Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan.
“Rigella,” panggilnya.
Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi.
Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Matanya terlihat sayu saat melihatku, tak seperti biasanya yang akan menatapku berapi-api seakan penuh dendam. Sedikit harapan tertanam di hatiku setelah diruntuhkannya sesaat yang lalu. Kue ulang tahun masih tak bergeser di atas ranjang putih, seakan menjadi saksi bisu dari kejadian ini.
Ia mendekatkan dirinya padaku, wangi yang dulu selalu ku ingat kini kembali masuk pada indra penciumanku. Tangannya masih terus melakukan hal yang sama, bergeser kesana kemari searah dengan tumbuhnya rambut panjangku.
“Rigella,” ucapnya lagi, yang kini seperti sebuah bisikan di samping telingaku.
“Aku tak pernah memberikan nama itu pada anakku, pria itu yang memasukkannya pada nama anakku. Nama yang selalu ku kutuk setiap hari, karena semakin mengingatkanku pada wanita yang ku benci. Anakku telah pergi sepuluh tahun yang lalu, bersama dengan wanita yang ku benci, dan juga pria yang menyayanginya,” lanjutnya.
Tanpa ku sadari, pipiku menjadi dingin. Air tak henti menetes dari ujung mataku, seakan mewakilkan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Tangannya kini berpindah ke pipiku, dan mengusapnya sambil terus memandangiku. Hati yang ku kira sudah tak bisa terluka, kini semakin terbuka sayatannya, aku terlalu sesumbar tak akan pernah tersakiti lagi, hingga kini kurasakan kembali apa itu rasa sakit.
Aku menggelengkan kepalaku, air di ujung mataku semakin deras mengalir, dan ku rasakan mata ini semakin membersar. Dengan kalimat yang terbata-bata ku ucapkan apa yang ada di hatiku.
“Aku masih anak ibu,” kataku pelan.
Ia yang tadinya hanya terdiam kini tersenyum sinis ke arahku, perlahan senyuman itu menjadi semakin lebar hingga suara tawanya memenuhi ruangan sesak, bercat putih tulang ini.
“Kau sudah memilih menjadi anak wanita laknat itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan hingga kini kau masih bersamanya, dan berani-beraninya masih mengaku menjadi anakku, hah!” katanya dengan nada tinggi, dan memandang sinis ke arahku.
Tangisku semakin menjadi-jadi, sekeras apapun untuk menolaknya, ia masih terus mengatakan hal yang sama. Kata-katanya pun masih tak bisa ku terima, bahkan wajah Wanita berbaju merah pun aku tak ingat. Ia hanya sebatas hadir di hidupku melalui mimpi-mimpi buruk yang terus menyiksaku selama sepuluh tahun. Kejadian yang terjadi pun hanya berulang-ulang saat aku memandang bintang bersamanya. Bagaimna aku bisa memilih menjadi anak wanita yang bahkan tak ku ingat lagi wajahnya.
Sekelompok pria, dan wanita berbaju putih pun masuk ke ruangan ibu dengan cepat, mengingat tangisanku yang cukup kencang, dan cekcok sebelumnya menembus dinding tipis hingga terdengar keluar. Pria yang terdepan mengenakan kacamata berbingkai hitam, dan membawa sebuah suntik di tangannya, ia bernama Dokter Rahadi. Dua pria lainnya memisahkan tangan ibu yang kini telah melingar di leherku. Beberapa wanita membawa box yang entah berisikan apa. Perlahan ku lihat Dokter Rahadi menusukkan jarum itu pada lengan ibu yang masih berontak.
Aku mengalihkan pandanganku karena memang aku telah melihatnya berulang kali. Setelah beberapa saat aku akan kembali memandang ke arah Ibu, namun ia pasti telah terbaring lemah, dan tertidur di atas ranjangnya yang tipis. Berdasarkan perintah Dokter Rahadi kita semua meninggalkan ruangan Ibu. Ia juga memberikan isyarat bahwa aku harus menemuinya di ruangan dokter.
Ruangan ini sangat dingin, namun dilengkapi dengan kata-kata penyemangat yang di gantung rapi pada setiap sisi temboknya. Sebuah sofa di dekat meja besar nampak sangat nyaman untuk mengobrol lama. Dokter Rahadi telah duduk di belakang meja besar, dan menyandarkan dirinya di kursi yang aku yakin hanya dimiliki orang-orang penting.
“Jadi apa masalahnya hari ini, La?” tanya nya membuka obrolan kami.
“Saya hanya ingin makan kue, Dok,” ujarku sambil memandang kembali kue yang kini berada di pangkuanku.
“Ah, benar hari ini Ella ulang tahun kan,” katanya sambil menyilangkan kedua tangannya di atas meja.
Aku tak bisa menjawab apapun karena bahkan kini aku tak ingin mengingat lagi hari apakah ini. Ia memandangku dengan seksama, sambil membenarkan kembali kacamatanya yang tergelincir.
“Happy birthday,” katanya sambil tersenyum. “Apa benar ini anak kecil yang dulu memohon padaku untuk tidak membawanya pergi dari ibunya,” lanjutnya sambil masih terus memandangku dengan senyum.
Perlahan aku menundukkan kepalaku, dan teringat kembali saat hari dimana pertama kali aku bertemu Dokter Rahadi. Ia pun berpindah ke dekat tempatku duduk saat ini, wajahnya telah jauh menua dari pertama kali aku mengenalnya. Keriput telah muncul di beberapa bagian wajahnya saat tertawa.
“Kau tahu kan, ibumu emosinya akhir-akhir ini kurang baik,” tanya nya, dan hanya ku balas dengan anggukan.
“Ibumu pengidap delusinasi berat, jadi jangan terlalu memikirkan apa yang dikatakannya. Tak perlu terlalu sering mengunjunginya kalau memang hanya menimbulkan sakit hati, para perawat sudah menjaganya dengan baik,” ujarnya sambil memandang ke arahku.
“Apa bertemu dengan saya akan memperburuk keadaanya, Dok?” tanyaku meyakinkan.
“Dokter hanya tidak ingin Ella semakin terluka, dua bulan sekali sudah cukup untuk menjanguk Ibumu. Ia juga akan merasa betapa pentingnya Ella di hidupnya,” katanya menjelaskan dengan santai.
“Ella bekerja siang malam demi membayar rumah sakit, belum lagi biaya hidup lainnya. Semua pasti melelahkan, sudah percayakan kondisi ibumu pada Dokter,” lanjutnya.
Apa yang bisa ku katakan? Semua memang benar adanya. Mungkin aku terlalu lelah, dan terus menempel pada Ibu sehingga membuatnya semakin menderita teringat kematian orang yang dicintainya.
Setelah pertemuan singkat itu selesai, aku segera melangkahkan kakiku keluar dari gerbang rumah sakit, dan berjalan gontai menuruni jalan setapak menuju jalan utama. Pikiranku seakan terombang-ambing tanpa ada kejelasan di dalamnya. Box kue masih tergenggam erat di tanganku, entah apa yang harus ku lakukan dengan ini, setidaknya aku tidak ingin membuangnya, dan menyia-nyiakan uang yang sudah susah payah kucari setiap harinya.
***
Aku juga merasakan hal yang sama saat menuruni jalan ini sepuluh tahun yang lalu, setelah Dokter Rahadi memutuskan bahwa ibuku harus dirawat di rumah sakit ini.
Luka di tanganku bahkan belum kering, namun dalam seminggu telah banyak luka baru yang menggores badanku. Bekas pukulan rotan di bagian punggungku, dan kini pipiku sudah memerah karena tamparan keras. Semua orang yang berkumpul di ruang tamu memandang ke arahku dengan tatapan iba. Tak jauh beda dengan kondisi Ibu yang juga dipandangi oleh banyak orang, bahkan beberapa diantaranya telah mengeluarkan hujatan pada Ibu.
“Dia memang bukan anakku, dia sudah menjadikan keluarga ini berantakan. Anak ini hanyalah sebuah ketidak sengajaan yang harusnya sudah ku hilangkan dari dulu,” teriak ibu yang mulai kehilangan arah.
Kini badannya kurusnya ingin memberontak dari cengkraman bapak-bapak tetangga sekitar yang menghalaunya untuk melukaiku. Sementara itu, aku terduduk di lantai dengan dilindungi ibu-ibu yang turut prihatin denganku. Ibu telah bertingkah aneh sejak semeninggal ayahku di rumah lusuh. Kini sudah hari ke tujuh sejak ayah meninggalkan kami, selama itu pula Ibu telah menyiksaku habis-habisan, dan juga selalu menuduhku sebagai pembunuh ayah, sebagai dalang dari semua kejadian sial di keluarga kami.
Sampai pada akhirnya seseorang dari tetangga yang hadir di acara peringatan meninggalnya ayahku menelpon rumah sakit jiwa terdekat. Lagi-lagi aku mendengar suara sirine yang meraung memenuhi ruangan tempatku berada. Sekelompok orang berpakaian serba putih turun dari mobil yang juga berwarna putih. Satu orang di antaranya nampak seperti pemimpin kelompok karena ia yang mengawali pembicaraan dengan salah satu tetanggaku yang menyambut mereka.
Sesekali ia melirik ke arahku sambil terus bercengkrama dengan bapak ketua rt, yang aku lupa siapa namanya. Pria pemimpin regu pun perjalan perlahan ke arahku, dan menyejajarkan tingginya untuk berbincang denganku.
“Adek namanya siapa?” tanya pria yang mengenakan kacamata itu.
“Rigella,” jawabku singkat, dan masih bingung dengan kondisi saat ini.
“Pinter banget, sekarang ikut dokter ya. Kita periksa dan obati Ibunya Ella,” jawabnya sambil tersenyum. Aku hanya menganggukan badanku, dan mengikutinya ke mobil dengan didampingi salah satu dari orang berpakaian serba putih. Aku duduk di sebelah ibuku yang sudah tak sadar berbaring di ranjang mobil ini. Aku terus melihatnya lamat-lamat, walaupun aku terus dipukuli dan dicaci maki, aku sama sekali membencinya. Itu bahkan lebih baik daripada saat ia sibuk meninggalkanku bekerja seperti yang lalu.
Mobil terasa berat karena jalan yang kami lewati kini terasa menukik, dan permukaannya tidak rata. Hari juga sudah petang, sehingga aku tidak bisa melihat sekitar. Mataku pun sudah sangat berat, namun ku coba bertahan untuk tidak memejamkannya. Sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah gedung khas bangunan tua yang kini ada di depanku. Ibu masih belum sadar, dan di bawa masuk beserta kasur yang dilengkapi roda itu.
Pria berkacamata pun mengajakku ke sebuah ruangan, ia memintaku beristirahat di sebuah sofa yang ada di dekat meja besar, dan berjanji akan segera mengobati ibuku. Setelah pria itu meninggalkan ruangan, aku memutuskan untuk berkeliling sejenak dan menghilangkan rasa bosan. Pada meja pria itu tertuliskan dr. Rihadi Rahmad Sp. KJ. dan ada pula foto keluarga di sampingnya.
Aku memutuskan untuk membaringkan badan mungilku sejenak di atas sofa empuk itu. Tanpa sadar aku sudah melewatkan malam berat di hidupku, matahari membangunkanku dengan sinarnya yang menyilaukan. Sejenak ku pandangi jendela-jendela besar di hadapanku, beberapa menit setelahnya aku memandang kagum pemandangan di balik jendela. Hamparan pegunungan hijau seakan menghidupkan kembali jiwaku.
“Sudah bangun,” kata Dokter Rihadi menyadarkan lamunanku.
“Sudah,” jawabku singkat karena masih terkesima dengan pemandangan di depanku.
“Dokter ingin bicara dengan Ella, bisa?” tanya nya padaku. Ia melangkahkan kakinya di sebelahku yang kini berada di depan jendela besar, dan sibuk memandangi pemandangan.
“Ella mau tinggal dengan Dokter?” lanjutnya.
Wajahku seakan menjelaskan semuanya, aku bingung dengan apa yang dikatakannya. Jantungku seakan berhenti sejenak untuk mencerna kata-katanya.
“Ibu Ella sakit, dan hanya ada satu cara agar Ella tetap beraktifitas,” jelasnya.
Dengan segera aku memiliki insting untuk berlari mencari ibuku, yang sempat beberapa saat ku lupakan. Namun percuma saja karena badan dokter itu lebih besar, dan tenaganya lebih kuat.
“Saya mohon dokter, saya ingin bersama ibu,” jawabku sambil terus menangis. Badan mungilku berontak dari dekapannya. “Saya mohon,” lanjutku yang masih terisak.
“Tolong tinggal bersama dokter, dan nanti kalau Ella sudah siap, dokter akan membebaskan apapun keputusan Ella kedepannya,” jawabnya sambil menatap ke arahku.
Sejak saat itu secara tidak langsung aku menyetujui tawarannya. Walaupun aku masih sebelas tahun, semua gambaran masa depan telah tampak nyata di depanku. Aku harus melanjutkan sekolah, dan jika Ibu sakit siapa yang akan membiayainya. Degan begitu aku menyetujui apa yang dikatakan Dokter Rehadi, dan segera pidah ke rumahnya.
***
Sesampainya aku di halte bis, aku tersenyum tipis saat mengingat semua hal itu. Pada akhirnya pun aku keluar dari rumahnya setelah menyelesaikan sekolah dasarku, dan memilih untuk hidup sendiri sebagai remaja mandiri, di rumahku sendiri tanpa ada yang menganggapku beban.
Setengah jam aku menunggu bis terakhir yang bisa membawaku ke kota, namun tampaknya bis terakhir telah lewat saat aku merenung sambil berjalan pelan di jalan setapak. Harus menginap di halte bis pada tengah malam dan dingin, aku sudah bisa membayangkannya. Aku tak merasa keberatan karena aku selalu sendiri, tak lagi ada rasa kesepian dalam diriku.
Sebuah lampu sekilas mengganggu pengelihatanku, sorotnya begitu menyilaukan karena berasal dari jalan yang lebih tinggi dari halte bis tempatku menyendiri. Motor hitam besar, dan bercat mengkilat berhenti tepat di depanku, pria dengan celana hitam, dan jaket maroon kini berdiri tepat di hadapanku. Helm besar menutup sebagian besar wajahnya membuatku semakin bingung, hingga akhirnya ia melepas helm dan merapikan rambutnya.
“Ella,” panggilnya dengan nada berat. Tentu saja aku sangat mengenalnya, pria itu.
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu