Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini.
Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin.
Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal yang sama denganku, sembuat jingga terlihat sangat menyilaukan seperti cahaya dari surga yang dikirimkan menuju ruang sempit, tanpa penerangan, dan lembab ini.
Saat sinarnya mulai menghilang, aku sudah tak bisa lagi melanjutkan bacaan yang hampir sampai pada penghujung babnya. Bagian yang dicetak tebal pun juga tak bisa nampak pada pengelihtanku. Walaupun seperti itu, aku terus menyipitkan pandanganku agar dapat membaca satu persatu kata dengan jelas.
“Kalau Rigell nggak selesai, Tante nggak akan makan,” ujarnya.
Kini aku semakin berfokus pada deretan huruf yang ada di depanku. Tanpa ada penerangan, aku terus merapalkan huruf-huruf yang kulihat. Bulir-bulir keringat mulai mengucur memenuhi wajah dan leherku, sebagai tanda bahwa aku bekerja sangat keras. Cahaya bulan yang juga masuk lewat angin-angin, sedikit banyak membantuku untuk membaca kata selanjutnya. Di tengah kegelapan ini, aku merasa semakin masuk pada apa yang ada di hadapanku.
Sampai pada akhirnya, aku sampai pada kalimat terakhir yang dicetak tebal. “Aku dikirimkan ke dunia oleh Tuhan sebagai bentuk hadiah dan hukuman bagi orang-orang yang lupa kepada-Nya”
***
Setelah aku menyelesaikan tahap kedua dari buku ini, wanita berbaju merah tak mengatakan satu katapun padaku. Sebenarnya aku sangat berharap ia akan memujiku seperti sebelumnya, namun ternyata tidak sama sekali. Ia mulai bergeser dari tempatnya bersandar, dan mengambil mie yang tentu saja sudah sangat-sangat lembek dan tidak berasa itu.
Wanita berbaju merah mulai melahap makananya dengan cepat. Sesekali ia memandangku dengan alasan yang tidak pasti, dan malah membuatku bingung. Melihatnya makan sangat lahap membuat aku yang sebelas tahun merasa sangat bahagia, seakan mendapat hadiah setelah sukses mengerjakan ujian dengan baik.
Cup mie instan yang tadinya penuh sesak, kini telah kosong tak bersisa sedikitpun. Pasti kuahnya pun telah teresap pada mie, dan menjadikannya lembek seperti yang tadi kami makan. Wanita berbaju merah lagi-lagi masih belum membuka suaranya, bahkan kini ia kembali menatap ke arah angin-angin. Beberapa bintang terlihat terang dari celah sempit itu seakan ingin menyemangati, dan menghiburku. Atau bisa juga dikatakan untuk menghibur kita berdua.
Aku tak tahu pasti apa yang dipikirkan oleh wanita berbaju merah, pandangannya sangat sulit diartikan. Bisa juga karena aku masih terlalu muda untuk memahaminya. Salah satu bintang menarik perhatianku, Ia sangat bersinar di antara bintang-bintang lainnya.
“Rigell … tahu arti namamu?” tanya wanita berbaju merah secara tiba-tiba.
“Tidak.” Aku memperbaiki posisi dudukku yang sudah merosot, “Ayah tidak pernah mau memberi tahuku. Ayah hanya bilang itu nama salah satu bintang,” lanjutku.
“Karena dia bodoh, dan tidak tahu semua itu,” jawabnya. Wanita berbaju merah pun juga memperbaiki posisi duduknya, yang tadi melihat ke arahku, kini ia kembali bersandar dan memandang ke arah bintang di luar sana.
“Rigel bukan hanya bintang biasa. Rigel adalah bintang paling terang di malam hari yang diduga akan hidup selama puluhan tahun,” ujarnya. Aku pun ikut memandang ke arah yang sama, dan medengarkan ucapan wanita berbaju merah.
“Dia bintang yang ukurannya lebih besar dari matahari ….”
“HEBAT!” kataku yang memotong penjelasan dari wanita berbaju merah.
“Tapi, walaupun paling terang dan bahkan paling besar, dia bukan Alpha Orionis – bitang paling terang di rasi bintang Orion. Rigel adalah Beta Orionis – bintang paling terang ke-dua di rasi bintang Orion,” jelasnya.
“Hah? Bagaimana bisa?” tanyaku yang masih bingung.
“Karena kesalahan manusia dalam menggolongkannya ia menjadi nomor dua. Sangat menjengkelkan,” kata wanita berbaju merah. Aku memandangnya sesaat, wajahnya memancarkan aura yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tepatnya, ia terlihat sedih.
Aku tak pernah menyangka bahwa itu akan menjadi perbincangan terakhir kami.
BRAKK … seperdetik dari aku melihat wanita berbaju merah sedih, wajahnya berubah seketika setelah suara itu muncul. Aku tak mengerti apa yang terjadi, wanita itu tak berbicara apapun dan segera bangkit dari duduknya menuju sumber suara.
