Share

BAB II - I am Loner

Author: The_BlueMoon
last update Last Updated: 2021-06-05 16:18:26

Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.

“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.

Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.

“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusuh.

Apa yang bisa kuperbuat? Tentu saja aku menganggukan kepalaku, tidak ada jalan lain untuk bebas darinya, dan aku sudah mulai menyerah.

Aku kembali ke ruangan semula, namun anehnya kini aku mulai merasa nyaman dengan ruangan gelap dan dingin ini. Banyak hal yang belum ku lihat saat aku pertama kali masuk ke ruangan ini. Bukan hanya jarring laba-laba dan bekas kayu bangunan. Temboknya puh dipenuhi dengan tumbuhan lembab berwana hijau. Aku sudah bisa membayangkan seperti apa jadinya ruangan ini saat malam hari.

Wanita berbaju merah kini sibuk membongkar isi plastik hitam yang dibawanya tadi. Tentu saja setelah mengikatku kembali di atas kursi seperti semula. Ia mengeluarkan beberapa makanan instan, dan juga minuman botol. Bahkan ada baju seukuranku yang juga dibelinya saat keluar tadi. Sekilas mata hitamnya melirik ke arahku, melihatku dari ujung kepala, hingga ke jari-jari kaki.

“Bukannya badanmu terlalu kurus untuk seukuran anak berusia sebelas tahun,” tanyanya yang kini mulai berbicara santai, sambil mengangkat salah satu baju.

Ia membentangkannya dan seakan menyesuaikan dengan ukuran badanku.

Namun ternyata baju itu tidak diberikannya padaku, bahkan kini ia kembali fokus pada plastik hitam besar yang dibawanya tadi. Lalu wanita itu mengeluarkan sebuah buku, yang ku yakini adalah sebuah novel.

Tulisan besar telah terpampang nyata di bagian sampulnya, “I am Loner” tentu saja aku mengetahui artinya. Bagi anak SD Indonesia bukankah itu terlalu mudah? Kita bahkan sudah belajar Bahasa Inggris mulai TK.

“Pria pengecut itu dulu juga mengoleksi novel,” katanya lirih bahkan hampir tak terdengar.

Aku hanya mendongkrakkan kepalaku dan memandang ke arahnya, wanita itu pun membalas tatapanku dan seakan kembali ke dunianya saat ini. Baju bergambar beruang yang tadinya tergeletak di atas lantai, kini telah mendarat sempurna di atas pangkuanku. Ia kembali menatapku yang bingung, bagaimana aku harus mengganti baju saat tangan dan kakiku masih menyatu dengan kursi.

Wanita berbaju merah kini beranjak dan menyejajarkan dirinya denganku. Ia melepaskan tali yang mengikat tanganku dengan terus memandang ke arah mataku. Namun lagi-lagi ia melakukan hal yang aneh, bukannya membiarkanku untuk mengenakan baju itu sendiri, yang ada kini ia membantuku untuk mengenakannya.

“Wah aku bahkan belum pernah melakukannya pada anakku,” ujarnya kembali dengan nada yang terdengar samar-samar di telingaku.

Belum sempat mencerna apa maksud dari ucapannya, ia sudah membuatku kembali mematung dengan tatapan dinginnya. Sejenak aku berpikir, apakah wanita berbaju merah memiliki seorang anak? Tapi mengapa ia sangat tega untuk menculik anak kecil sepertiku? Apakah anaknya pergi darinya? Dan banyak pertanyaan lain di kepala kecilku.

“Rigell suka novel?” katanya yang langsung menyadarkanku dari lamunan sesaat.

“Suka, Tante,” jawabku ragu. Entah apa yang membuatku ragu, namun aku sangat bingung harus memanggilnya apa. Bahkan untuk memanggilnya Tante bukankah terlalu akrab dan penuh perhatian?

Wanita itu menyerahkan novel yang tadi sudah ku lihat tergeletak di lantai bersama bebrapa makanan instan. Kini aku dapat melihatnya dengan jelas, sampul buku ini sangan minimalis dan menarik perhatian. Didominasi dengan warna hitam, dan tulisan besar berwarna merah, serta dengan gambar latar seorang anak yang bersandar di bawah jendela pada malam hari dan melipat lututnya. Melihatnya sudah sangat mewakili isi dari keseluruhan novel ini, “kesepian”.

“Tante akan kasih makan setelah kamu selesaikan satu bab novel ini,” kata wanita berbaju merah.

Sebenarnya aku benar-benar lapar, namun harus bagaimana lagi tidak mungkin untuk memberontak karena cadangan energi pun sudah habis saat melarikan diri tadi. Akhirnya aku membuka buku setebal kitab suci ini. Aku memang suka membaca novel, tapi ini sama sekali bukan genre yang biasanya aku baca.

Setelah membaca kata pengantar, dan awalan lainnya, kini aku telah memulai pada halaman pertama di mana terpampang nyata “BAB I – Siapakah diriku?” aku mulai membacanya secara perlahan dengan nada rendah, namun wanita berbaju merah malah menghela nafas di depanku.

“Baca yang keras!” katanya dengan nada tinggi.

Akupun menuruti apa yang diinginkannya. Suara lirihku kini menjadi lantang, dan semakin terpaku pada novel yang ku baca. Banyak hal yang tak ku mengerti, namun wanita berbaju merah secara tidak langsung menjelaskannya padaku.

Entah apa yang terjadi, kini aku merasa seperti sedang membaca buku ditemani oleh ibuku. Memang terkesan menyedihkan, tapi inilah yang kuharapkan dari dulu, hanya sekedar duduk berdua dan membaca buku dengan ibu, kalau aku tak mengerti ia akan menjelaskan apa maksudnya untukku.

Kata demi kata telah aku lewati, ceritanya sangat menarik perhatianku. Kondisi yang dirasakan pemeran utamanya sangat mewakili aku yang masih berusia sebelas tahun, namun dengan mental orang dewasa. Sampai pada akhirnya kini aku telah mencapai akhir bab, dan nampak jelas tulisan yang dicetak tebal-tebal. “Aku hanyalah sebuah tempat yang menjadi alasan kedua orang tuaku masih bersama. Tidak lebih dari itu.

Setelah membacanya dengan lantang aku pun tak tahu mengapa, setitik air telah mendarat sempurna di pipiku yang chubby. Wanita berbaju merah hanya memandangku, pastinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah melihatnya pun aku semakin menangis dengan kencang seakan hanya wanita ini yang mengerti keadaanku. Aku pasti sudah gila, bagaimana bisa aku semakin nyaman berada di samping orang yang menculikku pagi tadi. Ia hanya bersamaku beberapa jam, tapi kenapa aku sangat merasa nyaman dan aman di sampingnya. Aku memang sudah gila.

“Bagus,” ucap wanita berbaju merah sambil membuka kemasan makanan instan.

Setelah ia membuka penutup, dan garpunya, bahkan mie yang sudah terlihat lembek itu sangat menggugah seleraku. Tentu saja itu akan lembek, ini sudah berjalan hampir dua jam saat ia sampai dari minimarket. Wanita berbaju merah mengangkat perlahan garpu putih itu, dan mengantarkannya masuk dengan sempurna di mulutku. Aku melahapnya dengan antusias seakan tidak ada hari esok untuk aku bisa memakannya lagi.

Wanita berbaju merah terus menyodorkan garpunya padaku, sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa ia belum makan sedikitpun dan hanya memberikannya padaku. Sebenarnya butuh keberanian ekstra untuk menanyakan hal ini padanya, karena sejak aku menyelesaikan pembuka novel tadi, ia sudah tak sedikitpun bersuara dan hanya terus memberiku makan.

“Tante … nggak makan?” tanyaku dengan penuh ragu.

“Hah?” jawabnya dengan mengangkat sebelah alisnya.

Kalian pun juga pasti merasakan hal yang sama. Bagaimana bisa kau menawarkan seseorang yang membuatmu terluka untuk makan? Bahkan harusnya kau sendiri yang harus bertahan hidup karena sama sekali belum ada makanan yang masuk pada tubuhmu sejak pagi tadi.

Wanita berbaju merah pun menghentikan tangannya yang sudah siap untuk memberiku suapan lainnya. Ia pun menaruh makanan instan itu di sampingnya, dan kembali mengambil novel yang tadi ku baca. Novel itupun kembali ke pangkuanku setelah beberapa saat.

“Tante makan setelah kamu selesaikan BAB II,” katanya sambil membuka novel itu tepat di halaman BAB II.

Related chapters

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB III - Penyelamatan Yang Tidak Semestinya

    Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal

    Last Updated : 2021-06-06
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IV - Life After Nightmare

    Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya

    Last Updated : 2021-06-08
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB V - Why Am I Alone?

    Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep

    Last Updated : 2021-06-11
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VI - Bertemu Sang Takdir

    Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak

    Last Updated : 2021-06-16
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VII - Mencari Sisa Kebahagiaan

    Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan

    Last Updated : 2021-07-06
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VIII - Jika Kau Kebahagiaanku, Akan Ku Perjuangkan

    Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya

    Last Updated : 2021-08-06
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IX - Persimpangan Jalan

    “Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem

    Last Updated : 2021-08-08
  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB X - Dua Orang yang Keras Kepala

    Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua

    Last Updated : 2021-09-02

Latest chapter

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB X - Dua Orang yang Keras Kepala

    Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IX - Persimpangan Jalan

    “Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VIII - Jika Kau Kebahagiaanku, Akan Ku Perjuangkan

    Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VII - Mencari Sisa Kebahagiaan

    Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VI - Bertemu Sang Takdir

    Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB V - Why Am I Alone?

    Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IV - Life After Nightmare

    Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB III - Penyelamatan Yang Tidak Semestinya

    Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB II - I am Loner

    Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu

DMCA.com Protection Status