"Bang, biasa, ya! Berasnya lima ribu aja, telur dua butir sama terasi satu. Jadi 8.500 kan?"
"Aduh, Mbak. Ini telurnya lagi besar-besar. Kalau satuan dua ribu! Jadinya sembilan ribu lima ratus," jawab Ahmad. Dia sedikit kesal karena di antara pembeli lainnya tidak ada yang membeli beras dengan harga lima ribu rupiah. Paling tidak beli seliter yang harganya tak kurang dari sepuluh ribu. Untuk itu, Ahmad harus menggunakan timbangan. Tidak memakai literan. Arfan menyenggol lengan Ahmad. Berharap rekan seperjuangannya di tanah rantau ini tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dengan sengaja, Ahmad malah pura-pura tidak mengerti. "Oh, ya udah, Bang. Nggak apa-apa! Jadi kembali lima ratus, ya." Rasti, wanita cantik berbalut jilbab instan lusuh itu memasang wajah kecewa. Namun, apa boleh buat, dua butir telur itu tetap harus dibeli untuk dinikmati anak dan suaminya. Berbeda dengannya yang cukup hanya dengan makan terasi goreng atau kerupuk seribuan. Arfan menundukkan pandangannya. Dia takut memiliki perasaan lain yang seharusnya tidak dia berikan untuk wanita berstatus istri orang. "Kamu ini nggak bisa peka, Mat! Sudah disenggol tetap saja kasih harga dua ribu!" omel Arfan kesal, saat Rasti pergi. Arfan memang lebih sering memanggil temannya dengan sebutan 'Mamat', karena sejatinya mereka berteman akrab sejak kecil. "Lah memang harganya segitu." Ahmad tak mau kalah. "Lihat sendiri wajahnya, jadi sedih karena kembaliannya berkurang," sesal Arfan. "Lagian tiap hari belanjanya begitu saja. Beli minyak goreng seliter sama garam pun sebulan sekali." "Memang adanya segitu mungkin, Mat!" "Eh, tapi kalau aku lihat-lihat, kamu tuh beda sama Mbak tadi, Fan!" "Beda gimana?" Arfan kikuk. "Kayaknya perhatian banget kamu sama dia. Hati-hati, Fan, istri orang itu. Jangan menikung!" Ahamd mengingatkan. "Aku nggak ada maksud apa-apa, Mat. Hanya kasihan. Coba kalau tadi anaknya ikut, pasti bingung mamanya tadi." Ya, biasanya Rasti memang membawa putranya yang baru berusia lima tahun. Dan biasanya, anak itu akan jajan wafer kesukaannya. "Aku jadi penasaran, lakinya yang mana, sih? Masa segitu aja kasih belanja istrinya. Nggak lebih dari sepuluh ribu." "Mungkin memang segitu penghasilannya, Mat!" Arfan berusaha berpikir positif, meski di dalam hatinya bergelut pertanyaan yang sama. Sore menjelang Maghrib, biasanya toko sembako ini tutup untuk sebentar. Namun, karena ada pembeli langganan yang menahan, Arfan menunda sebentar untuk menutupnya. "Rokok ini, sebungkus." Kata laki-laki benama Wandi itu sambil menunjuk bungkusan rokok berwarna hijau. Rokok yang cukup mahal dibandingkan dengan rokok lainnya. Arfan dan Ahmad hapal betul dengan pelanggan di depannya. Sejak membuka toko dua bulan yang lalu, orang ini kerap membeli rokok di jam-jam segini, dengan merk yang sama. Namun, betapa terkejutnya mereka berdua saat seorang anak lelaki kecil yang biasa merengek kepada Rasti, tiba-tiba muncul dan memanggil laki-laki ini dengan sebutan 'bapak'. "Pak, mau itu!" tunjuk Faiz seperti yang biasa dia lakukan pada ibunya. "Eh, kamu ngapain nyusul Bapak? Minta sama Ibumu!' "Ibu nggak ada uang, Pak. Katanya nggak ada sisa." "Besok lagi jajannya. Minta Ibumu sisain uang dari Bapak." Arfan dan Ahmad saling memandang mencermati perkataaan lelaki berpenampilan rapi ini. Padahal, setiap hari membeli rokok dengan harga 30.000 rupiah. Tiga kali lipat dari si istri yang hanya belanja sepuluh ribu. Itupun untuk kebutuhan satu keluarga. "Harga telur lagi naik, Pak. Nggak nyisa tadi!" Ahmad yang gemas akhirnya tak tahan untuk nyeletuk. Arfan menyenggol lengan Ahmad. Meski khawatir dengan sikap temannya, pada dasarnya Arfan juga penasaran dengan jawaban suami Rasti. "Kalau begitu, nggak usah jajan sampai harga telur turun." Dia menjawab santai sambil menyalakan korek dan mengepulkan asap rokok. Tak ayal, perkataan bapaknya membuat Faiz cemberut. Dan juga Ahmad yang kian gemas. "Memangnya nggak bosen makan telur tiap hari, Pak?" Ahmad sebenarnya menyindir, tapi Wandi malah menanggapinya dengan santai. "Saya makan telur cuma di rumah pulang kerja. Kalau siang ya makan di pabrik. Pagi juga seringnya nyarap di pabrik." Jawaban itu sontak membuat kedua lelaki itu semakin kesal. "Lha Bapak nggak bosan, tapi anak istrinya bagaimana? Apa nggak dipikirin?" Ahmad mulai naik pitam meski dia tahu sebenarnya ini bukan urusannya. "Saya kan kerja, capek. Beda sama istri dan anak yang nggak ngapa-ngapain di rumah." Membayar dengan uang pas, Wandi berlalu meninggalkan Ahmad dan Arfan yang diam mematung. "Punya suami kaya begitu pantes si Mbaknya kurus dan dekil. Kalau begini ceritanya, saya dukung kamu menikung, Fan!"Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung."Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan."Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?""Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah."Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?""Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya."Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk."Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?""Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia.""Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang i
"Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta. Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak."Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali."Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya.""Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan."Benar, Mas?""Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk."Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—""Saya nggak punya, Mas!" potong Ras
"Ras! Rasti!" Wandi berteriak sambil masuk ke dalam rumah. Sementara Faiz terus meringis kesakitan karena genggaman bapaknya yang begitu kuat sejak menggiringnya dari warung."Kenapa, Mas?""Kamu ajarin apa si Faiz? Masa minta jadi anak yatim?"Rasti sebenarnya ingin tertawa. Begitu mudahnya Wandi tersulut emosi karena tidak mengenal anaknya sendiri."Mas, Faiz itu anak kecil. Umurnya juga baru lima tahun. Dia belum mengerti anak yatim itu apa. Tadi dia memang sempat tanya, tapi belum aku jawab," jelas Rasti melihat amarah yang begitu kentara di wajah suaminya."Ya seharusnya kamu jelaskan. Aku malu gara-gara dia minta jadi anak yatim di warung sembako itu.""Kenapa tidak Mas aja yang ajarkan?"Mengingat suaminya sedang keranjingan game online, hingga kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan Faiz. Rasti ingin Wandi lebih dekat dengan putranya."Aku capek. Mau rebahan."Hanya bisa menggelengkan kepala, Rasti menuntun Faiz ke dapur."Makan apa, Bu?""Nasi sama telur. Ada kerupuk juga,
"Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya."Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya. "Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini.""Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tem
Sebagai wanita yang kerap mengalah dengan keadaan, tadi adalah puncak luapan amarah Rasti terhadap Wandi.Bukan karena sekarang dia sudah bekerja. Bukan. Tapi karena kalimat Wandi yang terus melukai hatinya. Mengatakan kalau dia tidak melakukan apapun di rumah.Kalimat yang sering didengar dari iparnya, kini didengarnya sendiri dari mulut Wandi."Kalau kamu jadi berani begini, mending tidak usah kerja lagi!" ancam Wandi kesal.Rasti mencoba mengatur nafas untuk meredam amarah yang memuncak. Kali ini dia tidak boleh memakai perasaan, demi terus bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri."Aku minta maaf, Mas," kata Rasti mengalah. "Aku hanya kesal karena Mas bilang nggak melakukan apa-apa.""Begini. Kerja di pabrik itu kejar-kejaran dengan waktu. Kalau kamu enak, capek bisa tidur.""Ya, aku minta maaf.""Belikan dulu rokok! Kalau kamu yang beli, mungkin harganya dikurangi." Wandi menyodorkan uang sebesar dua puluh lima ribu.Rasti tahu apa yang dipikirkan suaminya. Untuk kali ini, terp
"Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran."Eh iya, Mak?""Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah."Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu.""Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?""Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana.""Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya."Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana.""Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri."Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagi
Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga