Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.
Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.
“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.
“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.
“Iya. Kenalin, aku Andra,” ujarnya sambil mengulurkan salah satu tangannya.
Tentu saja aku menerimanya, tangannya begitu besar dan hangat. Saat hawa dingin seperti ini, aku benar-benar membutuhkannya. Sepersekian detik dari saat aku menggenggam tangannya, aku merasakan kupu-kupu terbang di perutku. Rasanya pun baru kali ini aku berkenalan dengan lelaki selain teman sekelasku.
“Aku, Ella,” jawabku yang sedikit ragu karena nampaknya Ia sudah mengenalku. Mengingat tadi saat pertama bertemu, Andra sudah memanggil namaku.
Benar saja, ia menjawabnya dengan senyuman, manis … manis sekali. Setelah perkenalan yang tak terduga itu, butuh beberapa detik untuk menyadarkan masing-masing dari kita.
“Mau kemana La, di sini sendirian?” tanyanya langsung pada poinnya.
“Baru aja turun dari atas, jadi nunggu bis,” kataku sambil memberikan isyarat bahwa aku baru saja turun dari rumah sakit di atas sana.
“Bisnya udah lewat dari tadi La, udah bis terakhir juga,” katanya.
“N-ngg, gitu ya,” jawabku sambil menggaruk kepalaku, karena bingung harus menjawab apa.
“Mau bareng aku aja? Rumahnya deket rumah makan?” tanyanya sambil menatapku.
Jujur saja saat ini aku tak fokus dengan apa yang Ia ucapkan, melainkan tatapan matanya yang tajam, dan terkesan dingin. Tapi ternyata berbanding terbalik dengan dia yang sangat perhatian, dan mudah bergaul.
“Iya deket sama rumah makan. A-anuu, takut ngerepotin,” jawabku sambil tersenyum ke arahnya sekali lagi.
“Nggak repot, tau kan aku juga kuliah deket situ jadi juga kos deket sama kampus juga.” Ia mulai memasang kembali helmnya, dan naik ke motor besarnya. “Lagian mau sampe besok pagi nunggu di sini emangnya?” lanjutnya.
Aku yang masih bingung, karena baru pertama kali ada seseorang yang perhatian padaku, semakin tak bisa berpikir dengan baik. Andra pun segera mengisyaratkan padaku untuk naik di jok belakangnya. Memang awalnya aku masih ragu, namun aku tidak bisa pulang besok pagi dan terlambat ke tempat Bu Rani, mengingat hari ini aku ijin untuk pulang cepat, tidak mungkin aku malah terlambat kerja besok.
Dengan mengumpulkan keberanian yang entah kudapatkan dari mana, kini aku sudah berada di jok belakang sepeda motornya. Andra melajukannya dengan cepat menelusuri jalan yang menurun, dan berkelok. Tanganku pun hanya bisa menggenggam besi yang berada di belakangku. Sesekali aku sedikit terhuyung karena jalan yang berkelok-kelok, sampai pada akhirnya Andra menarik tanganku untuk berpegangan pada saku hoodie nya.
Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang kurasakan sekarang, karena memang aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Andra sesekali memandangiku lewat kaca spion yang memantulkan bayangan. Lampu-lampu jalan begitu redup terhalang pepohonan besar disekitarnya. Perlahan perhatianku teralihkan pada pemandangan malam yang terbentang indah di sisi kiriku, cahaya dari rumah warga yang tersusun rapi di bawah sana membuat suasana semakin sendu.
“Sering main ke sini?” tanya Andra yang samar-samar ku dengar.
“Seminggu sekali ke sini,” jawabku sambil terus memandangi cahaya-cahaya itu.
“Tapi gak inget jadwal bis nya?” Kini ia tersenyum seakan mengejekku.
“Inget, cuma tadi ada urusan mendadak,” ujarku sambil memandang ke arahnya melalui kaca spion.
“Terus kenapa malah nunggu di sana tadi? Coba minta dianter salah satu petugas di sana bisa kan?” balasnya.
“Nggak pengen ngerepotin,” tutupku.
Sebenarnya aku sudah sedikit banyak lupa tentang kejadian tadi, namun sekarang kembali teringat, dan rasa sedihku kembali lagi. Benar juga, minggu depan aku tak perlu mengunjunginya lagi, dan itu berarti aku juga tidak akan melihat pemandangan indah ini. Tidak akan merasakan udara sejuk ini, dan mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengalami kejadian ini lagi.
“Minggu depan bareng aku aja,” tanyanya lagi.
Aku sedikit tidak menyangka bahwa ia adalah tipikal orang yang membuka pembicaraan, karena ia biasa menyendiri, dan memilih tempat paling ujung saat makan.
“Minggu depan udah nggak ke sini lagi sih,” kataku sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, agar tak nampak bahwa mataku mulai berkaca-kaca.
Namun sepertinya rencanaku gagal karena ia menyadari sesuatu dari ku. Andra pun tak melanjutkan lagi perbincangan itu, dan memilih untuk fokus ke depan seakan-akan ia tak pernah melihat aku menangis. Perlahan mata yang awalnya hanya berkaca-kaca kini mulai basah, dan menyalur ke pipi chubby ku. Andra masih fokus dengan jalanan di depannya, namun menyadari aku yang semakin terisak. Ia mengeluarkan tanganku dari saku hoodie nya, dan mengambil benda putih dari dalamnya, lalu memberikannya padaku.
Ku seka air mata yang sesaat lalu membasahi wajahku, menekan hidungku yang mulai tersumbat agar bisa bernafas dengan normal kembali. Perlahan jalanan mulai landai dan cahayanya semakin terang, itu berarti kita hampir sampai di tujuan. Meninggalkan hutan lebat di atas gunung, dengan segala kegelapannya. Wajahku nampak semakin jelas terlihat baik dari pantulan helm Andra ataupun pada kaca spion.
Tidak ada sedikitpun perbincangan antara kita setelah itu selain memberikan arah padanya untuk mencapai rumahku. Kini, kita sudah sampai di depan rumahku, yang gelap gulita menandakan bahwa tidak ada kehidupan di dalamnya.
“Mau mampir dulu, minum teh?” tanyaku yang kini sudah turun dari motornya.
“Nggak deh, makasih. Udah malem juga, mending langsung istirahat, pasti capek. Lain kali aja, deket kok dari kosan,” jawabnya yang hanya ku balas dengan anggukan.
Andra pun menyalakan motornya dan bersiap kembali ke arah jalan utama, namun tak ku sangka ia akan membuka kaca helm nya, bahkan tersenyum padaku, dan mengatakan “istirahat, jangan nangis lagi.”
***
Setelah membereskan kamar tidurku yang entah sudah berapa lama berdebu, aku memilih untuk mandi, dan membersihkan keringat yang masih menempel di tubuhku. Air mengguyur dengan deras menabrak setiap sel yang ada di bagian atas kepala, dan rambutku. Saat mataku terpejam, berbagai ingatan tentang hari ini kembali berputar di kepalaku, setiap potongan kejadian menjadi semakin jelas saat aku memikirkannya kembali, sehingga aku memilih untuk membuka mataku, dan merasakan jatuhnya setiap bulir air menghunjam wajahku.
Aku membalut diri dengan handuk dan memilih berjalan menuju ruang makan yang berada di samping kamar mandi. Sebuah box berwarna putih berada tepat di ujung meja makan, membuatku tersenyum pahit karena mengingatkanku bahwa hari ini aku harusnya berbahagia karena bertambah satu tahun hidupku yang merana ini. Pada akhirnya aku memilih untuk melewati meja makan tanpa menyentuh apapun, berjalan menuju kamarku, dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman.
Rasa hati ingin merebahkan diri ke kasur, namun salah satu sel otakku tidak ingin menurutinya. Setitik pikiran datang, membuatku berpaling dan memilih untuk kembali berjalan menuju meja makan, hingga kini aku berada tepat di depan box putih yang sudah lumayan lusuh itu.
“Setelah sepuluh tahun ini kue pertamaku,” ujarku lirih sambil tersenyum pedih.
Kue bulat itu kini sudah terpecah menjadi delapan bagian. Ya, walaupun aku hanya seorang diri, harusnya kue ini tak perlu dibelah. Denting garpu yang bertabrakan dengan piring jarang sekali terdengar di rumah ini, seperti kalian tahu bahwa aku lebih memilih cup mie instan daripada harus mencuci piring. Rasanya begitu memuakkan, entah apa yang ada di pikiranku saat membelinya tadi, bahkan rasanya yang manis membuat lidahku seakan mati rasa.
Terlalu muak dengan rasanya, kini kue bulat itu berakhir di dalam kulkas yang juga entah kenapa aku memilikinya di rumah. Kakiku melangkah perlahan menuju kamar tidur, seluruh badanku sudah tidak bisa berbohong padaku lagi bukan hanya lelah secara fisik, ia juga lelah secara mental. Tepat saat aku membaringkan diriku di atas kasur, jiwaku pun menghilang.
***
Tuk … Tuk … Tuk … suara itu semakin terdengar dengan jelas dan mengacaukan detak jantungku. Tanganku yang tadinya berusaha untuk bergerak kini memilih untuk terdiam dan merasakan pedihnya sedikit demi sedikit. Ruangan pun terasa semakin gelap, dan dingin. Bahkan bisikan cicak yang tadi menemaniku kini memilih untuk pergi meninggalkan ku saat wanita berbaju merah berdiri di ambang pintu. Senyumnya benar-benar tidak bisa didefinisikan pada sebuah kata, namun kini matanya memandang lurus ke arahku, mata berwarna gelap dan tajam.
“Cepat selesaikan!” bentaknya.
Mataku pun terbuka lebar, dan dadaku merasakan sesak yang luar biasa menusuk. Nafasku kini berantakan, dan keringat mengucur dengan deras di pelipisku. Aku benci saat ia sudah kembali, baru saja sehari aku tidak merasakan mimpi buruk, kenapa hari ini aku harus merasakannya kembali. Mungkin ibu tidak bercanda, ia akan terus mengawasiku, wanita itu akan terus memperhatikan gerak-gerikku. Walaupun sepuluh tahun lalu ia sudah terbakar, namun jiwanya akan terus menghantuiku selamanya.
Kini aku menyandarkan diriku di tepi ranjang, berharap malam akan segera berakhir, dan matahari segera bersinar. Aku benci gelap, wanita berbaju merah akan terus menemuiku tiap aku berada di kegelapan dalam waktu yang lama, aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya, namun potongan-potongan wajahnya yang nampak pada mimpiku sudah membuat pikiranku kacau. Kata-kata yang diucapkannya pun selalu sama, ia selalu menyuruhku untuk menyelesaikan sesuatu yang entah itu apa, karena aku selalu terbangun saat ia sudah mengatakkan hal itu.
Masih dua jam lagi untuk menunggu matahari terbit, seperti biasa aku akan melihat ponselku dan mencari sesuatu yang tak penting di dalamnya. Aplikasi ini memang sangat memantuku untuk menghabiskan waktu hanya untuk sekedar menggerakkan jariku ke atas atau ke bawah, dan menampikan gambar-gambar kehidupan yang menyenangkan. Beberapa juga menampilkan wajah-wajah yang ku kenali, entah yang pernah ku temui di sekolah ataupun di televisi. Kehidupan mereka begitu menyenangkan seakan tidak ada beban sedikitpun dalam hidupnya.
Pantai yang indah, atau juga pemandangan gunung yang nampak sejuk menambah keindahan gambar yang mereka ambil. Bagaimana bisa semua orang bisa menghabiskan waktunya untuk datang ke tempat-tempat tersebut sedangkan aku hanya berdiam diri di dalam kamar sempit sambil memandangi mereka. Walaupun begitu aku selalu pergi ke gunung setiap minggu, bahkan baru saja tadi malam aku ke sana. Saat diingat kembali, perjalanan semalam sangat gelap, lampu jalan hanya membantu sedikit untuk pengendara agar tidak terlalu mengantuk. Minggu sebelumnya aku selalu mengendarai bis dan memilih untuk memejamkan mataku saat melewati daerah itu, hingga tak pernah ku sadari setiap minggu dalam sepuluh tahun aku selalu melewati pemandangan indah yang semalam mengalihkan perhatianku.
“mungkin karena dia,” batinku.
Aku kembali mengalihkan pikiranku dengan memandang ke layar ponsel, menggulirkan sedikit demi sedikit hingga tak sadar aku sudah melewatkan berjam-jam di depannya. Cahaya perlahan menembus jendela kamarku untuk menandakan bahwa pagi telah tiba, dan sekaligus untuk mengingatkanku agar segera bangkit dari kasur.
Telapak kakiku perlahan menyentuh ubin yang terasa sangat dingin, entah karena hawanya atau kakiku sendiri yang terlalu dingin. Seakan ditakdirkan untuk melihatnya, sedikit cahaya matahari tertuju pada sebuah buku yang terletak di atas lemari bajuku, yang aku bahkan tidak mengingat mulai kapan ia berada di sana.
Dengan dibantu sebuah kursi kecil, aku meraih buku yang sudah penuh debu dan jarring laba-laba itu. Pikiranku sempat terhenti sejenak untuk memastikan apa yang ku lihat, mata yang awalnya masih terasa buram kini sudah terbuka dengan lebar, dan dapat memandang dengan jelas. Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa menghampiri diriku hari ini, mungkin terkesan aneh dan tidak masuk akal, namun ada sedikit rasa bahagia saat aku bertemu dengannya, teman lamaku yang pernah menemaniku saat tidak ada satu orang pun di sana. Melihatnya seperti menemukan kembali takdir yang sempat terkubur bertahun-tahun.
Senyumku mulai merekah saat membayangkan untuk membaca setiap katanya, namun aku juga merasakan hal yang berbeda, seakan ada sesuatu yang hilang dari ingatanku tentang buku sampul putih yang sudah berdebu ini. Sesuatu yang hilang seakan menjadi jawaban mengapa aku tak bisa merasakan apapun saat ini.
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu