“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca.
“Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku.
Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang.
Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu