Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.
Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.
Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel yang terang menampilkan waktu terkini, masih pukul 06.00, setidaknya aku bisa tidur nyenyak, batinku. Walaupun hanya empat jam aku tertidur, itu cukup melegakan, mengingat tidurku tak pernah nyenyak setiap memimpikan hal yang sama.
Aku menyadarkan diriku sendiri, dan menyeret tubuhku keluar kamar. Tercium bau rempah-rempah yang telah direbus lama, dan juga suara khas penggorengan panas. Ah … pasti ayam goreng, terka ku. Langkah kakiku terus berjalan menuju arah dapur, sambil menghidupkan kembali syaraf-syaraf yang tertidur.
Ketel yang telah terisi air masih menempel sempurna di atas kompor. Ya, masih sama dengan hari kemarin, dan akan selalu sama jika aku tak memindahkannya. Karena aku memang sendiri di rumah ini. Ya, hanya aku sendiri. Aku tersenyum tipis saat bertatapan sesaat dengan tetangga sebelah rumahku, karena memang dapurnya dan dapurku memiliki kaca yang berhadapan. “Ayam goreng pasti enak,” batinku saat ia mulai menggoreng ayamnya.
Ketel di atas kompor mulai berdecit, perlahan aku juga menyiapkan sarapanku. Ku buka satu persatu plastik yang ada di depanku. Berbagai macam bumbu, dan juga sedikit sayuran telah ada di hadapanku. Ini adalah sarapanku hampir setiap hari, entah sejak kapan. Ku tuangkan air panas pada cup, dan memasukan bumbu andalannya, memasukkan sayur kering, dan langkah terakhir adalah menutupnya rapat-rapat.
Jika tidak ada mie instan cup, aku akan mengganti dengan makanan lainnya. Bubur instan misalnya, atau kadang juga minuman sereal. Hanya itu yang bisa ku lakukan setiap pagi, karena akupun tak ada waktu untuk menyiapkan makanan apapun.
Sembari menunggu mie melunak, layar ponsel di sampingku kembali menyala untuk menampilkan pengingat. “Mengunjungi Ibu” tulis pesan pengingat pada ponselku. Aku hanya menghela nafas perlahan, karena aku tahu bahwa tiap minggu hari ini akan selalu hadir, dan ini adalah waktunya aku memasang wajah keduaku.
Dengan segera kubuka penutup yang menghalangi sarapanku hari ini. Sebagian orang mungkin akan cenderung mengatakan ini terlalu lembek, namun bagiku ini adalah yang paling tepat saat memakan mie cup. Garpu yang ada di tanganku tak berhenti untuk meghantarkan mie menuju indra pengecapanku. Kurang dari sepuluh menit dan sarapanku sudah selesai. Aku memilih untuk menahan diriku agar tetap berada di meja makan, serta memandangi sekitarku. Saat rumah sebelah sangat ribut dengan tangisan bayi, dan anak-anak yang berebut kamar mandi karena bangun terlambat, aku bahkan tak memiliki seseorang yang dapat menyapaku selamat pagi.
Selama setengah jam aku membuang waktuku dengan sia-sia, hanya diam dan mendengarkan keributan tetangga sebelah rumah. Sampai akhirnya ingatan untuk berangkat kerja menampar lamunanku. Walaupun aku hanya sendiri, aku tetap harus hidup dan tidak membebani orang lain.
***
“Pagi, Bu Ren,” sapaku.
Wanita paruh baya di depan penggorengan langsung memalingkan badannya dan menghadap ke arahku. Senyumnya perlahan merekah, dan di ujung matanya terbentuk garis-garis halus. Aku yakin Bu Reni dulunya adalah kembang desa, wajahnya yang cantik seakan tak lekang oleh waktu. Tatapan matanya sangat tajam, dan memiliki bola mata yang cenderung lebih gelap dari kebanyakan orang.
“Pagi, Rigel. Udah makan, Nak? Ayo sini sarapan dulu,” jawabnya dengan penuh senyuman.
“Makasih, Bu. Rigel udah sarapan tadi di rumah, kenyang, Bu.” Aku menjawabnya sambil memasang apron ke badanku, dan memasang penutup rambut agar lebih higienis.
“Kebiasaan ya, pasti makan mie lagi kan?” ujarnya sambil bersungut padaku. Aku hanya perlu tersenyum seperti biasanya, dan ia pasti tahu maksud dari senyumku.
Bu Reni memukul bahu ku dengan pelan bahkan hanya seperti angin lewat. Satu-satunya orang yang dapat memperhatikanku saat ini hanyalah dirinya. Hal itu karena ia pun juga hidup seorang diri, tanpa memiliki suami dan anak. Karena nasib kami yang sama inilah salah satu alasan aku dapat bekerja di rumah makan ini dulu, walaupun tanpa pengalaman, dan saat itu aku masih melanjutkan sekolah.
