendiri kok, gak ngajakin Ella,” jawabnya sambil menahan senyum di wajahnya, dan kembali ke arah penggorengan.
Aku akan merasa sangat bersalah jika memang itu benar pacar Andra, karena tanpa sepengetahuan pacarnya, Andra pernah mengantarku pulang. Wanita asing yang entah dari mana asalnya, dan kalaupun aku diminta menjelaskan semua, sudah pasti kujawab bahwa Andra hanya merasa kasihan denganku yang terduduk sendiri di halte, malam itu.
Wanita itu kini menangis tersedu-sedu membuat para pelanggan yang masih ada di resto menoleh ke arahnya. Beruntung jam makan siang sudah mulai mendekati akhir, dan para pekerja telah kembali ke tempatnya masing-masing. Andra memberikan selembar tissue pada wanita itu untuk mengusap air matanya.
Jujur saja aku merasakan suatu hal yang tidak bisa ku jelaskan. Selain itu, memori saat Andra juga memberikanku tissue saat aku menangis juga kembali berputar di kepalaku. Aku harus segera sadar bahwa itu hanyalah sebuah ungkapan dari turut bersedihnya seseorang.
Seandainya saja aku memiliki seseorang seperti Andra di hidupku, orang yang selalu ada saat aku membutuhkan pundaknya untuk bersandar, mungkin aku tidak akan merasakan kehidupan yang melelahkan seperti saat ini.
Senyum simpul seakan menyemangati diriku sendiri, banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Setelah bergelut dengan banyaknya pesanan, tentu saja aku juga harus menyelesaikannya hingga akhir, ya cuci piringnya.
Pikiranku melayang-layang sembari mencuci satu demi satu piring di hadapanku. Membayangkan berbagai hal yang tidak mungkin akan terjadi di kehidupanku. Berandai-andai jika sebuah kebahagiaan datang kepadaku. Terpikirkan lagi tentang buku usang yang tadi pagi ku baca. Bahkan pemeran utama dari buku itu bisa menemukan kebahagiaan, namun mengapa aku tidak.
“La, jadi berapa tadi pesananku?” Suara berat Andra menyadarkanku dari lamunan.
“Anu, tadi uangnya yang ditinggal masih kelebihan juga kok, ini masih ada kembaliannya juga,” jawabku yang langsung tersadar bahwa Andra tadi meninggalkan uang yang bisa ia gunakan untuk lima kali makan.
“Oh oke kalo gitu, simpen aja kembaliannya,” katanya sambil tersenyum.
Aku tak memandang Andra sedikitpun, melainkan memandang wanita berbaju hitam dibelakangnya. Wajahnya yang cantik nampak sendu, dan masih tergambar jelas bahwa kesedihan menyelimutinya.
Andra berpamitan pada Bu Rani yang sudah istirahat di belakangku, dan mereka berdua meninggalkan resto dengan langkah pasti. Namun lagi-lagi ia selalu memberikan kejutan tak terduga padaku, sama seperti sebelumnya.
“Nanti pulang bareng aku aja ya, La. Mau lanjutin ngobrol yang tadi juga,” kata Andra yang sudah berada di ambang pintu resto. “Aku jelasin juga semuanya,” lanjutnya sebelum beranjak menuju motor yang diparkirnya di depan resto.
Aku bahkan tak mengatakan apapun, apalagi meminta penjelasan. Entah apa juga yang akan ia jelaskan padaku, bahkan aku masih bingung kenapa ia melakukan itu di depan kekasihnya.
Perasaan aneh tiba-tiba menyerang diriku, kepalaku terasa ringan, dan lelahku juga perlahan menghilang. Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan?
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu