Home / Pernikahan / BERAS LIMA RIBU / Tak bisa bertahan

Share

Tak bisa bertahan

Author: Mommy Alkai
last update Last Updated: 2024-10-24 06:31:04

"Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.

Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya.

"Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"

Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya.

"Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini."

"Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."

Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.

Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.

Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tempat lain untuk bergantung selain dengan suaminya. Meski sadar Wandi membodohinya dengan asal-asalan memberi nafkah, Rasti tetap bertahan demi Faiz yang sebentar lagi masuk sekolah. Dia tak mau anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah seperti dirinya.

Walau ragu, Rasti berusaha yakin kalau Wandi tidak akan membiarkan Faiz tidak mendapat pendidikan yang layak.

"Daripada diam di rumah, Bu," jawab Rasti tanpa berani mengangkat wajah. Malu, karena harus berbohong di hadapan Wandi dan Ahmad.

"Tapi, di sini kan, laki-laki semua?" Wanita itu bertanya sambil memutar bola matanya.

Rasti, Ahmad dan Arfan tahu apa yang dimaksud oleh Bu Angga. Kalau dibiarkan, mungkin bisa saja timbul fitnah.

"Di samping ada kakak kandung saya beserta istrinya, Bu. Mereka sering bolak-balik ke sini. Lagipula, Mbak Rasti juga kerjanya di luar, nggak masuk ke dalam," jelas Ahmad.

"Oh, gitu ... oh, jadi yang jualan sayur ini masih saudara toh?"

"Iya, Bu."

***

"Kamu itu, harusnya pelan-pelan, Fan. Karena Mbak Rasti bukan tipe orang yang ingin dikasihani. Lihat, tetangganya saja nggak tahu soal suaminya. Artinya, Mbak Rasti ini menutupi kesusahannya dari orang lain. Jadi kalau kamu terburu-buru seperti tadi, aku yakin dia akan merasa tidak nyaman kerja di sini."

"Ya, tadi saya hanya kasihan sama Faiz. Dia begitu ingin makan ayam goreng tepung. Kamu tahu, Mat. Sesusah-susahnya, aku belum pernah makan nasi pakai garam saja."

"Enak itu, Fan. Apalagi nasinya hangat. Kamu belum tahu saja!"

"Tapi ini beda, Mat. Mereka makan bukan karena menyukainya, tapi karena keadaan."

"Ah iyalah. Susah memang kalau lagi jatuh cinta."

"Mat, jangan asal ngomong! Nanti didengar orang, bagaimana?" tegas Arfan memperingatkan. Dia tak mau Rasti mengalami kesulitan atau malah berhenti dari pekerjaannya jika gosip beredar.

"Santai saja! Aku dukung Mbak Rasti untuk un-instal suaminya. Terus d******d yang baru."

Arfan tersenyum lebar.

"Tapi belum tentu juga, kamu, Fan!" Ahmad terkekeh sambil berlalu meninggalkan Arfan dan wajah masamnya.

***

Sementara itu, Rasti melipat salah satu uang sepuluh ribuan yang diberikan Ahmad tadi. Dia masih tak percaya, bisa mencari tambahan uang sendiri.

Rencananya, Rasti akan menabungnya sebagian. Kalau sudah terkumpul, mungkin bisa dijadikan modalnya buka usaha laundry.

Entah sampai kapan mimpinya terwujud, Rasti hanya berharap dia bisa tetap dapat tambahan uang seperti ini.

"Ayamnya enak, Bu. Pantas aja mamanya Vio sering beli," kata Faiz dengan polosnya sambil terus mengunyah makanannya. "Punya Ibu, nggak dimakan?"

"Nanti, tunggu Faiz habis dulu."

Melihat Faiz makan dengan begitu lahap, membuatnya khawatir putranya masih ingin menambah lagi.

"Faiz udah kenyang."

"Alhamdulillah, ucap apa?"

"Alhamdulillah ...."

"Lalu doa setelah makan!" perintahnya lagi.

Sambil mendengarkan Faiz merapalkan doa, Rasti tersenyum puas melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah putranya hanya karena kesampaian makan makanan yang diinginkannya.

***

"Bagaimana kerja tadi? Capek, kan?" tanya Wandi sepulangnya bekerja. Seperti biasa, dia akan merebahkan tubuhnya di sofa sambil bermain game di ponselnya.

"Lumayan, Mas."

"Makan apa hari ini?"

"Seperti biasa, nasi dan telur ceplok."

Mendengar jawaban Rasti, Wandi langsung beranjak duduk.

"Tadi Mas lihat ada kotak ayam goreng di plastik depan yang belum dibuang? Kamu nggak beliin, Mas?"

"Oh itu ... nggak beli, tapi dikasih sama yang punya warung."

"Kenapa Mas nggak disisain?"

"Aku pikir, pasti nggak enak kalau sampai sore."

"Kamu ini bisa-bisanya makan enak nggak ingat suami."

"Mas juga sama. Memang pernah ingat kalau makan enak di pabrik?"

"Mas capek. Lagipula wajar mau beli apa saja, Mas yang kerja."

"Jadi aku sama Faiz nggak berhak menikmati semua itu? Aku nggak mau meributkan ini lagi. Makanannya juga sudah sampai ke perut." Rasti berusaha mengakhiri, tapi Wandi masih belum puas juga.

"Setidaknya, pikirkan suami yang mencari nafkah untuk keluarga. Kamu enak hanya diam di rumah nggak memikirkan apa-apa." Wandi masih tak terima hanya karena perkara makanan pemberian orang. Tanpa dia sadari, perkataannya barusan membuat kesabaran Rasti kian terkikis.

"Selama ini, apa Mas pernah memikirkan kami berdua? Pagi makan nasi sangrai hanya dengan bumbu garam. Lalu siang makan dengan dadar telur atau goreng tempe yang dibagi dua untuk sore? Mas nggak tahu bagaimana rasa penasaran aku dengan soto ayam yang sering Mas ceritakan? Atau ayam bakar yang katanya hampir setiap hari Mas makan?"

Mendengar jawaban Rasti membuat Wandi emosi. Bahkan, dia sampai berdiri memelototi istrinya sambil berkacak pinggang.

"Kamu ini, baru kerja sehari saja sudah berani menjawab. Bagaimana kalau nanti banyak uang?'

"Kalau banyak uang, aku akan tinggalin, Mas!"

Related chapters

  • BERAS LIMA RIBU   Bahagia Tak selalu bersama

    Sebagai wanita yang kerap mengalah dengan keadaan, tadi adalah puncak luapan amarah Rasti terhadap Wandi.Bukan karena sekarang dia sudah bekerja. Bukan. Tapi karena kalimat Wandi yang terus melukai hatinya. Mengatakan kalau dia tidak melakukan apapun di rumah.Kalimat yang sering didengar dari iparnya, kini didengarnya sendiri dari mulut Wandi."Kalau kamu jadi berani begini, mending tidak usah kerja lagi!" ancam Wandi kesal.Rasti mencoba mengatur nafas untuk meredam amarah yang memuncak. Kali ini dia tidak boleh memakai perasaan, demi terus bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri."Aku minta maaf, Mas," kata Rasti mengalah. "Aku hanya kesal karena Mas bilang nggak melakukan apa-apa.""Begini. Kerja di pabrik itu kejar-kejaran dengan waktu. Kalau kamu enak, capek bisa tidur.""Ya, aku minta maaf.""Belikan dulu rokok! Kalau kamu yang beli, mungkin harganya dikurangi." Wandi menyodorkan uang sebesar dua puluh lima ribu.Rasti tahu apa yang dipikirkan suaminya. Untuk kali ini, terp

    Last Updated : 2024-10-24
  • BERAS LIMA RIBU   Tak Peduli

    "Rasti!" Langkah Rasti yang baru saja hendak berangkat ke warung, terhenti saat tetangganya datang memanggil. Dialah Mak Saroh, neneknya Zafran."Eh iya, Mak?""Si Faiz, jadi nggak masuk Paud bareng Zafran? Tuh dia udah didaftarin sama si Santi. Kalau dapet bangku sekarang, lumayan Ras, ada subsidi setengah harga."Faiz yang berada di samping Rasti, tersenyum mendengarnya. Dia memang sudah minta sekolah."Waduh, Rasti nggak tahu, Mak. Nanti tanya bapaknya dulu.""Ya udah. Sekarang kamu mau ke mana?""Ke warung sembako yang di depan itu, Mak. Rasti sekarang kerja di sana.""Kerja? Kerja apa?" Dahi Mak Saroh mengkerut tak percaya."Bungkus-bungkusin gula sama terigu, Mak. Apa aja bantu-bantu di sana.""Kurang apa emang, pakai kerja segala? Si Wandi kerja di tempat yang enak. Kalau si Santi sih ketauan nggak punya laki!"Rasti dan Santi memang dekat, karena anak mereka seumuran. Makanya Mak Saroh juga sudah menganggap Rasti seperti anaknya sendiri."Rasti cuma bosen di rumah, Mak. Lagi

    Last Updated : 2024-10-24
  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN

    Tanpa pikir panjang, Rasti langsung naik ke atas sepeda motor Arfan. Dia tidak lagi memikirkan bagaimana jika bertemu tetangga atau siapapun yang mengenalnya di jalan.Sementara itu, Arfan melajukan motornya dengan cepat. Tanpa bertanya tentang suami Rasti dia bisa menebak sendiri apa yang terjadi. Terlebih, ketika melihat mata perempuan yang disukainya bengkak seperti habis menangis.Tiba di klinik, Faiz langsung diperiksa oleh petugas medis di sana. Wajah panik begitu terlihat, saat Rasti mengetahui anaknya juga sesak napas."Panasnya tinggi dan sesak. Ini sudah dikasih obat?""Sudah, dok, Paracetamol. Tapi ya begitu panasnya naik turun. Anak saya sakit apa, dok? Kenapa dia kesulitan bernapas?" Kepanikan Rasti membuat Arfan yang turut mendengarkan ikut khawatir akan keadaan Faiz."Gejalanya ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Di rumah ada yang merokok?'"Ada, dok. Bapaknya."Tanpa penjelasan lebih banyak, dokter jaga

    Last Updated : 2024-11-07
  • BERAS LIMA RIBU   PERGI DARI RUMAH

    "Jadi sampai jam dua malam suaminya juga nggak datang, Fan?" tanya Ahmad gemas.Arfan menggeleng cepat."Berapa kamu kasih dia uang?""Belum kuhitung sisa uangnya.""Kenapa nggak kamu kasih semua, Fan?"Mata Ahmad menerawang. Meski sering ceplas-ceplos, dia adalah orang yang cukup perasa."Takutnya kalau kebanyakan dia nggak mau terima. Itupun sudah nolak," alasnya sambil bersiap pergi lagi."Kamu mau ke ATM lagi?""Ya.""Jangan lupa belikan dia sarapan!"Arfan mendelik sinis mendengar perhatian yang diberikan Ahmad untuk Rasti."Hanya mengingatkan, Fan. Tidak perlu cemburu!" goda Ahmad setelah melihat perubahan pada raut wajah temannya.Arfan pergi menggunakan sepeda motornya untuk kembali mengambil uang. Karena uangnya kurang dan mereka sudah janjian dengan tukang etalase yang akan datang jam sepuluh pagi.Namun, lagi-lagi Arfan dibuat terkejut saat melihat Rasti berjala

    Last Updated : 2024-11-08
  • BERAS LIMA RIBU   PERASAAN WITA

    Meninggalkan Faiz yang masih tidur pulas karena pengaruh obat, Rasti pergi ke gang belakang rumahnya. Di sanalah, Wita, adik iparnya tinggal di kontrakan petakan."Mbak, tumben. Ada apa?" tanya Wita yang juga baru pulang dari bekerja. Dia terkejut melihat Rasti datang tergopoh-gopoh dengan mata yang sembab.Dengan sedikit menekan suaranya, Rasti mencoba menjelaskan semuanya pada Wita. Tentu saja, adik kandung Wandi itu merasa geram dengan perilaku kakaknya.Wita, sudah hampir dua tahun tinggal di sini. Dia bekerja di pabrik sabun yang sama dengan Wandi, meski beda bagian.Dulu, sewaktu ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi, Wita sempat tinggal serumah dengan Wandi dan Rasti. Seiring berjalannya waktu, dia lebih memilih tinggal di kontrakan dan hidup mandiri."Mbak kenapa nggak cerita kalau Mas Wandi masih perhitungan begitu?" sesal Wita sambil menatap iba kakak iparnya."Walau bagaimanapun, dia tetap suami Mbak. Dan ngg

    Last Updated : 2024-11-08
  • BERAS LIMA RIBU   Adik Ipar

    Pagi ini, Wandi menyiapkan keperluannya sendiri. Dia begitu kelimpungan saat menyadari seragam kerjanya tidak ada di tempat biasa Rasti menggantungnya.Berjalan ke dapur, dia juga berencana untuk membuat kopi. Sayang, gulanya habis.Matanya lalu menangkap setumpuk cucian piring kotor di atas wastafel. Ada beberapa gelas bekas kopi, juga mangkuk bekas semalam dia membeli kwetiau rebus. Aroma yang tidak sedap menguar dari sana dan membuat indera penciumannya merasa terganggu.Tak sampai di situ, kesabaran Wandi diuji saat dia hendak menuangkan air putih dari dalam teko sebagai penggantinya minum kopi. Kosong. Tidak ada setetes air pun di sana.Karena Wandi tak pernah memberi uang untuk membeli air kemasan galon, Rasti menyiasatinya dengan memasak air sepanci besar untuk seharian. Tapi pagi ini, tak ada lagi yang tersisa.Emosi Wandi memuncak. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Wita untuk meminta berbi

    Last Updated : 2024-11-09
  • BERAS LIMA RIBU   Sosok Pengganti

    Rasti mengangguk sambil tersenyum. Begitu juga dengan Arfan."Iya, ini adik saya. Cantik, ya?'"Cantik, Mbak ...." Ahmad menjawab datar. Sementara Arfan diam saja."Sebentar lagi selesai, Wit. Kamu màu nunggu atau pulang?"Wita melirik Arfan yang menunduk sambil menyibukan diri. Sikap dingin seperti inilah yang membuat Wita canggung sekaligus penasaran."Aku pulang aja, Mbak. Sekalian mau nyiapin baju kerja," putusnya. Setelah itu dia mengucapkan salam dan meninggalkan warung."Kangkung kamu, Fan!' sungut Ahmad kesal.Sontak hal itu membuat Rasti menoleh ke arah mereka berdua."Apa itu, Bang?'"Tukang tikung!" jawab Ahmad judes.Tak ayal, Rasti tergelak. Arfan juga."Aku udah lama naksir Wita. Kenapa salamnya buat dia?" Telunjuk Ahmad menunjuk Arfan yang masih tak mampu menahan tawanya."Oh ... jadi Bang Ahmad su

    Last Updated : 2024-11-10
  • BERAS LIMA RIBU   Ternyata Benar

    "Assalamualaikum!""Waalaikumusalam ....""Lemes banget, Mbak? Sudah sarapan?""Sudah Bang Ahmad.""Iz, sini!" Arfan memanggil Faiz dan mengajaknya ke dalam. Tak lama berselang, mereka kembali datang dengan mobil mainan remote control di tangan Faiz."Ya Allah, Bang. Bagus sekali ... punya siapa itu?""Punya Faiz, sengaja saya beli biar dia nggak bosan main di sini.""Jadi ngerepotin, Bang. Itu pasti mahal?""Nggak, kok. Faiz seneng, nggak?" Arfan bertanya sambil berjongkok dihadapan Faiz.Bocah kecil itu mengangguk sambil terus memutar-mutar mainan barunya."Ini belum nyala, Iz. Kita pasang baterai dulu, ya."Faiz mengangguk lagi. Dia benar-benar kebingungan karena selama ini tidak pernah memiliki mainan sebagus itu.Arfan kemudian mengambil beberapa baterai di dalam etalase kaca dan kembali untuk memasangnya. S

    Last Updated : 2024-11-11

Latest chapter

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

  • BERAS LIMA RIBU   BERTEMU LAGI

    "Nggak tahulah, Mbak. Aku belum ada rasa.""Lebih baik dicintai daripada mencintai. Mbak yakin, Bang Ahmad orang yang baik."Semenjak mengetahui nomor teleponnya, Ahmad memang selalu mengirim pesan untuk sekadar memberi perhatian. Namun, Wita masih mengabaikannya begitu saja. Takut menghadirkan harapan palsu."Mbak, kenapa nggak diganti motor aja sih sepedanya? Kan lebih enak. Nggak capek juga." Wita mencoba mengalihkan. Begitu setiap kali membicarakan tentang Ahmad."Kamu kaya Bu Zaenal saja. Pasti nyuruh Mbak buat ganti motor terus. Mbak kan, nggak bisa naik motor, Wit!" "Belajarlah, Mbak! Aku kasihan lihatnya kalau lagi banyak kirim barang! Lagipula, kan lebih hemat waktu, Mbak. Kalau pakai motor jauh lebih cepat.""Nantilah Mbak pikir dulu. Tabungannya juga belum cukup untuk membeli motor. Mbak ada rencana mau sewa kios kecil di ujung jalan situ.""Wah ... makin besar usahanya, Mbak!""Alhamdulillah ... ini bisa juga jadi semangat juga supaya kamu nggak terlalu terpuruk karena la

  • BERAS LIMA RIBU   TAWARAN GILA

    "Coba lihat, Fan! Ini bukannya mantan suami Mbak Rasti ya?" kata Ahmad sambil menyerahkan undangan pernikahan yang baru saja dibagikan ketua RT."Iya." Arfan menjawab datar tanpa menoleh sedikitpun dari nota-nota yang dia kerjakan."Kira-kira Mbak Rasti bakal datang nggak ya? Kangen juga aku sama si Faiz."Mendengar Ahmad menyebut nama Faiz dan Rasti, mata Arfan mengembun. Ada rindu yang tak bisa dia ungkapkan saat ini.Meski Rasti berjanji akan main ke toko, nyatanya malah selalu menghindar setiap kali Arfan datang. Selalu saja pemilik kontrakan mengatakan Rasti sedang mengantar cucian atau pergi keluar.Ketika Arfan berinisiatif menemuinya di tempat Faiz bersekolah, pun tak ditemuinya Katanya, Faiz tak lagi bersekolah di sana.Arfan mundur perlahan. Bukan ingin menyerah, dia hanya takut keberadaannya menjadi beban untuk wanita yang dia cintai. Karena sampai saat ini juga, Arfan belum mengetahui perasaan Rasti terhadapnya. Apakah Rasti merasa terganggu oleh kehadirannya?Apakah wani

  • BERAS LIMA RIBU   UNDANGAN PERNIKAHAN

    "Bang, nggak bisa seperti ini!" Rasti masih terus berusaha, hingga dia menangkap Arfan mengedipkan matanya memberi isyarat pada Faiz.Kali ini Rasti tak boleh terkecoh. Dia harus terus berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak perasaan yang semakin dalam."Faiz ke kamar lagi, ya? Nanti beli makanan sama Ibu," bujuk Rasti. Meski dia sebenarnya tak sampai hati melihat kekecewaan di wajah putranya.Meskipun menyukai Arfan, Faiz lebih mencintai ibunya. Dengan patuh, dia masuk ke dalam lagi dengan wajah ditekuk."Bang, saya belum resmi diceraikan. Ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk menerima semua ini. Tolong, untuk saat ini biarkan saya memilih jalan sendiri," pinta Rasti dengan suara tertahan. Bukan itu saja, dia juga mati-matian, berusaha mencegah airmatanya jatuh."Tapi kamu nggak harus berhenti kerja di toko, kan? Bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.""Sedikit banyak, Abang tahu bagaimana saya selalu direndahkan karena hanya lulusan SD. Saya punya impia

DMCA.com Protection Status