Share

Tak bisa bertahan

"Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.

Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya.

"Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"

Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya.

"Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini."

"Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."

Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.

Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.

Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tempat lain untuk bergantung selain dengan suaminya. Meski sadar Wandi membodohinya dengan asal-asalan memberi nafkah, Rasti tetap bertahan demi Faiz yang sebentar lagi masuk sekolah. Dia tak mau anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah seperti dirinya.

Walau ragu, Rasti berusaha yakin kalau Wandi tidak akan membiarkan Faiz tidak mendapat pendidikan yang layak.

"Daripada diam di rumah, Bu," jawab Rasti tanpa berani mengangkat wajah. Malu, karena harus berbohong di hadapan Wandi dan Ahmad.

"Tapi, di sini kan, laki-laki semua?" Wanita itu bertanya sambil memutar bola matanya.

Rasti, Ahmad dan Arfan tahu apa yang dimaksud oleh Bu Angga. Kalau dibiarkan, mungkin bisa saja timbul fitnah.

"Di samping ada kakak kandung saya beserta istrinya, Bu. Mereka sering bolak-balik ke sini. Lagipula, Mbak Rasti juga kerjanya di luar, nggak masuk ke dalam," jelas Ahmad.

"Oh, gitu ... oh, jadi yang jualan sayur ini masih saudara toh?"

"Iya, Bu."

***

"Kamu itu, harusnya pelan-pelan, Fan. Karena Mbak Rasti bukan tipe orang yang ingin dikasihani. Lihat, tetangganya saja nggak tahu soal suaminya. Artinya, Mbak Rasti ini menutupi kesusahannya dari orang lain. Jadi kalau kamu terburu-buru seperti tadi, aku yakin dia akan merasa tidak nyaman kerja di sini."

"Ya, tadi saya hanya kasihan sama Faiz. Dia begitu ingin makan ayam goreng tepung. Kamu tahu, Mat. Sesusah-susahnya, aku belum pernah makan nasi pakai garam saja."

"Enak itu, Fan. Apalagi nasinya hangat. Kamu belum tahu saja!"

"Tapi ini beda, Mat. Mereka makan bukan karena menyukainya, tapi karena keadaan."

"Ah iyalah. Susah memang kalau lagi jatuh cinta."

"Mat, jangan asal ngomong! Nanti didengar orang, bagaimana?" tegas Arfan memperingatkan. Dia tak mau Rasti mengalami kesulitan atau malah berhenti dari pekerjaannya jika gosip beredar.

"Santai saja! Aku dukung Mbak Rasti untuk un-instal suaminya. Terus d******d yang baru."

Arfan tersenyum lebar.

"Tapi belum tentu juga, kamu, Fan!" Ahmad terkekeh sambil berlalu meninggalkan Arfan dan wajah masamnya.

***

Sementara itu, Rasti melipat salah satu uang sepuluh ribuan yang diberikan Ahmad tadi. Dia masih tak percaya, bisa mencari tambahan uang sendiri.

Rencananya, Rasti akan menabungnya sebagian. Kalau sudah terkumpul, mungkin bisa dijadikan modalnya buka usaha laundry.

Entah sampai kapan mimpinya terwujud, Rasti hanya berharap dia bisa tetap dapat tambahan uang seperti ini.

"Ayamnya enak, Bu. Pantas aja mamanya Vio sering beli," kata Faiz dengan polosnya sambil terus mengunyah makanannya. "Punya Ibu, nggak dimakan?"

"Nanti, tunggu Faiz habis dulu."

Melihat Faiz makan dengan begitu lahap, membuatnya khawatir putranya masih ingin menambah lagi.

"Faiz udah kenyang."

"Alhamdulillah, ucap apa?"

"Alhamdulillah ...."

"Lalu doa setelah makan!" perintahnya lagi.

Sambil mendengarkan Faiz merapalkan doa, Rasti tersenyum puas melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah putranya hanya karena kesampaian makan makanan yang diinginkannya.

***

"Bagaimana kerja tadi? Capek, kan?" tanya Wandi sepulangnya bekerja. Seperti biasa, dia akan merebahkan tubuhnya di sofa sambil bermain game di ponselnya.

"Lumayan, Mas."

"Makan apa hari ini?"

"Seperti biasa, nasi dan telur ceplok."

Mendengar jawaban Rasti, Wandi langsung beranjak duduk.

"Tadi Mas lihat ada kotak ayam goreng di plastik depan yang belum dibuang? Kamu nggak beliin, Mas?"

"Oh itu ... nggak beli, tapi dikasih sama yang punya warung."

"Kenapa Mas nggak disisain?"

"Aku pikir, pasti nggak enak kalau sampai sore."

"Kamu ini bisa-bisanya makan enak nggak ingat suami."

"Mas juga sama. Memang pernah ingat kalau makan enak di pabrik?"

"Mas capek. Lagipula wajar mau beli apa saja, Mas yang kerja."

"Jadi aku sama Faiz nggak berhak menikmati semua itu? Aku nggak mau meributkan ini lagi. Makanannya juga sudah sampai ke perut." Rasti berusaha mengakhiri, tapi Wandi masih belum puas juga.

"Setidaknya, pikirkan suami yang mencari nafkah untuk keluarga. Kamu enak hanya diam di rumah nggak memikirkan apa-apa." Wandi masih tak terima hanya karena perkara makanan pemberian orang. Tanpa dia sadari, perkataannya barusan membuat kesabaran Rasti kian terkikis.

"Selama ini, apa Mas pernah memikirkan kami berdua? Pagi makan nasi sangrai hanya dengan bumbu garam. Lalu siang makan dengan dadar telur atau goreng tempe yang dibagi dua untuk sore? Mas nggak tahu bagaimana rasa penasaran aku dengan soto ayam yang sering Mas ceritakan? Atau ayam bakar yang katanya hampir setiap hari Mas makan?"

Mendengar jawaban Rasti membuat Wandi emosi. Bahkan, dia sampai berdiri memelototi istrinya sambil berkacak pinggang.

"Kamu ini, baru kerja sehari saja sudah berani menjawab. Bagaimana kalau nanti banyak uang?'

"Kalau banyak uang, aku akan tinggalin, Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status