Share

RENCANA AHMAD

Penulis: Mommy Alkai
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-04 20:00:09

"Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?"

"Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?"

"Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."

Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?

"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja."

"Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik.

"Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru."

"Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini."

"Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • BERAS LIMA RIBU   Menikung

    "Bang, biasa, ya! Berasnya lima ribu aja, telur dua butir sama terasi satu. Jadi 8.500 kan?""Aduh, Mbak. Ini telurnya lagi besar-besar. Kalau satuan dua ribu! Jadinya sembilan ribu lima ratus," jawab Ahmad. Dia sedikit kesal karena di antara pembeli lainnya tidak ada yang membeli beras dengan harga lima ribu rupiah. Paling tidak beli seliter yang harganya tak kurang dari sepuluh ribu.Untuk itu, Ahmad harus menggunakan timbangan. Tidak memakai literan.Arfan menyenggol lengan Ahmad. Berharap rekan seperjuangannya di tanah rantau ini tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dengan sengaja, Ahmad malah pura-pura tidak mengerti."Oh, ya udah, Bang. Nggak apa-apa! Jadi kembali lima ratus, ya." Rasti, wanita cantik berbalut jilbab instan lusuh itu memasang wajah kecewa. Namun, apa boleh buat, dua butir telur itu tetap harus dibeli untuk dinikmati anak dan suaminya. Berbeda dengannya yang cukup hanya dengan makan terasi goreng atau kerupuk seribuan.Arfan menundukkan pandangannya. Dia ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Kesempatan

    Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung."Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan."Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?""Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah."Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?""Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya."Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk."Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?""Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia.""Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang i

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Anak Yatim

    "Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta. Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak."Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali."Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya.""Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan."Benar, Mas?""Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk."Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—""Saya nggak punya, Mas!" potong Ras

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Rabu berkah

    "Ras! Rasti!" Wandi berteriak sambil masuk ke dalam rumah. Sementara Faiz terus meringis kesakitan karena genggaman bapaknya yang begitu kuat sejak menggiringnya dari warung."Kenapa, Mas?""Kamu ajarin apa si Faiz? Masa minta jadi anak yatim?"Rasti sebenarnya ingin tertawa. Begitu mudahnya Wandi tersulut emosi karena tidak mengenal anaknya sendiri."Mas, Faiz itu anak kecil. Umurnya juga baru lima tahun. Dia belum mengerti anak yatim itu apa. Tadi dia memang sempat tanya, tapi belum aku jawab," jelas Rasti melihat amarah yang begitu kentara di wajah suaminya."Ya seharusnya kamu jelaskan. Aku malu gara-gara dia minta jadi anak yatim di warung sembako itu.""Kenapa tidak Mas aja yang ajarkan?"Mengingat suaminya sedang keranjingan game online, hingga kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan Faiz. Rasti ingin Wandi lebih dekat dengan putranya."Aku capek. Mau rebahan."Hanya bisa menggelengkan kepala, Rasti menuntun Faiz ke dapur."Makan apa, Bu?""Nasi sama telur. Ada kerupuk juga,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Tak bisa bertahan

    "Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya."Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya. "Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini.""Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Bahagia Tak selalu bersama

    Sebagai wanita yang kerap mengalah dengan keadaan, tadi adalah puncak luapan amarah Rasti terhadap Wandi.Bukan karena sekarang dia sudah bekerja. Bukan. Tapi karena kalimat Wandi yang terus melukai hatinya. Mengatakan kalau dia tidak melakukan apapun di rumah.Kalimat yang sering didengar dari iparnya, kini didengarnya sendiri dari mulut Wandi."Kalau kamu jadi berani begini, mending tidak usah kerja lagi!" ancam Wandi kesal.Rasti mencoba mengatur nafas untuk meredam amarah yang memuncak. Kali ini dia tidak boleh memakai perasaan, demi terus bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri."Aku minta maaf, Mas," kata Rasti mengalah. "Aku hanya kesal karena Mas bilang nggak melakukan apa-apa.""Begini. Kerja di pabrik itu kejar-kejaran dengan waktu. Kalau kamu enak, capek bisa tidur.""Ya, aku minta maaf.""Belikan dulu rokok! Kalau kamu yang beli, mungkin harganya dikurangi." Wandi menyodorkan uang sebesar dua puluh lima ribu.Rasti tahu apa yang dipikirkan suaminya. Untuk kali ini, terp

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   Tak Peduli

    "Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran."Eh iya, Mak?""Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah."Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu.""Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?""Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana.""Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya."Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana.""Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri."Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN

    Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07

Bab terbaru

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

  • BERAS LIMA RIBU   BERTEMU LAGI

    "Nggak tahulah, Mbak. Aku belum ada rasa.""Lebih baik dicintai daripada mencintai. Mbak yakin, Bang Ahmad orang yang baik."Semenjak mengetahui nomor teleponnya, Ahmad memang selalu mengirim pesan untuk sekadar memberi perhatian. Namun, Wita masih mengabaikannya begitu saja. Takut menghadirkan harapan palsu."Mbak, kenapa nggak diganti motor aja sih sepedanya? Kan lebih enak. Nggak capek juga." Wita mencoba mengalihkan. Begitu setiap kali membicarakan tentang Ahmad."Kamu kaya Bu Zaenal saja. Pasti nyuruh Mbak buat ganti motor terus. Mbak kan, nggak bisa naik motor, Wit!" "Belajarlah, Mbak! Aku kasihan lihatnya kalau lagi banyak kirim barang! Lagipula, kan lebih hemat waktu, Mbak. Kalau pakai motor jauh lebih cepat.""Nantilah Mbak pikir dulu. Tabungannya juga belum cukup untuk membeli motor. Mbak ada rencana mau sewa kios kecil di ujung jalan situ.""Wah ... makin besar usahanya, Mbak!""Alhamdulillah ... ini bisa juga jadi semangat juga supaya kamu nggak terlalu terpuruk karena la

  • BERAS LIMA RIBU   TAWARAN GILA

    "Coba lihat, Fan! Ini bukannya mantan suami Mbak Rasti ya?" kata Ahmad sambil menyerahkan undangan pernikahan yang baru saja dibagikan ketua RT."Iya." Arfan menjawab datar tanpa menoleh sedikitpun dari nota-nota yang dia kerjakan."Kira-kira Mbak Rasti bakal datang nggak ya? Kangen juga aku sama si Faiz."Mendengar Ahmad menyebut nama Faiz dan Rasti, mata Arfan mengembun. Ada rindu yang tak bisa dia ungkapkan saat ini.Meski Rasti berjanji akan main ke toko, nyatanya malah selalu menghindar setiap kali Arfan datang. Selalu saja pemilik kontrakan mengatakan Rasti sedang mengantar cucian atau pergi keluar.Ketika Arfan berinisiatif menemuinya di tempat Faiz bersekolah, pun tak ditemuinya Katanya, Faiz tak lagi bersekolah di sana.Arfan mundur perlahan. Bukan ingin menyerah, dia hanya takut keberadaannya menjadi beban untuk wanita yang dia cintai. Karena sampai saat ini juga, Arfan belum mengetahui perasaan Rasti terhadapnya. Apakah Rasti merasa terganggu oleh kehadirannya?Apakah wani

  • BERAS LIMA RIBU   UNDANGAN PERNIKAHAN

    "Bang, nggak bisa seperti ini!" Rasti masih terus berusaha, hingga dia menangkap Arfan mengedipkan matanya memberi isyarat pada Faiz.Kali ini Rasti tak boleh terkecoh. Dia harus terus berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak perasaan yang semakin dalam."Faiz ke kamar lagi, ya? Nanti beli makanan sama Ibu," bujuk Rasti. Meski dia sebenarnya tak sampai hati melihat kekecewaan di wajah putranya.Meskipun menyukai Arfan, Faiz lebih mencintai ibunya. Dengan patuh, dia masuk ke dalam lagi dengan wajah ditekuk."Bang, saya belum resmi diceraikan. Ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk menerima semua ini. Tolong, untuk saat ini biarkan saya memilih jalan sendiri," pinta Rasti dengan suara tertahan. Bukan itu saja, dia juga mati-matian, berusaha mencegah airmatanya jatuh."Tapi kamu nggak harus berhenti kerja di toko, kan? Bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.""Sedikit banyak, Abang tahu bagaimana saya selalu direndahkan karena hanya lulusan SD. Saya punya impia

DMCA.com Protection Status