Beberapa detik kemudian terdengar suara sirine yang kuduga sumbernya adalah mobil polisi. Aungannya semakin lama memenuhi telingaku dan membuatku merasakan sesak nafas. Muncul bayangan dua orang dari pintu menuju ruangan ini, dan tak lama dua orang pria berseragam polisi berlari menuju ke arahku. Mereka melepaskan ikatan kakiku dengan cepat, sementara salah satu diantaranya mengambil tas ku yang tergeletak di tanah.
“Adek luka di mana? Sekarang kita keluar ya,” ujar salah satu polisi yang hendak menggendongku.
Pandanganku berpindah ke arah novel yang tergeletak di sampingku, dan dengan segera mengambilnya.
Entah bagaimana, aku sudah digendong keluar dari ruang yang seharian ini menjadi tempat ternyamanku. Saat aku sampai di depan pun terdapat dua polisi wanita yang mengajakku ke dalam mobil untuk merawat luka-luka tanganku. Sedangkan aku sendiri masih saja bingung dengan kondisi yang secepat kilat ini.
Kerumunan mulai memadati rumah lusuh yang letaknya tak jauh dari rumah warga. Yang aku bingungkan kemana saja semua orang ini sampai tidak sadar ada anak kecil yang terkurung di dalam rumah itu.
Samar-samar aku melihat sosok ayahku di kerumunan, dan menyusup masuk ke rumah lusuh. “Ayah,” kataku sambil menunjuk ke arahnya.
Saat ini otak kecilku memikirkan banyak hal, seperti mengapa Ayah masuk ke dalam? Apakah Ayah tidak tahu aku sudah selamat? dan masih banyak lagi.
“Ayah, ke dalam,” kataku yang panik pada polisi wanita di sebelahku.
“Ayah? Ayahnya Rigel di rumah, hanya ada polisi yang ke sini,” jawabnya.
BOOOMMM … belum selesai aku menyakinkan mereka berdua, rumah lusuh yang tadinya gelap gulita kini telah berubah seperti api unggun raksaksa. Kerumunan yang ada di dekatnya berlarian, dan berteriak sekencang-kencangnya.
Nafasku mulai tak beraturan, bayangan dari kejadian hari ini seakan terputar kembali di pikiran. Mataku perlahan menjadi buram, dan hanya dapat melihat kobaran api yang ada di depanku. Jantungku terasa berat untuk berdetak, dan dalam hitungan detik akupun telah menghilang, yang tanpa aku tahu, semua kejadian ini akan hilang dari ingatanku.
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan! *** Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi. Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku. “Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita be
Aku masih memulihkan kesadaranku. Belum sempat menyapa, bahkan membuka mulutku sedikitpun, kini aku sudah berada di kursi empuk dan dikelilingi pemandangan yang bisa dibilang menakjubkan. Bingkai-bingkai besar tergantung rapi pada dinding berwarna terang itu, bahkan yang aku tidak habis pikir, mengapa ada sebuah kepala yang tergantung di sana. Jangan salah paham, bukan kepala manusia namun kepala kerbau, yang pastinya tidak sebesar aslinya.“Diminum teh nya,” kata wanita yang tadi memelukku dengan antusias.“Terima kasih, Tante,” jawabku pada akhirnya.“Saya Ella, Tante. Rigella.” Kataku sambil tersenyum ke arahnya.“Panggil aja Tante Via, mamanya Andra,” jawab wanita itu.Matanya tak lepas dariku sedikitpun, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku hanya bisa terdiam dan masih terus memandangi rumah mewah ini sambil berandai-andai bahwa aku bisa sekaya ini. Semuanya tampak normal, dan itu semua
“Dok, kira-kira Ibu bisa bertahan berapa hari lagi seperti ini?” tanyaku yang kini berada di luar ruangan kaca. “Lebih cepat lebih baik, La.” Dokter Rihadi mengalihkan pandangannya ke arah lain mencoba menghindari kontak mataku. Pantulan bayanganku membuatku sedikit tersadar jika sudah lima hari aku tidak cukup tidur, bahkan perut kosong tak lagi ku perhatikan. Jiwa seakan sudah keluar dari tubuhku, kaki dan tanganku memang berpindah namu tidak dengan diriku. Sejak malam saat aku di antar Andra ke rumah sakit, rasanya aku sudah tak pernah bernafas dengan lega. Hidupku selal was-was dan tak tenang. Kaki ku beranjak menuju berbagai macam tempat, mulai dari bank hingga koperasi simpan pinjam. Andra terus menerorku, namun terus ku abaikan. Ia terus mengingatkanku untuk tidak bertindak gegabah, dan memikirkan terlabih dahulu apa yang hendak ku kerjakan. Mungkin harus juga ku syukuri hal itu, karena tepat sebelum aku masuk ke rumah rentenir kenalan Bu Reni, aku kem
Ruangan sempit ini semakin terasa tidak nyaman. Bagaimana tidak, dua orang di dalamnya sudah duduk berhadapan selama beberapa menit tanpa sepatah katapun. Jari-jari tangan pria di hadapanku telah bertaut satu dengan lainnya, nampaknya itu sebagai simbol dari kegundahan hatinya.“Minum dulu, Ndra. Kopinya keburu dingin,” ujarku yang akhirnya memutuskan untuk menyudahi ketegangan ini.“Makasih, La. Gausah repot-repot sih harusnya. Cuma mau main doang,” jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi di hadapannya.“Aku yang makasih tau Ndra, jadi sering dianterin pulang kan. Padahal udah biasa jalan juga,” ucapku.“Santai, lagian aku juga kan pengen ngobrol juga,” katanya yang hanya ku balas dengan anggukan.Suasana dingin mulai datang kembali, nampaknya basa basi tidak bisa menutupi suasana canggung ini. Sebenarnya aku bingung apa tujuan Andra kemari, setelah tadi tiba-tiba menghampiriku di resto saat waktunya
Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan
Entah kemana lagi aku harus melangkah, perlahan pandanganku pun kacau. Bis yang sudah kutunggu sekian lama tak kunjung tiba, sebelum ku sadari aku telah ketinggalan bis terakhir saat menangis tadi. Harapanku pun ikut terjatuh bersama daun-daun kering yang tertiup angin. Aku sudah biasa sendiri, dan ini bukan pertama kalinya aku merasakan penolakan, harusnya aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa itu luka hati, begitupun rasa bahagia.Sampai pada saatnya seorang pria tinggi telah berada di hadapanku. Motor besarnya menghalangi tatapanku menuju jalan raya, dan wajahnya yang tampan perlahan memudarkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.“Ella,” panggilnya. Suaranya yang berat benar-benar sudah tersimpan di dalam memoriku, setiap harinya pada jam yang sama aku selalu mendengar suara ini darinya.“Mas yang biasanya langganan Bu Rina kan,” jawabku sambil membesihkan bekas air mata yang masih menempel di pipiku.“Iya. Kenalin, ak
Tenagaku belum seluruhnya pulih, sedikit demi sedikit ku sadarkan diri agar kembali ke realita. Wanita yang ku panggil ibu kini membalikkan badannya ke arahku, sembari menatap ia mulai berjalan perlahan ke arahku. Tatapannya semakin tajam, dan intens membuatku seakan membeku di tempatku kini berada. Jari-jariku mulai ku kaitkan pada besi penyangga kasur yang ada di sampingku, hawa di sekitar juga semakin dingin karena mulai menjelang malam hari, dan memang kita sedang berada di pegunungan. “Rigella,” panggilnya. Ini pertama kali setelah sepuluh tahun aku mendengarnya menyebutkan namaku. Namun entah perasaan apa, aku merasa bahwa ini bukan pertanda yang baik. Fisik dan hatiku juga mulai mempersiapkan pertahanan baja, mengingat hal seperti ini sering terjadi. Tangannya yang kurus mulai tampak keriput perlahan menyentuh puncak kepalaku, dan bergeser searah dengan tumbuhnya rambut. Aku pun tak menyangka akan mendapatkan perlakuan sep
Kini terhitung sudah tahun ke sepuluh sejak kejadian yang samar-samar di ingitanku tersebut. Rigel yang lalu seakan sudah terbakar bersama rumah lusuh hingga berkeping-keping, dan aku sudah menjadi orang yang sangat berbeda sekarang. Aku seakan kehilangan semangat hidup, dan bahkan kehilangan minat pada banyak hal di dunia ini. Tentu saja semua semakin berat saat aku sudah menginjak usia dua puluh tahun, dimana semua orang seakan memperhatikan setiap gerak-gerikku.Matahari perlahan telah naik ke permukaan, cahayanya menerobos masuk melalui jendela-jendela kamarku, dan berhasil dengan sukses membaangunkanku. Mataku mengerut sedikit demi sedikit, namun akhirnya terbuka dengan lebar. Butuh beberapa detik untuk menyesuaikan dengan kondisi kamarku yang seperti kapal diterjang ombak tinggi.Seperti generasi milenial lainnya, begitu terbangun dari tidur tentu saja smartphone akan menjadi barang pertama yang disentuh. Layar ponsel ya
Dengan segera perintah dari wanita berbaju merah ku laksanakan. Satu demi satu baris telah terlewati, dengan cepat. Secara tidak langsung saat membaca novel ini, aku mulai merasa kehilangan rasa takut, dan gugup yang tadi kurasakan. Kini seluruh perhatian telah tercurahkan untuk membaca novel yang menarik ini. Telah ku sadari hal ini sebenarnya sangat berbahaya, saat pertahananku mulai melemah, aku menjadi semakin bersandar pada wanita yang menculikku ini. Tak kalah menarik dari sebelumya, BAB II – Untuk apa aku dilahirkan? Sangat membuatku ketagihan untuk membacanya. Lagi-lagi aku merasa seperti menjadi pemeran utamanya. Suasananya pun semakin mendukung, matahari telah tergelincir dan menimbulkan bercak jingga di langit yang hanya nampak sedikit melalui angin-angin. Karena terlalu fokus pada novel, kini ku baru menyadari bahwa wanita berbaju merah telah menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kursi yang kuduki. Ia juga memandang hal
Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusu