Home / Thriller / BLACK EYE : When The Story Begin / BAB I - Wanita Berwajah Dingin

Share

BLACK EYE : When The Story Begin
BLACK EYE : When The Story Begin
Author: The_BlueMoon

BAB I - Wanita Berwajah Dingin

Author: The_BlueMoon
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. 

Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan!

***

Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi.

Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku.

“Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita berbadan tinggi.

Sepucuk air mata sudah tak terbendung, dan mengalir di ujung mataku. Kain kumal menyumpal dengan baik mulut mungilku, walaupun aku ingin beteriak tentu saja akan sia-sia.

“Kenapa nangis? Tante baik kok, Tante gak akan nyakitin kamu.” Ia mengarahkan tangannya yang kosong ke ujung mataku, dan mengusapnya.

Ujung bibirnya kembali terangkat sebelah, dan menampilkan sosok yang sangat menyeramkan bagiku.

Kini ia berpindah untuk menelusuri tas sekolah berwarna pink cerah yang ada di dekatnya. Dengan begitu pisau yang sejak kurang lebih tiga puluh menit lalu bertengger di samping leherku, kini perlahan menjauh.

Aku mulai menghela nafas lega, setidaknya salah satu ancaman telah berhasil dilewati. Memejamkan mata merupakan hal yang paling tepat saat berada pada kondisi saat ini. Walaupun begitu, aku masih bisa merasakan kondisi dari tempat ini.

Hawa dingin mulai menusuk ke badan mungilku yang hanya dilapisi baju putih, dan rok pendek merah menyala. Ruangan ini tak lebih besar dari kamar tidurku, bahkan ini jauh lebih kecil. Samar-samar terdapat cahaya di atasku, menerangi hanya bagian tengah ruangan ini.

Tidak ada hal lain yang bisa dilihat selain jaring laba-laba, tumpukan kayu bekas bangunan, dan timbunan debu yang melambangkan betapa tuanya ruangan ini. Wanita itu masih terus menelusuri setiap senti dari tas bergambar beruang yang dipegangnya. Belum sempat aku mengamati wajah cantiknya, ia kembali menyunggingkan senyumnya.

“Rigella,” panggilnya sambil memandangku.

Entah apa yang ada dipikirannya saat memanggil namaku, nada dan bahkan ekspresinya benar-benar tidak bisa tertebak. Aku terus menurunkan pandanganku, tatapan matanya sangat berbeda dengan orang yang biasa kutemui setiap harinya. 

Ruangan yang memang dingin itu kini terasa semakin tak bersahabat. Ia kembali mendekat ke arahku, dentuman ujung sepatunya seirama dengan detak jantungku yang semakin cepat. 

“Tante bakal kasih kamu hp ini, coba bilang siapa yang pengen Rigell telfon sekarang?” ujarnya sambil menggenggam hand phone yang diberikan Ayah untukku sebulan lalu.

“A-ah!” kataku yang tidak jelas karena masih tersumpal dengan kain. 

“Oh, Rigell anak ayah ya ternyata, Tante kira bakal nelfon ibu,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah hp yang dipegangnya.

Matanya bergerak seiringan dengan jari lentiknya yang menekan tombol-tombol yang ada di hpku. Setelah sekilas melirik ke arahku, ujung bibirnya kembali terangkat. Kini jarinya menekan tombol yang bergambar telepon berwarna hijau. Tak lama, layar menyala dengan menampilkan nama “Ayah”.

“Halo! Rigell, nak Rigell di mana?” ucap ayahku begitu telepon tersambung.

Nadanya nampak sangat khawatir, terdengar samar-samar suara ibuku yang menangis. Aku tak bisa mengatakan apapun karena memang tenagaku pun sudah habis.

“Apapun yang anda inginkan saya akan penuhi,” ujar Ayah yang terus berusaha untuk membujuk wanita berbaju merah ini.

“Apapun? Nyawa sekalipun,” jawab wanita itu dengan singkat. Tak ada jawaban dari seberang sana, hening tersebut seakan semakin menyakiti hatiku sedikit demi sedikit. Berbagai pikiran pun telah menyerbak ke setiap sel otakku.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin ku tanyakan pada ayah. Apakah Ayah tidak peduli denganku? Bahkan aku yang baru saja berusia sebelas tahun sangat tahu bahwa wanita ini hanya mengancam, tidak lebih dari itu.

Seberang telepon masih saja hening dan aku akhirnya menyerah. Air mata mulai mengalir deras dari mataku, wanita berbaju merah pun juga pada akhirnya memutuskan telepon itu dan merendahkan tubuh tingginya agar sejajar denganku. Tatapannya semakin masuk pada bagian diriku yang lain, seakan mengatakan bahwa aku hanya memiliki dirinya untuk selamat, tidak pada orang lain.

“Rigell paham kan maksud Tante? Hanya tante yang ada untuk Rigell,” kata wanita berbaju merah.

Secara tidak sadar aku menundukkan kepalaku, kata-kata yang diucapkannya tadi memang benar adanya. Selama ini aku terus dibiarkan sendiri di rumah tanpa ada yang memperhatikan. Ayah dan Ibu jarang ada waktu di “rumah” bahkan aku bingung karena tempat itu pun tidak bisa dikatakan sebagai rumah yang sebenarnya.

Wanita berbaju merah kembali ke posisinya semula, Ia menunduk untuk berbicara denganku yang kini terikat di atas kursi. 

“Lapar?” tanyanya singkat.

Aku pun mengangguk karena memang aku sangat lapar, sejak pagi aku bahkan belum makan ataupun minum sedikitpun. Tenagaku juga sudah terkuras saat aku memberontak tadi.

Segera setelahnya, Ia meninggalkan ruangan sempit ini dan pergi meninggalkanku.

Saat itulah entah apa yang membuatnya lupa menutup pintu, aku melihat setitik harapan untuk kabur dari ruangan yang menyesakkan ini. Kursi yang `ku duduki terus bergoyang, tanganku berhimpitan satu dengan lainnya. Begitu pula dengan pergelangan kakiku, aku terus menggerakkannya hingga tali yang mengikatnya merenggang.

Tali yang mengikat tanganku sedikit merenggang dan aku juga berusaha melepaskan kain kumal yang masih menutup bibir mungilku. Hingga akhirnya aku berhasil membebaskan bibirku dan menggigit simpul tali yang mengikat pergelangan tanganku. Darah segar terlihat menetes pada helai-helai tali tampar berwarna putih pucat ini. Nampaknya gigi mungilku tidak cukup kuat untuk membuka ikatan kuat wanita berbaju merah. 

Perjuangan tentu saja akan memberikan hasil yang memuaskan, ikatan tampar di pergelangan tanganku sudah terlepas dan pastinya dengan mudah aku akan melepaskan ikatan yang membalut pergelangan tanganku.

Pintu masih terbuka, dan aku tidak menemukan tanda-tanda wanita berbaju merah. Aku yakin ia pergi keluar untuk mencari makanan, karena aku cukup menyusahkannya tadi, jadi ia juga akan merasakan lapar.

Aku segera berlari, menyusuri rumah yang entah berada di mana. Aku terus berlari dengan kakiku yang sudah pincang sebelah. Setelahnya aku merasa sangat bersemangat saat ku lihat pintu pagar dari ujung ruang ini. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan cepat menggapai pagar tersebut, dan berhasil membuka pagar berkarat itu.

Kini aku sudah bisa bernafas lega, namun aku juga tak tahu sekarang berada di mana, sampai aku menemukan seorang lelaki yang tak jauh dariku, aku berlari ke arahnya untuk meminta bantuan. Lelaki itu dengan cepat melangkah ke arahku, karena melihat kakiku sudah pincang sebelah.

“Adek kenapa?” tanyanya setelah menyetarakan dirinya denganku.

Saat hendak menjawab pertanyaan lelaki itu, tak disangka suara yang tidak asing terdengar di telingaku.

“Dia anak saya, Mas. Terima kasih atas pertolongannya.” Wanita berbaju merah tepat berada di belakangku, dengan senyumnya.

***

Related chapters

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB II - I am Loner

    Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB III - Penyelamatan Yang Tidak Semestinya

    Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IV - Life After Nightmare

    Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB V - Why Am I Alone?

    Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VI - Bertemu Sang Takdir

    Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VII - Mencari Sisa Kebahagiaan

    Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VIII - Jika Kau Kebahagiaanku, Akan Ku Perjuangkan

    Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IX - Persimpangan Jalan

    “Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem

Latest chapter

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB X - Dua Orang yang Keras Kepala

    Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IX - Persimpangan Jalan

    “Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VIII - Jika Kau Kebahagiaanku, Akan Ku Perjuangkan

    Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VII - Mencari Sisa Kebahagiaan

    Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB VI - Bertemu Sang Takdir

    Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB V - Why Am I Alone?

    Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB IV - Life After Nightmare

    Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB III - Penyelamatan Yang Tidak Semestinya

    Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal

  • BLACK EYE : When The Story Begin   BAB II - I am Loner

    Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu

DMCA.com Protection Status