“Bu, hari ini Rigel ijin pulang lebih cepet ya,” tanyaku pada Bu Reni yang masih sibuk menggoreng beberapa lauk.
“Oh, iya hari Kamis ya. Semoga hari ini lebih baik ya, dan Rigel besok gak ada luka baru,” jawabnya sambil tersenyum seakan menguatkanku. “Ibu juga hari ini mau tutup lebih cepet kok Gel, mau check tangan,” lanjutnya.
“Kenapa tangannya, Bu? Bekas lukanya sakit lagi?” kataku sambil memperhatikan luka hitam di pergelangan tangannya.
“Tenang aja, biasa kok ini. Nanti juga pulang dari dokter langsung sembuh,” jawabnya santai.
Aku hanya bisa memanyunkan bibirku, dan ia tersenyum gemas. Luka di pergelangan tangannya memang sering kambuh, dan bahkan kadang sampai tak bisa digerakkan. Bu Reni pernah mengatakan bahwa luka itu adalah keteledorannya saat dulu memasang gas, dan membakar rumah makan lamanya. Aku pun juga tak bisa menanyakan lebih lanjut karena takut mengungkit luka lama.
Seperti hari-hari biasa rumah makan ini selalu rame menjelang jam makan siang, karena para pekerja kantor dan pekerja lainnya di sekitar sini akan berbondong-bondong untuk makan siang. Tugasku bisa dibilang sederhana karena aku hanya perlu mengambilkan, dan mengantarkan pesanan. Namun kadang saat Bu Reni sibuk, aku juga merangkap sebagai kasir, karena kami hanya berdua di rumah makan ini.
Kadang aku juga merasa aneh, dengan bangunan yang lumayan besar mengapa Bu Reni hanya mempekerjakan aku, dan menanggung lainnya sendiri. Tapi lagi-lagi ia hanya menjelaskan bahwa masih ada trauma karena dikhianati pekerjanya di masa lalu.
Rumah makan ini sangat strategis, karena berada di tengah daerah sibuk. Lingkungannya banyak terisi dari kantor, proyek bangunan, dan juga perguruan tinggi. Harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau, menunya juga beragam, hal inilah yang menjadi daya Tarik rumah makan ini. Yah, walaupun banyak para supir angkot, dan pekerja bangunan bahkan para petinggi kantoran yang menggoda Bu Rani, karena kecantikannya.
“Mbak, saya sayur asem sama ayam gorengnya satu ya, tempat biasa,” kata seorang lelaki bertubuh tinggi yang bahkan lebih tinggi daripada etalase di depanku. “Sama es teh satu,” lanjutnya.
“Oh oke, mas,” jawabku yang langsung tersadar dari lamunan.
Dengan segera aku menyiapkan, dan mengantarkan pesanan ke mejanya. Kebetulan waktu makan siang belum tiba, jadi aku bisa menyiapkannya tanpa terburu-buru, dan hanya ada satu orang saat itu. Ia memang pelaanggan tetap rumah makan kami, salah satu mahasiswa di perguruan tinggi dekat sini. Tempatnya untuk makan pun selalu sama, di sebelah pojok kanan, dekat kipas angin, dan menghadap ke arah jalan raya.
“Ini ya mas, sayur asem sama ayam goreng satu, es teh satu,” kataku sambil menaruh pesanannya di atas meja.
“Oke mbak, makasih,” jawabnya singkat, dan langsung meraih makanan agar lebih dekat ke arahnya.
Aku juga langsung kembali ke tempat awal, dan langsung membantu Bu Rani. Sepuluh menit lagi sudah masuk jam makan siang, yang berarti kita berdua harus bekerja ekstra. Rencananya setelah jam makan siang kita akan menutup rumah makan, sesuai kesepakatan tadi pagi. Karena itu etalase hari ini sedikit luang daripada biasanya, yang selalu penuh hingga ditata piring bertemu piring.
“Masnya ganteng ya, Gel,” celetuk Bu Rani.
Aku yang sedang mencuci piring pun tentu saja akan terkejut dengan pendapat Bu Rani yang sangat tiba-tiba. Dengan senyuman manisnya, ia kembali melanjutkan aktifitasnya yang sedang menumis daun-daun kangkung hijau. Matanya sesekali melirik ke arahku yang masih bingung dengan serangan tiba-tiba tadi.
“Masnya sering diem-diem ngeliatin kamu loh. Ibu tau dari lama, kamunya gak peka-peka,” ujar Bu Rani yang menahan tawa dengan telapak tangannya.
“Ibu, apa sih. Nggak ah, Masnya biasa aja bu, ibu yang banyak nonton sinetron, jadi halu,” jawabku santai.
Obrolan kami pun tak lagi bisa dilanjutkan karena para pembeli satu persatu sudah mengantre di depan etalase untuk memesan. Kebanyakan di antaranya lansgung membawa pesanannya karena akan lebih cepat daripada menungguku untuk mengantar makanan. Bu Rani juga telah sibuk di sisi lainnya dengan denting gelas-gelas kaca dan sendok yang dipegangnya. Aku pada akhirnya merangkap untuk kasir, karena memang Bu Rani sudah tidak bisa mengatasinya. Lelaki yang tadi dibicarakan Bu Rani pun sudah menyelesaikan makanannya saat semua orang baru saja sampai. Entah masih terbawa suasana obrolan tadi atau ada yang salah denganku, wajahku sangat memerah. Namun tentu saja aku berusaha untuk menetralkan detak jantungku agar tak terlalu kentara di depan lelaki itu. Seperti biasa ia membayar dengan uang pas sehingga pertemuan itu tak berlangsung lama.
Dengan cepat waktu makan siang telah berlalu, dan hanya menyisakan beberapa pembeli saja. Bulir-bulir keringat mulai tumbuh di kedua sisi pelipisku, dan pada akhirnya menghilang bersama tissue yang kutempelkan. Bu Rani juga melakukan hal yang sama, dan bahkan kini ia memilih duduk di depan kipas angina untuk menghilangkan lelahnya.
Denting jam di dinding menyadarkanku, ada hal yang lebih penting hari ini. Sebenarnya aku belum siap bertemu dengannya walaupun sudah bertahun-tahun aku harus melakukannya. Tetap saja belum terbiasa dengan semua ini, rasa sakit yang akan ku terima hari ini bukan hanya fisik tapi juga batin.
Setelah menarik nafas panjang, aku memutuskan untuk membersihkan beberapa hal sebelum meninggalkan rumah makan, apalagi setelah tahu bahwa pergelangan tangan Bu Rani sakit, tak mungkin aku membiarkannya mencuci piring-piring kotor ini sendiri. Tak butuh waktu lama juga untuk menyelesaikannya, jadi lebih baik aku saja yang melakukannya. Setelah memastikan semua telah bersih, aku melepas apron yang menempel pada badanku, dan berpamitan pada Bu Rani untuk menemui ibu.
“Hati-hati ya nak, semoga ibumu hari ini lebih baik dari biasanya,” katanya sambil mengantarkanku keluar.
***
Di dalam bis aku tidak bisa melakukan apapun, sesekali aku hanya mengecheck notifikasi ponselku. Hatiku selalu campur aduk saat akan menemui ibu, entah apa yang harus ku rasakan, yang jelas aku harus menyiapkan wajah keduaku, senyum terbaikku, dan aku harus menyiapkan hatiku untuk terluka. Banyak hal yang mungkin akan terjadi hari ini, mengingat ini adalah hari yang berbeda dari biasanya.
Kardus yang ada di pangkuanku terus saja bergoyang mengikuti jalanan yang berliku. Lokasinya di atas gunung tentu saja mencapainya butuh jalan yang berbeda dari biasanya. Aku terus memastikan bahwa barang yang kubawa baik-baik saja, karena aku tidak ingin hari ini akan semakin kacau.
Setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan, kini aku sudah sampai di tempat ibuku berada. Lokasi yang sangat strategis, berada di atas gunung, sejuk, dan dipenuhi pohon pinus mengelilinginya. Aku terus melangkahkan kakiku menuju jalan setapak yang terus naik menuju perbukitan. Tulisan selamat datang seakan menjadi pintu pembuka bagiku, SELAMAT DATANG DI RUMAH SAKIT JIWA MANDALA.
Tak lama setelah memasuki gerbang, aku menuju resepsionis yang sudah sangat mengenalku. Seorang perawat pun mengantarkanku menuju ruangan 981 tempat ibuku berada. Dari kejauhan sudah nampak ia sedang berada di depan jendela, dan memandang ke arah luar yang menyajikan pemandangan indah.
Tok … tok … aku mengetuk pintu sesaat, dan saat ia menoleh aku segera masuk ke dalam ruangan. Ibu masih sama dengan hari-hari sebelumnya, pertanyaannya pun juga masih sama.
“Siapa yang menyuruhmu ke sini?” tanyanya sambil mengalihkan pandangan.
“Ibu apa kabar hari ini, Bu. Rigel bawa kue bu,” jawabku yang sudah memasang wajah kedua dengan senyuman manis.
“Ulang tahun?” tanyanya singkat.
“Ibu ingat hari ini ulang tahun Rigel?” tanyaku sedikit antusias, karena biasanya ia seakan tak mengenalku.
“Ya, aku masih berharap tak pernah melahirkanmu,” jawabnya singkat.
Kekuatanku sudah diambang batas, tidak hanya hatiku yang terluka, bahkan kedua kakiku kehilangan kekuatannya untuk tetap berdiri. Tubuhku terhuyung ke samping ranjang besi yang dicat putih sesuai dengan kasur dan bantalnya. Apa aku harus menyerah saja? Ujarku dalam hati.
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu